Komisoner KPU Wahyu Setiawan Ditetapkan sebagai Tersangka Suap

Operasi tangkap tangan (OTT) ini dilakukan tanpa persetujuan Dewan Pengawas KPK.
Rina Chadijah
2020.01.09
Jakarta
200109_ID_KPK_1000.jpeg Ketua KPU Arief Budiman, Wakil Ketua KPK Lili Pintuali Siregar, dan Juru Bicara KPK Ali Fikri, saat memberikan keterangan terkait penetapan Komisioner KPU Wahyu Setiawan sebagai tersangka, di Jakarta, Kamis (9/1/2020).
Rina Chadijah/BeritaBenar

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan sebagai tersangka penerima suap dalam proses penggantian anggota Dewan Perwakilan Rakyat terpilih.

Wahyu diduga menerima uang suap senilai Rp400 juta dari calon legislatif Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Harun Masiku, yang gagal terpilih jadi anggota DPR dalam pemilihan umum 2019.

“Proses hukum ini kami lakukan sebagai bagian dari penyelamatan lembaga KPU, sehingga orang-orang bermasalah dapat ditindak dan tidak menimbulkan kerusakan yang lebih besar,” kata Wakil Ketua KPK, Lili Pintuali Siregar, di gedung KPK, Kamis (9/1/2020).

Sebelumnya Wahyu bersama delapan orang lainnya ditangkap dalam operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan penyidik KPK, sehari sebelumnya. Wahyu ditangkap di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten.  Sementara tujuh orang lainnya ditangkap di sejumlah tempat di Jakarta, Depok, dan Banyumas.

Setelah dilakukan pemeriksaan selama 1x24 jam, KPK menetapkan Wahyu sebagai tersangka penerima suap, dan tiga orang lainnya sebagai pemberi dan perantara suap, diantaranya Harun Masiku sebagai terduga pemberi suap serta Agustina Tio Fredelina dan Saeful yang dituduh jadi perantara suap.

“Tim mengamankan uang setara sekitar Rp400 Juta dalam bentuk mata uang dolar Singapura dan buku rekening yang diduga terkait perkara,” kata Lili.

Lili menjelaskan, Harun Masiku merupakan calon legislatif PDIP daerah pemilihan Sumatra Selatan I, di pemilu legislative 2019 lalu, namun tidak terpilih. Yang terpilih di daerah itu adalah Nazarudin Kiemas, namun ia meninggal dunia.

KPU sesuai dengan aturan, akhirnya menetapkan Riezky Aprilia yang berada di nomor urut 2, sebagai anggota DPR terpilih dari wilayah yang meliputi Kota Palembang, Musi Banyuasin, Banyuasin, Musi Rawas, Musi Rawas Utara, dan Kota Lubuklinggau.

PDI Perjuangan sempat meminta KPU mencoret nama Riezky dan mengantinya dengan Harun. Namun permintaan ini ditolak oleh KPU, dengan mengacu pada Undang-undang Pemilu. PDIP kemudian menggugat keputusan itu ke Mahkamah Agung (MA), yang oleh MA dalam putusannya 19 Juli 2019, memutuskan bahwa proses pengantian caleg yang meninggal, berada di tangan partai politik.

Atas putusan MA itu, PDIP mengajukan permohonan kepada KPU agar memberikan kursi DPR itu kepada Harun. Wahyu Setiawan menjanjikan akan memuluskan proses tersebut. Namun dalam rapat Pleno yang digelar KPU pada 7 Januari 2020, KPU tetap pada keputusan awal untuk menetapkan Riezky sebagai caleg terpilih.

“Setelah gagal di rapat Pleno KPU, WSE (Wahyu Setiawan) menghubungi DON (pengacara PDIP) bahwa telah menerima uang dan akan mengupayakan kembali agar HAR (Harun Masiku) menjadi PAW (penganti antar waktu),” kata Lili.

Sementara tersangka Agustina Tio Fredelina, adalah mantan anggota Badan Pengawas Pemilu yang merupakan orang kepercayaan Wahyu. Agustina merupakan orang yang menerima uang dari Harun lewat Saeful, dan menyimpan uang tersebut sebelum diberikan kepada Wahyu.

Tetap jaga integritas

Ketua KPU Arief Budiman yang ikut hadir dalam pengumuman penetapan tersangka mengatakan pihaknya akan membantu KPK dalam pengungkapan kasus ini hingga tuntas.

“Keberadaan kami sebagai bagian dari upaya untuk menjaga institusi ini supaya marwahnya itu bisa terjag dengan baik,” ujarnya.

Arief juga menyesalkan keterlibatan Wahyu dalam kasus suap dan menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat..

Selain itu Ia juga mengimbau seluruh jajarannya termasuk KPU di daerah untuk terus menjaga integritas. Apalagi mereka sedang mempersiapkan proses pemilu serentak tahun ini yang berlangsung di 270 daerah.

Wahyu sendiri sebelum menjabat sebagai Komisioner KPU RI, merupakan komisioner KPUD di Jawa Tengah dan KPUD Banjarnegara. Ia juga pernah tercatat sebagai pengurus GMNI, sebuah organisasi sayap PDIP.

Arief juga menjelaskan Wahyu akan segera diberhentikan dari jabatannya.

OTT tanpa Dewas KPK

Kasus suap yang melibatkan komisioner KPU Wahyu Setiawan adalah OTT kedua yang dilakukan KPK dibawah kepemimpinan Firly Bahuri. Sebelumnya KPK juga menangkap Bupati Sidoardjo Saiful Ilah, sebagai tersangka suap.

Proses OTT ini dilakukan KPK tanpa mendapatkan persetujuan oleh Dewan Pengawas (Dewas) KPK, yang diamanatkan oleh Undang-undang KPK yang baru. Anggota Dewas KPK Albertina Ho mengatakan pihaknya tidak mendapatkan pemberitahuan terkait operasi ini.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan, penyadapan berkaitan dengan OTT Bupati Sidoarjo sudah berlangsung jauh sebelum Dewas KPK dilantik sehingga dilakukan tanpa seizin Dewas.

"Penyadapannya yang lama, sebelum pelantikan Dewan Pengawas itu kan informasi yang sebelumnya, sudah lama," ujarnya kepada wartawan.

Saat ini Dewas KPK disebut masih dalam tahap pengenalan lembaga, sehingga belum bekerja secara penuh untuk memberikan izin penyadapan maupun OTT, sesuai amanat Undang-undang KPK yang baru.

Meski mengapresiasi dua OTT yang dilakukan KPK dalam dua hari terakhir,  peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana mengatakan pihaknya pesimis KPK saat ini dapat bekerja dengan baik untuk mengungkap kasus korupsi.

“Posisi KPK saat ini diragukan karena selain komitmen komisonernya juga karena harus adanya izin dewan pengawas untuk memulai proses penyidikan terutama penyadapan dan OTT,” katanya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.