Kesaksian Korban Aksi Teror Bangkit Dari Keterpurukan
2019.07.05
Jakarta

Susi A. Fitriyani tak kuasa menahan tangis dan beberapa kali menyeka air matanya saat mengisahkan tragedi yang dialaminya ketika bom bunuh diri meledak di area Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur.
Perempuan 23 tahun itu adalah seorang dari 11 korban luka-luka selamat serangan bom pada malam 24 Mei 2017 silam.
"Saya masih trauma," kata perempuan yang akrab disapa Pipit saat ditemui di sela acara Short Course Penguatan Perspektif Korban dalam Peliputan Isu Terorisme di Jakarta, Kamis, 4 Juli 2019.
"Sampai sekarang saya kalau lewat di tempat kejadian (Terminal Kampung Melayu) itu saya suka lari, belum begitu kuat."
Malam jahanam itu, Pipit baru pulang dari kampusnya di Kampung Melayu. Ia kuliah di jurusan Manajemen di Universitas Azzahra, mengambil kelas malam karena siang harus bekerja sebagai penjaga bayi untuk membiayai pendidikan sekaligus menghidupi ibu dan adiknya di kampung.
Mulanya, ia merantau dari Karangsambung, Songgom, Brebes, Jawa Tengah, ke Jakarta untuk mencari nafkah. Di sela itu, Pipit kuliah tanpa sepengatuhuan ibunya. Rencananya setelah selesai nanti, baru memberi tahu sebagai kejutan. Tapi, buyar karena teror bom.
Dari kampus, Pipit berjalan kaki dengan temannya, Jihan Tholib ke Terminal Kampung Melayu untuk naik angkot pulang ke kosannya.
Setiba di sana, pukul 21.00 WIB, dia menelpon ibunya. Belum sempat diangkat, bom meledak tepat di belakangnya dan ia terpental.
“Ketika saya buka mata, semuanya sudah gelap, tidak terlihat apa-apa. Saya bingung ini ada apa? Ya Allah, ini kenapa?," tuturnya.
Pipit mengalami luka serius di punggung dan tangan terkena serpihan bom. Dagingnya terkoyak hingga terlihat tulang. Ia dilarikan ke rumah sakit dengan angkot.
Jihan juga terkena serpihan. Sekujur tubuhnya luka diterjang benda asing. Tubuhnya terhempas ke aspal, terpisah dengan Pipit.
Ada dua bom meledak malam itu di lokasi berdekatan dalam waktu berselang sekira 5 menit. Pertama depan Toilet Bus Transjakarta, ledakan kedua sekitar Terminal Kampung Melayu.
Lima orang tewas, termasuk polisi yang sedang mengawal pawai obor menyambut bulan Ramadan 1438 Hijriah yakni Bripda Taufan Tsunami, Bripda Ridho Setiawan dan Bripda Imam Gilang Adinata.
Dua lagi pelaku bom bunuh diri; Ahmad Sukri dan Ichwan, pentolan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) kelompok teroris berafiliasi ke ISIS.
Akibat kejadian itu, Pipit yang baru tujuh hari ditinggal ayahnya menghadap Sang Khalik, harus dirawat berminggu-minggu di rumah sakit dan terpaksa berhenti kerja. Ia sangat sedih karena tak mampu menafkahi ibu dan adiknya di kampung.
Ia juga harus nonaktif setahun dari kuliah untuk kebutuhan pengobatan. Fisiknya cacat, psikisnya terganggu. Ia masih rutin berobat, ikut terapi dan pendampingan psikolog.
"Kondisi saya sudah membaik, meskipun tangan kanan saya tidak bisa diangkat. Kata dokter ada saraf yang terputus," ujarnya.
"Saya masih sering merasakan sakit, sakitnya benar-benar ngilu sampai tidur pun susah. Nyeri, masih susah tidur miring kanan karena sakit. Saat bangun juga sakit."
Mencoba bangkit
Pipit mulai bangkit. Ia sudah mendapat kompensasi senilai Rp100 juta dari negara yang sebagiannya dipakai untuk melanjutkan kuliah, mewujudkan cita-cita membahagiakan ibunya.
Pipit dan para korban terorisme lain kini bergabung ke Aliansi Damai Indonesia (AIDA) --lembaga yang dibentuk sejak 2013-- sebagai salah satu juru kampanye perdamaian.
AIDA ikut memfasilitasi para korban bertemu mantan pelaku teror yang sadar, bersama-sama mengampanyekan damai dan menolak terorisme.
Dwi Siti Rhomdoni alis Dwieky, korban aksi bom Thamrin juga sudah kembali bekerja setelah setahun berhenti karena harus menjalani perawatan.
