Pengamat: Kehadiran Simbol-Simbol Partai Kurangi Makna Aksi 'Kita Indonesia'
2016.12.05
Jakarta

Aksi bertajuk "Kita Indonesia" di Jakarta, Minggu, 4 Desember 2016, yang oleh pihak penyelenggara dimaksudkan untuk menyatukan rasa nasionalisme Indonesia, oleh sebagian pengamat, dinilai tidak lebih sebagai tandingan “Aksi Bela Islam III” yang dihelat dua hari sebelumnya.
"Saya melihat itu sebagai upaya untuk memulihkan citra Ahok (Gubernur DKI Jakarta non-aktif, Basuki Tjahaja Purnama) di mata umat mayoritas saja," kata pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UII) Syarif Hidayatullah, Pangi Syarwi Chaniago kepada BeritaBenar, Senin, 5 Desember 2016.
Indikasi itu, jelasnya, terlihat dari munculnya atribut politik dalam aksi itu, seperti spanduk dan bendera Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Nasional Demokrat (Nasdem), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ketiga partai itu adalah pendukung Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta, Februari 2017.
"Itu ajang kampanye berbalut parade kebhinekaan," ujar Pangi lagi.
Beberapa petinggi parpol, seperti Ketua Partai Golkar Setya Novanto dan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh memang hadir dan berpidato dalam acara yang dipusatkan di seputaran Bundaran Hotel Indonesia (HI) itu.
Setya dalam orasi di depan massa mengatakan kegiatan “Kita Indonesia” menjadi bukti bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang bisa tetap damai dan ramah.
"Sebagai Ketua DPR Indonesia, saya berdoa mudah-mudahan pertemuan damai ini bisa menyejukkan bangsa," katanya.
Sedangkan Surya Paloh mengatakan bahwa aksi itu merupakan pengingat bahwa Indonesia harus tetap bersatu.
Panitia “Kita Indonesia” mengklaim 500 ribu orang berpartisipasi dalam acara yang juga dimeriahkan dengan penampilan kesenian termasuk barongsai, reog, dan ogoh-ogoh. Hanya saja, angka itu diragukan beberapa media lokal dengan menyebut massa terlibat ribuan orang saja, atau jauh lebih sedikit dari massa yang hadir pada aksi dua hari sebelumnya di kawasan Monas dan sekitarnya.
Dalam aksi damai menuntut penahanan Ahok, Jumat lalu, massa diperkirakan lebih dari 200 ribu. Tetapi, panitia mengklaim jumlahnya mencapai jutaan orang.
Simbol partai
Kehadiran simbol-simbol sejumlah partai politik tersebut mengurangi makna semangat nasionalisme yang ingin diusung aksi itu. Lebih-lebih karena diadakan berbaur dengan acara Car Free Day di kawasan Bundaran HI hari itu.
Merujuk Pasal 7 Peraturan Gubernur No. 12 tahun 2006 tentang Hari Bebas Kendaraan Bermotor juncto Peraturan Daerah No 2 tahun 2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, kawasan bebas kendaraan bermotor di Jakarta harus steril dari atribut dan propaganda politik.
"Car Free Day seharusnya digunakan untuk kegiatan lingkungan hidup, tapi dicemari oleh aktivitas politik beberapa partai,"kata aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Zulpriadi dalam keterangan tertulisnya.
“Apalagi dalam kegiatan itu, panitia juga menggunakan genset sehingga memunculkan polusi udara. Jelas itu menyalahi esensi Car Free Day,” pungkasnya.
WALHI telah meminta pelaksana tugas Gubernur DKI Jakarta, Sumarsono, menindak tegas panitia aksi itu. Dalam aturan, sanksi pelanggar beleid Car Free Day hanya teguran tertulis.
Tak ada respons dari Sumarsono saat dikonfirmasi BeritaBenar.
Tapi di laman Tribunnews, ia mengatakan segera mengirim teguran ke panitia. Teguran itu diberikan karena panitia sebelumnya mengatakan akan memakai pakaian putih dan tak membawa atribut parpol saat menggelar aksi.
Terkait kritikan dari berbagai pihak, panitia Kita Indonesia, Taufik Basari meminta maaf.
“Ini akan menjadi evaluasi bagi kami,” katanya saat dihubungi BeritaBenar.
Soal anggapan pengamat yang menyebut aksi sebagai kegiatan tandingan Bela Islam, ia menyangkalnya.
Menurutnya, aksi itu bukan agenda politik dan kampanye tertentu, meskipun digagas oleh parpol.
“Itu semata-mata untuk menjaga persatuan. Tokoh politik yang hadir pun, kan, tidak ada orasi politik atau hujatan terhadap kelompok tertentu. Hanya imbuan kebersamaan,” ujarnya.