Komnas HAM Selidiki Penyebab Kematian Terduga Teroris Usai Ditangkap Densus 88
2018.02.16
Jakarta

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Jumat, 16 Februari 2018, mengatakan akan mengusut penyebab kematian terduga teroris, Muhammad Jefri alias Abu Umar (31), sehari setelah ditangkap Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Polri di Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, minggu lalu.
Setelah sempat merahasiakan penyebab kematian Jefri dan menimbulkan kecurigaan sejumlah pihak, akhirnya pada Kamis malam, 15 Februari 2018, Polri memaparkan terduga teroris itu meninggal dunia karena serangan jantung.
Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik, mengatakan hingga kini pihaknya belum mendapatkan laporan lengkap baik dari polisi maupun keluarga korban sehingga Senin depan akan dikirim tim untuk bertemu keluarga Jefri.
“Kami belum mendapatkan informasi lebih lanjut, makanya tim akan kita kirim untuk menelusuri,” katanya kepada BeritaBenar, Jumat.
Taufan belum dapat memberikan keterangan lebih detil terkait kasus itu, karena masih berusaha mempelajari lebih jauh.
“Nanti hasil penyelidikannya akan kita sampaikan lebih lanjut,” katanya.
Jefri, yang sehari-harinya dikenal sebagai pedagang es di Indramayu, ditangkap di kota tersebut pada 7 Februari 2018, karena diduga terlibat jaringan teror di Indonesia.
Dia meninggal sehari kemudian ketika diinterogasi polisi dan jenazahnya telah dibawa pulang ke kampung halamannya di Kapuran, Kota Agung, Lampung, Sabtu, 10 Februari 2018.
Ketika ditangkap, polisi ikut membawa istrinya berinisial ASN, untuk dimintai keterangan. Jefri meninggalkan istri dan seorang anak yang masih bayi.
Taufan menambahkan dalam kunjungan Kapolri Jenderal Tito Karnavian di kantor Komnas HAM, Kamis, pihaknya tidak membicarakan masalah tewasnya Jefri.
"Secara khusus tidak dibicarakan. Kita belum bicarakan. Kita tidak bicara kasus-kasus. Tapi kita memunculkan konsen kita untuk melakukan kerja sama dalam penanganan terorisme," jelas Taufan.
"Polisi sebagai instansi yang menegakkan hukum kita hormati, tapi di sisi lain Komnas HAM akan melihat dari sisi aspek hak asasi manusia. Jangan sampai penegakan hukum tidak mengindahkan hak asasi manusia.”
Serangan jantung
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri, Irjen. Pol. Setyo Wasisto dalam jumpa pers di Mabes Polri, Kamis malam, mengatakan Jefri meninggal dunia karena serangan jantung.
"Berdasarkan surat visum et repertum disimpulkan penyebab kematian adalah serangan jantung dengan riwayat jantung menahun," katanya.
Menurut Setyo, usai ditangkap, Jefri dibawa untuk menunjuk lokasi terduga militan lainnya, Agung alias Faruq, bersembunyi.
Dalam perjalanan sekitar pukul 18.00 WIB, dia mengeluh sesak napas. Atas keluhan itu, polisi langsung membawanya ke klinik terdekat di Indramayu, jelas Setyo.
"Pukul 18.30, berdasarkan keterangan dokter, tersangka telah meninggal," katanya.
Pada 8 Februari dinihari, polisi melakukan autopsi.
Arif, dokter forensik yang memeriksa jasad Jefri menyebutkan, tidak ditemukan ada luka di tubuh korban.
"Gangguan penyakit jantung yang lama dan penyakit jantung baru sehingga memicu terjadi serangan," katanya dalam jumpa pers tersebut.
JAD
Setyo menuturkan Jefri diduga terlibat beberapa jaringan dan rencana aksi teror.
"Diduga terlibat dengan kasus peledakan bom di Jalan Thamrin, Jakarta, pada 14 Januari 2016," katanya.
Jefri juga disebut mengetahui keberadaan Agung alias Faruq, yang diklaim terlibat rencana penyerangan Mapolres dan Mako Brimob Tolitoli di Sulawesi Tengah, oleh kelompok Syamsuriadi yang ditangkap Maret 2017.
"Jefri juga mengetahui perencanaan pembuatan bom micro nuc oleh kelompok Young Farmer, yang akan digunakan untuk menyerang Istana dan PT Pindad," kata Setyo, merujuk pada jaringan dari seorang anggota kelompok militan Jamaah Ansharut Daulah (JAD), kelompok yang telah berbaiat pada ISIS dan disinyalir berada di balik sejumlah aksi terorisme di Indonesia pasca 2015.
Dia menambahkan, Jefri telah mengakui terlibat aksi pelemparan bom ke Mapolsek Bontoala, Sulawesi Selatan, pada 1 Januari 2018.
Harus transparan
Jefri merupakan terduga teroris kedua yang meninggal saat proses pemeriksaan Densus 88.
Sebelumnya Siyono, terduga teroris di Klaten, Jawa Tengah, juga meninggal dunia pada Maret 2016, saat dalam pengawasan Densus 88.
Hasil otopsi yang dilakukan dokter independen usai membongkar kembali kuburannya diketahui bahwa Siyono mengalami penganiayaan.
Sebelumnya, polisi menyebut Siyono melawan dan menyerang polisi saat dibawa untuk menunjuk lokasi penyimpanan senjata.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak menyebut kematian Jefri juga patut dipertanyakan seperti Siyono, karena ia meninggal dalam pengawasan pasukan pencegah teror tersebut.
“Yang jelas banyak keganjilan dalam kasus ini, kami mendorong pihak kepolisian terbuka kepada publik, misalnya kenapa kafannya tidak diperkenankan dibuka oleh keluarga, kemudian harus segera dikuburkan saat itu, ini kan sama dengan kasus Siyono,” katanya kepada BeritaBenar.
Menurut Dahnil, perlu dilakukan otopsi lebih menyeluruh terhadap jasad Jefri oleh tim independen, untuk mengetahui penyebab kematian secara pasti.
“Jadi kalau ada kesalahan terlepas apakah dia terlibat dalam jaringan teroris atau bukan, yang jelas ada nyawa salah satu anak bangsa hilang ketika dia diduga teroris. Harus ada penegakan hukum jika memang polisi bersalah,” katanya.
Sebelumnya, Muhammadiyah ikut membantu mengadvokasi keluarga Siyono untuk mendapatkan keadilan.
Kata Dahnil, mereka juga membuka pintu kepada keluarga Jefri.
“Kita siap membantu jika keluarganya meminta,” pungkasnya.