Ia membentuk Komunitas Sahabat Thamrin, wadah perkumpulan para korban aksi teror bom di kawasan Sarinah, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, pada 14 Januari 2016 itu.
"Kami saling menguatkan, kita saling menguatkan meski harus cacat seumur hidup. Jangan putus asa dan jangan merasa minder karena kita masih bisa berkarya," katanya.
Bom Thamrin menewaskan delapan orang, empat di antaranya pelaku. 26 orang lainnya luka-luka, termasuk Dwieky. ISIS menyatakan bertanggung jawab atas serangan itu.
Saat kejadian, Dwieky sedang bersama kliennya di gerai Starbuck Sarinah. Bom meledak, tubuhnya terpental. Tiga bagian di lehernya patah. Setelah empat bulan dirawat inap, Dwieky tetap masih sering ke rumah sakit untuk berobat jalan dan terapi secara sampai sekarang.
Dwieky sudah kembali bekerja sebagai public relation sebuah lembaga, tapi kondisinya tak sempurna seperti dulu. Dia sering merasa sakit dadakan bahkan pingsan.
"Sakitnya tidak bisa dirasakan oleh orang lain. Tiba-tiba saya ngeblank, saya tidak bisa gerak," katanya.
Kondisi itu membuatnya mendapat disepensasi khusus dari kantornya. Dia juga sudah mendapat kompensasi Rp100 juta dari negara. Belasan korban bom Thamrin lain juga dapat ganti rugi serupa meski nilainya berbeda-beda.
Maafkan teroris
"Sakit hati saya (ke pelaku) sudah tidak ada," kata Pipit.
Sama dengan Pipit, Dwieky juga telah memaafkan para teroris yang membuat tubuhnya sering sakit.
Di sela acara AIDA, Dwieky tampak duduk semeja dan mengobrol akrab dengan Kurnia Widodo alias Boby alias Ujang, mantan napi terorisme yang sudah bebas.
Kurnia merupakan ahli perakit bom dan pernah bergabung dengan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), kelompok teroris didirikan Abu Bakar Baasyir.
Bersama Dwieky, Kurnia kini jadi juru kampanye damai AIDA. Ia juga rajin membujuk rekannya dari jaringan teroris untuk meninggalkan paham radikal yang kini diakuinya sesat dan meresahkan umat.
Dwieky awalnya tak bisa memaafkan Kurnia, bahkan tak berani bertatap muka. Tetapi semakin membenci pelaku, sakit diderita tubuhnya malah bertambah.
Dia lalu meminta diberikan pendampingi konseling dan sering sharing dengan sesama penyintas.
"Saya kemudian diajarkan berdamai dengan diri sendiri," tuturnya.
Sementara itu, Wartini, istri almarhum Sahroni, korban meninggal dunia akibat serangan teror bom di Kedutaan Besar Australia di Jakarta juga sudah bangkit, setelah terpuruk dan berjuang menghidupi tiga anaknya.
Serangan bom mobil oleh kelompok Jamaah Islamiyah di depan Kedubes Australia, pada 9 September 2004 menewaskan sembilan orang dan 141 lagi luka-luka. Tak ada warga Australia yang jadi korban.
Sahroni yang merupakan satpam sedang bertugas di depan Kedubes Australia terpental ke tembok saat bom meledak. Selama dua tahun menderita karena bagian telinganya hancur total dan sering nyeri tak tertahan, Sahroni akhirnya meninggal dunia.
Wartini saat itu sedang hamil 6 bulan. Dua anaknya masih sekolah. Ia harus bekerja jadi buruh cuci dan menjaga dagangan orang lain dengan bayaran Rp20 ribu perhari untuk menghidupi keluarganya.
Sementara biaya pendidikan anaknya dijamin Pemerintah Australia. Ia tak mendapatkan kompensasi dari pemerintah Indonesia.
Wartini menyebutkan bahwa anaknya sempat dendam ke pelaku, tapi ia terus memberi pemahaman agar tak perlu membenci.
Ia mengajak anak-anaknya mengikhlaskan kepergian ayahnya sebagai takdir dari Allah.
"Kita maafkan saja, Allah saja Maha Pemaaf. Akhirnya mereka bisa terima," tuturnya.
Direktur AIDA, Hasibullah Satrawi mengaku bukan perkara mudah mengajak korban aksi teror untuk berdamai dengan mantan pelaku.
"Kita harus suarakan perdamaian untuk bangsa, untuk negara. Kita harus menyadarkan semua bahwa ancaman terorisme nyata dan kita harus melakukan sesuatu," katanya, seraya berharap kepada pemerintah untuk memperhatikan hak-hak korban serangan terorisme, selain kompensasi.