Berikan Kompensasi Pada Korban Bom Samarinda, Negara Diapresiasi

Para korban bom Hotel J.W. Marriott terus mengupayakan kompensasi yang belum dicairkan walaupun telah diputuskan pengadilan.
Arie Firdaus
2017.12.22
Jakarta
171222_ID_Compensation_1000.jpg Terdakwa kasus bom Samarinda Juhanda (kiri) dalam persidangan vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, 25 September 2017.
Arie Firdaus/BeritaBenar

Keputusan pemerintah memberikan kompensasi kepada tujuh keluarga korban serangan bom di Gereja Oikumene di Samarinda, Kalimantan Timur, ditanggapi positif sejumlah pihak.

"Ini preseden baik," kata pengamat terorisme dari Yayasan Prasati Perdamaian, Taufik Andrie kepada BeritaBenar, Jumat, 22 Desember 2017.

“Tapi penting untuk juga meng-cover yang dulu-dulu, tak hanya Samarinda yang terjadi baru-baru ini,” tambahnya.

Kompensasi finansial tersebut diserahkan pada Kamis, 21 Desember 2017 oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mewakili pemerintah.

Ini merupakan pertama kalinya korban terorisme menerima kompensasi keuangan, sebagai hasil dari persidangan pada 25 September 2017 yang memutuskan pemerintah untuk memberikan ganti rugi terhadap korban, selain menjatuhkan pidana seumur hidup pada pelaku utamanya, Juhanda.

Tujuh korban bom molotov di Gereja Oikumene Sengkotek pada 13 November 2016, yang menewaskan seorang balita dan melukai tiga balita lain itu, menerima total Rp 237 juta.

Jumlah tersebut lebih kecil dari Rp 1,4 miliar yang dituntut jaksa dan para korban. Namun demikian, seorang penerima, Marsya Tiur —orang tua seorang balita yang terluka— tetap mengapresiasi pemerintah.

“Ini sudah cukup membantu kami. Yang paling penting pemerintah ternyata peduli,” katanya, dikutip dari laman Antaranews.

UU 15/2003 tentang Antiterorisme dan UU 31/2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban telah mengatur tentang kompensasi oleh pemerintah terhadap korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dan terorisme, namun penerapannya sangat jarang.

Tuntutan penyertaan kompensasi terhadap korban dalam tuntutan jaksa itu didasarkan pada surat edaran Jaksa Agung kepada Kepala Kejaksaan Tinggi Se-Indonesia agar memperhatikan permasalahan kompensasi korban terorisme dan pelanggaran HAM berat.

Direktur Eksekutif Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR), Muhammad Adhe Bhakti, menyebut kompensasi bagi korban merupakan hal penting. Musababnya, terorisme tak hanya berdampak jangka pendek.

"Terkadang kehilangan masa depan. Pencari nafkah yang meninggal atau kehilangan kesempatan bekerja atau pendidikan lebih lanjut," lanjut Adhe.

Begitu juga penilaian Taufik, dengan menyatakan, "Karena sejatinya konteks tindakan terorisme adalah beban negara, sehingga sangat penting (kompensasi)."

Namun, baik Taufik maupun Adhe, berharap pemerintah ke depan dapat lebih tanggap serta melindungi korban dan keluarga korban aksi terorisme.

Salah satunya dengan langsung memberi kompensasi tanpa perlu menunggu keputusan pengadilan.

“Langsung diberikan kepada korban sebagai hak,” tutur Adhe.

Korban lain menanti

Namun kompensasi yang diterima korban terorisme di Samarinda itu belum dirasakan oleh para korban terorisme lainnya.

Seperti misalnya Dwi Welasih, salah seorang korban bom Hotel J.W. Marriott di Jakarta pada 2003 yang merenggut 12 nyawa dan melukai sekitar 150 orang lain.

“Sampai saat ini belum diberikan, entah kenapa. Kalau bisa pemerintah jangan hanya melihat Samarinda saja,” kata Dwi yang bersama korban bom Marriott lainnya terus mengupayakan kompensasi yang belum kunjung cair meski pengadilan telah memutuskan kewajiban pemerintah untuk itu.

“Entah akan butuh berapa lama, tapi akan terus berjuang,” ujar Tony Soemarno, korban bom Marriott lainnya yang menyatakan akan terus berjuang untuk dirinya sendiri dan para korban terorisme lainnya.

Tony adalah juga perintis organisasi nirlaba Asosiasi Korban Bom Teroris Indonesia.

Wakil Ketua LPSK, Lili Pintauli Siregar, menjelaskan belum kunjung cairnya kompensasi untuk korban bom Hotel Marriott lantaran putusan perkara itu tak merinci jumlah korban yang harus dibayar pemerintah.

“Data korban seperti gelondongan dan tidak mendetail, berbeda dengan di Samarinda,” kata Lili kepada BeritaBenar.

“Sehingga agak kesulitan. Kepada siapa saja kompensasi akan dibayarkan?”

Meski begitu, ia berjanji LPSK akan membantu proses pencairan kompensasi tersebut. Kendati dengan catatan, “Menunggu permohonan mereka.”

Masih revisi

Kebijakan yang mensyaratkan keputusan pengadilan untuk pemberian kompensasi kini akan diusahakan untuk diubah lewat Rancangan Undang-Undang (RUU) Antiterorisme yang tengah digodok Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Aturan baru terkait penanggulangan terorisme tadinya direncanakan tuntas akhir tahun ini, namun molor akibat tarik-ulur pembahasan di parlemen.

Selain terkait prasyarat keputusan pengadilan untuk kompensasi, ihwal lain yang diperdebatkan adalah keberadaan pasal yang menyebutkan bahwa setiap orang yang diduga melakukan terorisme dapat dibawa atau ditahan pada tempat tertentu dalam waktu enam bulan.

Sejumlah aktivis HAM menilai pasal ini berpotensi memunculkan sikap penyalahgunaan wewenang aparat hukum.

Ketua Panja RUU Antiterorisme, Muhammad Syafi'I, enggan memerinci poin-poin yang membuat pembahasan RUU tersebut berlarut-larut padahal diajukan beberapa saat setelah terjadi aksi teror di kawasan Thamrin, Jakarta, Januari 2016.

Yang pasti, katanya, DPR berkomitmen menyelesaikan aturan tersebut dalam waktu singkat.

“Segera diselesaikan,” pungkasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.