Komnas HAM Didesak Usut Kekerasan di Papua
2018.12.10
Jayapura

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) didesak segera menurunkan tim ke Kabupaten Nduga di Papua untuk menginvestigasi secara tuntas penyebab kekerasan yang menewaskan sedikitnya 20 orang pada awal bulan ini.
Desakan itu disampaikan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Papua, Yunus Wonda, dan Ketua Majelis Rakyat Papua (MRP), Timotius Murib, saat diwawancara BeritaBenar di Jayapura, Senin, 10 Desember 2018, menyusul laporan tentang empat sipil tewas di Nduga.
"Kami meminta Komnas HAM melakukan investigasi secara menyeluruh. Mereka harus selidiki bukan hanya kejadian Desember ini, tetapi juga yang terjadi pada Juli lalu,” kata Yunus.
Pada Juli lalu, TNI-Polri melakukan operasi pengejaran terhadap kelompok bersenjata dengan mengerahkan helikopter setelah terjadi penembakan pesawat yang membawa aparat untuk mengamankan pemilihan kepala daerah di Nduga.
Yunus menambahkan, pihaknya akan membentuk Panitia Khusus (Pansus) DPR Papua untuk menyelidiki apa sebenarnya yang terjadi di Nduga.
“Kami saat ini belum bisa masuk ke sana karena daerah itu masih tertutup,” ujarnya.
Hal senada diutarakan Timotius dengan menyebutkan MRP telah membentuk Pansus untuk mengusut kasus Nduga – yaitu kelompok pemberontak separatis menyerang dan membunuh 20 orang, termasuk seorang tentara, pada 2 Desember lalu.
“MRP berharap Komnas HAM segera menggunakan kewenangannya untuk turun ke Nduga,” katanya.
“Karena MRP ini lembaga perwakilan Orang Asli Papua, kami tak melihat kasus Nduga sebagai persoalan terpisah, tapi bagian dari apa yang terjadi selama ini di Papua.”
Menanggapi desakan tersebut, Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan pihaknya telah menugaskan kantor perwakilan Papua untuk menyelidiki penembakan di Nduga.
"Tidak harus bentuk tim investigasi, tapi para pegawai Komnas HAM di Papua otomatis memantau langsung terkait progres kasus yang terjadi ke Nduga, dipimpin langsung oleh kepala perwakilan Komnas HAM Papua sejak hari kejadian," katanya saat dikonfirmasi.
Sementara itu Elaine Pearson dari Human Right Watch mengungkapkan kekhawatiran akan kerugian sipil yang terjadi. “Militan dan petugas keamanan seharusnya tak mencelakakan orang sipil Papua,” katanya di website resmi HRW.
‘Empat sipil tewas’
Saat proses evakuasi korban penembakan yang dilakukan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), di Distrik Mbua, Yall dan Yigi di Nduga, empat sipil dilaporkan tewas ditembak aparat TNI-Polri.
“Dua di Mbua dan dua lagi di Yigi. Seorang yang di Mbua adalah paman saya. Namanya Yulianus Tabuni,” ungkap Samuel Tabuni, tokoh muda Papua yang pernah maju sebagai calon bupati Nduga.
Menurutnya, keempat warga sipil ditembak aparat keamanan saat melakukan proses evakuasi antara tanggal 3 hingga 5 Desember lalu.
“Paman saya itu majelis di gereja Mbua,” katanya kepada BeritaBenar.
Informasi empat sipil tewas itu didapatkan Samuel dari keluarganya sendiri sehingga dia yakin kabar itu benar.
Tapi, dia menyebutkan keluarganya tak menyebutkan nama tiga korban lain.
Samuel menambahkan keluarganya mengatakan beberapa pendeta dipaksa aparat keamanan sebagai penunjuk jalan dalam operasi pengejaran terhadap TPNPB.
Apa yang disampaikan Samuel dibenarkan Pendeta Benny Giay, Ketua Sinode Kingmi Papua.
Di Nduga, Kingmi memiliki sekitar 60.000 umat, terbanyak dari denominasi gereja lain.
“Yulianus dilaporkan oleh anggota jemaat gereja Kemah Injili (Kingmi) tewas ditembak aparat keamanan dalam gereja saat mereka sedang melakukan evakuasi korban insiden Nduga, namun belum diketahui apa sebabnya,” kata Benny.
Kabid Humas Polda Papua, Komisaris Besar Polisi Ahmad Mustafa Kamal, mengatakan pihaknya belum menerima laporan terkait empat warga sipil tewas.
Dia meminta masyarakat yang mendapatkan informasi apa pun, agar mengonfirmasi dan menunggu hasil investigasi aparat kepolisian.
“Apakah itu dari KKB, kita juga belum tahu. Bisa saja dia nyerang di sana, kemudian kita mau merapat ambil korban terus terjadi kontak tembak. Kemudian dari mereka ada yang tertembak, kita belum tau, perlu identifikasi,” katanya.
Mengungsi
Sementara itu, ratusan keluarga dlaporkan telah mengungsi ke hutan karena khawatir jadi korban penyisiran TNI-Polri yang memburu pelaku pembunuhan pekerja jembatan di Kali Aworak dan Kali Yigi, Nduga.
Mereka adalah umat gereja Kingmi yang mengungsi dari Yall, Yigi dan Mbua, kata Benny.
Dia menambahkan, laporan dari jemaatnya di Mbua menyebutkan sekitar lima klasis telah mengungsi ke hutan sejak operasi pengejaran kelompok bersenjata dilakukan.
“Masing-masing jemaat itu rata-rata diisi 30-50 keluarga. Jadi, jumlah yang mengungsi dari lima klasis itu ada sekitar 780 kepala keluarga. Jika satu keluarga dua orang saja, sudah lebih dari 1.500 orang yang mengungsi,” jelas Pendeta Benny.
Pengungsian tersebut, lanjutnya, bisa menimbulkan masalah baru lagi seperti kelaparan dan kesehatan warga.
Namun Dandim 1702/Jayawijaya, Letkol Infantri Candra Dianto mengatakan warga yang sebelumnya mengungsi ke hutan sudah dibawa pulang ke kampung mereka.
“Minggu, tim evakuasi bersama Danrem ada di lokasi. Tim berhasil mengumpulkan dan menurunkan masyarakat yang mengungsi. Mereka kembali ke kampung masing-masing karena merasa ada jaminan keamanan," ujarnya.
Perkembangan lain pada Minggu, tim evakuasi menemukan satu jenazah yang diyakini sebagai korban penembakan TPNPB. Jenazah yang sudah dalam keadaan membusuk di ditemukan Puncak Kabo, Distrik Yall.
Mayat yang mengalami luka tembak dan bacok ditemukan sekitar 1,5 kilometer dari lokasi penemuan 16 jenazah korban sebelumnya.
Dari hasil identifikasi tim DVI Polda Papua dibantu tim forensik Mabes Polri, jenazah itu diketahui bernama Matius Palinggi, karyawan PT. Istaka Karya.
Pasukan TNI-Polri hingga kini masih mencari empat korban hilang lainnya sambil terus memburu para pelaku penembakan yang diperkirakan berkekuatan 50 orang.
Tria Dianti di Jakarta turut berkontribusi dalam artikel ini.