Kemlu Minta Cina Hadirkan Saksi Kasus Tewasnya Pelaut Indonesia

Tidak merespons permintaan itu, Cina malah mengecam ditahannya kapalnya yang didapati menyimpan mayat pekerja WNI di peti pendinginnya.
Tia Asmara
2020.07.10
Jakarta
200710_ID_Seafishermen_1000.jpg Dalam foto tertanggal tertangal 21 Februari 2019 ini, pelaut Indonesia menunjukkan foto kondisi di mana mereka dieksploitasi ketika bekerja di sebuah kapal berbendera Cina.
AFP

Indonesia telah meminta pemerintah Cina untuk menghadirkan warga negaranya untuk memberi keterangan sebagai saksi dalam kasus tewasnya empat pelaut Indonesia yang diduga akibat eksploitasi kerja di dalam kapal berbendera Cina, kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Jumat (7/10).

Tiga pelaut Indonesia meninggal di kapal pencari ikan Cina dan mayatnya dilarung di laut antara Desember 2019 dan Maret 2020 setelah diduga mendapat perlakuan buruk saat bekerja, menurut Kementerian Luar Negeri (Kemlu).

Sedangkan seorang awak dari Indonesia lainnya yang bekerja di kapal yang sama meninggal di rumah sakit di Busan, Korea Selatan, pada bulan April saat kapal bersandar di sana.

“Guna melengkapi investigasi, pemerintah secara resmi telah meminta dihadirkan warga negara Cina sebagai saksi untuk kasus ini. Permintaan tersebut sudah disampaikan ke Kedubes Cina di Jakarta,” ujar Menlu Retno dalam konferensi pers di Jakarta.

Respons Cina

Ketika dihubungi BenarNews, Kedutaan Besar Cina di Jakarta menolak berkomentar soal permintaan Retno tersebut, tetapi memberi tautan ke laman Kementerian Luar Negeri Cina yang memuat pernyataan jubir Kementerian Luar Negeri Cina soal kasus kematian terbaru pelaut Indonesia.

Kasus tersebut terkait anak buah kapal(ABK) asal Indonesia yang jenazahnya ditemukan dalam lemari pendingin di salah satu dari dua kapal ikan Cina yang ditahan petugas keamanan laut pekan ini di perairan Kepulauan Riau.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Zhao Lijian, mengatakan Beijing merasa prihatin dengan ditahannya kapal ikan Cina tanpa pemberitahuan dahulu oleh petugas keamanan Indonesia dan mengkonfirmasi bahwa memang ada awak dari Indonesia yang meninggal.

“Kami akan terus berkomunikasi dengan pihak Indonesia dalam masalah ini,” katanya.

“Cina meminta Indonesia mengambil langkah konkrit dan efektif melindungi hak dan kepentingan kapal ikan Cina dan awaknya dan menangani masalah ini dengan cepat dan tepat,” kata Zhao dalam pernyataan yang dimuat di situs Kedutaan Besar Cina.

Dia mengatakan kedua kapal itu sedang berlayar “secara normal” di laut internasional.

Namun pernyataan ini bertentangan dengan statemen Kapolda Kepulauan Riau, Irjen Aris Budiman, yang mengatakan bahwa kapal Cina tersebut bisa masuk ke perairan Indonesia karena menggunakan dokumen palsu.

Peristiwa penangkapan kedua kapal Cina itu bermula pada 6-7 Juli 2020, saat Badan Keamanan Laut (Bakamla) menerima laporan pengaduan masyarakat mengenai adanya dugaan tindak kekerasan terhadap awak kapal yang bekerja pada kapal Cina, Lu Huang Yuan Yu 117 dan Lu Huang Yuan Yu 118.

Berdasarkan pengaduan tersebut, pada 8 Juli, Bakamla, Polri, dan TNI AL melakukan pencegatan terhadap kedua kapal tersebut di perairan teritorial Indonesia. Kapal tersebut dibawa ke pangkalan TNI di Batam, di Probinsi Kepulauan Riau.

Kapolda Aris Budiman juga mengatakan pelaut Indonesia yang mayatnya ditemukan di kapal Lu Huang Yuan Yu 118 diduga meninggal karena penganiayaan.

“Kuat dugaan kami bahwa yang bekerja di kapal tersebut merupakan korban trafficking (perdagangan manusia) yang dipekerjakan secara paksa di atas kapal ikan tersebut," kata Aris kepada Metro TV.

“Seperti pengalaman sebelumnya, sebagian besar tenaga kerja WNI yang bekerja di kapal ikan asing itu diperlakukan secara tidak manusiawi,” tegas Aris.

Ia mengatakan ditemukan beberapa bekas luka-luka yang identik dengan penganiayaan.

"Saat pemeriksaan visum luar ditemukan luka memar pada bibir, dada, dan punggung."

Dugaan tindak kekerasan dan penyiksaan terhadap puluhan awak lainnya di kapal-kapal itu dikuatkan oleh Menlu Retno.

“Juga dugaan kemungkinan terjadinya eksploitasi terhadap ABK WNI di kedua kapal ikan tersebut. Saat ini sedang diproses oleh kepolisian setempat,”ujarnya.

Jaminan pemerintah

Setidaknya delapan pelaut Indonesia telah meninggal ketika bekerja di kapal ikan Cina sejak November 2019 karena dugaan kondisi kerja yang serupa dengan perbudakan, demikian menurut sejumlah pihak terkait.

Retno mengatakan pemerintah juga akan menjamin agar seluruh hak para anak buah kapal (ABK) yang bekerja di kapal Cina bisa terpenuhi.

“Kami akan terus konsisten menegakkan keadilan bagi ABK WNI yang telah menjadi korban eksploitasi termasuk melalui kerjasama hukum kedua negara,” ujarnya.

Kemlu bersama dengan Dinas Kependudukan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri juga telah mengusahakan agar akta kematian bagi pelaut yang meninggal bisa segera diterbitkan karena ini merupakan prasyarat pencairan asuransi bagi korban, kata dia.

Transparan

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW)-Indonesia, Mohammad Abdi Suhufan berharap agar proses hukum bisa berjalan transparan tanpa intervensi dan aparat penegak hukum bisa memberikan pemberatan hukuman kepada para pelaku yang terlibat kasus ini.

“UU 21/2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) mesti jadi rujukan dengan berikan hukuman maksimal kepada pelaku. Aparat penegak hukum juga perlu membuka kemugkinan tersangka lain yang diduga terlibat dan berperan dalam praktik TPPO bagi ABK perikanan,”ujar dia kepada BenarNews.

“Ada dugaan keterlibatan oknum di pemerintah yang terlibat dalam pemberian dokumen palsu dan dugaan adanya calo/broker yang membantu proses rekrutmen dan pemberangkatan ABK perikanan tersebut,” tambahnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.