36 Hari Hidup Bersama Abu Sayyaf
2016.05.18
Klaten

Pemuda 23 tahun itu sedang bertugas jaga saat 11 orang berseragam militer Filipina mendekati kapal mereka, Sabtu, 26 Maret 2016, sekitar pukul 14.30 waktu setempat. Saat itu, kapal tunda Brahma 12 sedang berada di sekitar perairan Tawi Tawi, Filipina Selatan.
Melihat dua boat merapat, Bayu Oktavianto dan sembilan rekannya pasrah. Setelah orang-orang bersenjata naik ke kapal, barulah Bayu tahu jika mereka bukan tentara Filipina, melainkan gerilyawan kelompok militan Abu Sayyaf.
“Begitu naik ke kapal, mereka segera mengikat kami dengan tali karena borgol hanya lima sedangkan kami sepuluh,” kenang Bayu ketika ditemui BeritaBenar di rumahnya di Desa Mendak, Klaten, Jawa Tengah, Selasa, 17 Mei 2016.
Bayu adalah seorang dari 10 anak buah kapal (ABK) Brahma 12 yang dibebaskan Abu Sayyaf setelah lebih dari sebulan disandera kelompok militan berbasis di Filipina Selatan itu. Selama dua pekan di rumah, ia hanya santai sambil memberi makan ikan di kolam kecil depan rumahnya.
Bayu mengambil libur dari perusahannya sampai setelah Idul Fitri. Dia mengaku tidak trauma dengan pengalaman hidup ditawan Abu Sayyaf. Usai lebaran nanti, dia akan kembali berlayar.
Rahayu, ibu kandung Bayu, mengaku tak akan menghalangi anak sulungnya kembali melaut. Dia juga tidak khawatir dengan berbagai kemungkinan yang terjadi karena “semua pekerjaan pasti ada resiko”.
Ketika Bayu mengisahkan 36 hari hidup bersama Abu Sayyaf, tak terlihat ketakutan di wajahnya. Ia melanjutkan cerita bahwa dengan kedua tangan terikat ke belakang, sesama ABK masih bisa berkomunikasi.
Mahmud, seorang ABK asal Banjarmasin, menyarankan agar semua kru bilang sudah berkeluarga dan yang bukan beragama Islam untuk mengaku sebagai mualaf dengan harapan ada rasa iba dari para penculik.
Tapi para militan tidak begitu saja percaya jika mereka semua Muslim. ABK disuruh melafalkan dua kalimat syahadat. Begitu giliran Peter Tonsen Barahama, Alvian Elvis Peti dan Julian Philips, tentu saja mereka tak bisa karena beragama Kristen.
“Awalnya mereka hanya ingin membawa tiga orang tadi, tapi kami sepakat bila mau tangkap, tangkap kami semuanya,” ujar Bayu yang mengaku mereka tidak mungkin melawan karena ke-11 anggota militan bersenjata laras panjang dan pistol.
Akhirnya ke-10 ABK dibawa dengan menggunakan Brahma 12. Perjalanan ke pulau – yang Bayu tak tahu namanya – baru tiba sekitar pukul 02:00 dinihari keesokan harinya. Begitu mendekati pulau, Brahma 12 dibiarkan mengapung di laut lepas tanpa awak. Seluruh barang berharga diambil.
Di pantai, puluhan pria berpakaian militer lengkap dengan senjata telah menunggu. Saat memasuki pulau, ujar Bayu, seratusan gerilyawan lain dilihatnya. Semuanya berpakaian militer. Mereka berkomunikasi dengan Bahasa Indonesia, Melayu, Inggris dan Tagalog.
Salah tangkap
Dalam perjalanan, seorang penyandera mengaku bahwa sebenarnya mereka bukan target penculikan. “Tapi karena sudah terlanjur harus sampai selesai, jika setengah-setengah haram kata mereka,” ungkap Bayu meniru ucapan anggota Abu Sayyaf itu.
Dalam hutan, terdapat puluhan rumah bambu beratapkan daun kelapa. Ukurannya beragam. Salah satunya berbentuk persegi panjang dengan ukuran seperti gedung sekolah di Indonesia. Para ABK ditahan dalam gedung besar yang ada kamar mandi dan beberapa ruangan. Tidak terlihat perempuan atau anak-anak di situ.
Selama disandera, Bayu dan rekan-rekannya hanya duduk saja di bawah pengawalan para militan. Ikatan tangan sudah dilepas. Mereka diperlakukan dengan baik. Diberi makan satu atau dua kali sehari. “Bila makanan siap, kami dipanggil agar bergabung makan bersama mereka,” ujar Bayu.
Tak ada tawanan lain di tempat itu. Meski sering ditodong dengan senjata oleh yang mendapat giliran jaga, Bayu dan rekannya tidak mengalami penganiayaan. Malah ketika para ABK terlihat sedih, orang-orang bersenjata itu justru bilang supaya tidak perlu takut karena mereka tak akan dieksekusi dan suatu saat bakal dilepas.
“Alasannya, karena kami orang Indonesia. Guru mengaji mereka dari Indonesia, dan kami bukan sasaran mereka,” terang Bayu seraya meyakini beberapa anggota militan itu ada warga negara Indonesia.
Satu hal yang sangat diingat Bayu adalah, semua anggota militan di hutan tempat dia ditahan, rajin beribadah. Mereka selalu shalat berjamaah tepat waktu. Kalau tidak bergerilya dalam hutan, waktu dihabiskan dengan mengaji. Bayu dan rekannya turut diajak shalat berjamaah dan mengaji, termasuk tiga kru non-Muslim.
“Saya yang biasanya shalat mepet di waktu akhir jadi tepat waktu dan mengaji,” ujar pemuda yang belum menikah ini namun mengaku kepada penyandera bahwa usianya 26 tahun dan memiliki istri sedang mengandung lima bulan.
Dibebaskan
Sehari sebelum dibebaskan, Bayu dan rekan-rekannya ditemui oleh sosok berkepala botak, berkacamata yang mengatakan kepada mereka untuk tidak perlu khawatir karena akan segera dilepas. Tapi, Bayu tak tahu nama sosok yang cukup dihormati para penyandera tersebut. Malamnya, seorang anggota Abu Sayyaf juga mengatakan kalau mereka segera ditebus.
Minggu pagi, 1 Mei 2016, ke-10 ABK dibawa anggota militan menyeberang ke Pulau Sulu. Di pantai Parang, seorang militan mengatakan kalau mereka telah bebas dan diminta segera menjauh. Bayu mengaku melihat beberapa militan menggendong karung yang diduga berisi uang tebusan.
“Seorang dari mereka bilang agar kami segera pergi. Telat satu menit saja kami bisa mati,” kenang Bayu.
Sebuah truk sudah menanti. Ke-10 AKB diantar ke rumah Gubernur Sulu, Abdusakur Tan. Mereka diminta mandi dan berganti pakaian, kemudian makan. Tetapi karena sangat lapar karena dari pagi belum makan, mereka memilih makan lebih dulu. Dari situ, perjalanan pulang ke tanah air sudah menanti.