Kontras serukan pengawasan atas Polri menyusul maraknya kasus kekerasan oleh polisi
2024.07.01
Jakarta

Pemerintah harus meningkatkan pengawasan terhadap polisi demi mencegah lebih banyak korban di masa mendatang, demikian kata organisasi hak asasi manusia KontraS yang merilis laporan tentang maraknya praktik kekerasan dan penyalahgunaan wewenang oleh kepolisian, pada Senin (1/7), bertepatan dengan peringatan 78 tahun Polri.
KontraS mencatat, sebanyak 645 peristiwa kekerasan melibatkan anggota kepolisian terjadi sepanjang Juli 2023 hingga Juni 2024, mengakibatkan 754 orang terluka dan 38 lainnya meninggal dunia.
Dari 38 korban jiwa itu, sebanyak 37 di antaranya meninggal akibat praktik pembunuhan di luar hukum oleh anggota polisi, terang KontraS.
"Alih-alih bertindak untuk menjaga ketertiban dan keamanan warga, anggota polisi justru menjadi alat membungkam warga," kata Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya, dalam pemaparan laporan memperingati Hari Ulang Tahun Polri itu.
Dalam kurun sebelumnya, pada periode Juli 2022 hingga Juli 2023, KontraS mencatat kasus yang lebih sedikit namun dengan korban yang jauh lebih besar, yaitu 622 peristiwa, dengan korban luka 1.363 orang dan meninggal 187, di mana 41 di antaranya akibat pembunuhan di luar hukum.
Jumlah korban meninggal dunia dan terluka pada periode lalu yang besar itu disebabkan oleh keberadaan sejumlah peristiwa, salah satunya kerusuhan pada pertandingan sepak bola di Stadion Kanjuruhan, Malang, Jawa Timur yang menewaskan 135 orang pada 1 Oktober 2022.
Pengawasan internal buruk dan tidak transparan
Dimas menambahkan, peningkatan peristiwa kekerasan dan penyalahgunaan wewenang polisi dalam setahun terakhir disebabkan oleh sikap institusi kepolisian yang terus melanggengkan kultur kekerasan serta pengawasan internal yang buruk dan tidak transparan.
"Seringkali, pelaku kekerasan bahkan tidak mendapat sanksi etik atau mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana," kata Dimas.
Selain pengawasan internal oleh Divisi Profesi dan Pengaman (Propam), anggota kepolisian saat ini juga diawasi lembaga pengawas eksternal yakni Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), namun KontraS menilai kedua lembaga itu belum bertindak maksimal.
Pemeriksaan oleh Propam seringkali berlangsung tidak transparan, sementara Kompolnas tidak memiliki peran penyidikan dan penuntutan sehingga gagal memberikan efek jera kepada polisi yang melanggar aturan dan hukum, terang Dimas.
Walhasil, ia pun mendesak pemerintah untuk membentuk lembaga pengawas eksternal yang memiliki kewenangan semi penyidik atau penuntut serta hakim pemeriksa pendahuluan, sehingga dapat melakukan investigasi yang efektif terhadap dugaan pelanggaran anggorta kepolisian.
"Kehadiran hakim pemeriksa pendahuluan dapat juga menjadi mekanisme bagi korban penyiksaan atau salah tangkap untuk menuntut pemulihan hak secara berkeadilan," kata Dimas, sembari menambahkan bahwa pemerintah dan parlemen saat ini belum tegas menyelesaikan beragam masalah di kepolisian.
Ia merujuk pada langkah pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat yang justru menginisiasi revisi Undang-undang Kepolisian secara tiba-tiba dan minim partisipasi publik.
Dalam pemaparan laporan, KontraS turut menghadirkan Muhammad Rusin, orang tua Muhammad Fikry yang dituduh kepolisian di Bekasi, Jawa Barat, sebagai begal pada 2022. Fikry belakangan diketahui merupakan korban salah tangkap kepolisian setempat, namun sepanjang pemeriksaan, laki-laki itu telah beroleh beragam siksaan oleh aparat.
Rusin menceritakan beragam penyiksaan oleh anggota polisi terhadap Fikri, mulai dari pemukulan, tendangan, hingga disundut rokok.
"Pada hari setelah penangkapan, kami sebagai keluarga tidak bisa menjenguk dengan alasan penyidikan. Baru seminggu kemudian (menjenguk), tapi kami melihat badannya berbekas (penyiksaan)," kata Rusin.
Ia mengaku telah melaporkan anggota polisi yang diduga menyiksa anaknya ke Propam Polri, namun sampai saat ini laporan tersebut tidak ditanggapi.
"Dua oknum utama dalam pelanggaran HAM anak saya bahkan kini ditempatkan di unit perlindungan perempuan dan anak. Bagaimana oknum yang sudah melakukan pelanggaran HAM ditempatkan di sana?" ujar Rusin.
Tidak serius tangani HAM
Pengamat hukum Universitas Bina Nusantara di Jakarta, Ahmad Sofian, mengatakan kepolisian memang tidak serius dalam mengintegrasikan isu hak asasi ke dalam institusi sampai saat ini.
Ahmad mengatakan, kepolisian sejatinya telah memiliki Peraturan Kapolri (Perkap) sebagai pedoman penyelidikan dan penyidikan suatu dugaan pidana, namun para polisi belum mengadopsinya dengan baik.
Ia mencontohkan peristiwa Afif Maulana (13) yang meninggal dunia usai diduga disiksa polisi. Jenazah Afif ditemukan di bawah sebuah jembatan dengan sejumlah luka di badan pada 9 Juni di Padang, Sumatra Barat.
"Sudah ada Perkap, tapi di lapangan tidak diaplikasikan dengan baik. Kasus di Padang, itu kan sudah penyiksaan, bukan kekerasan lagi," kata Ahmad dalam pemaparan laporan KontraS.
Ia pun mendesak pemerintah agar menekan kepolisian untuk serius mengajarkan tentang penghormatan hak asasi manusia di akademi kepolisian.
"Karena masalah ini enggak cukup (diselesaikan) dengan Perkap. Tapi bagaimana mereka juga men-delivery tentang hak asasi manusia di akademi," pungkas Ahmad.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid menambahkan, kepolisian memang tidak kunjung membaik, meski telah berulang kali menyatakan akan melakukan pembenahan diri.
"Kapolri sering mengatakan melakukan perbaikan, tapi tampaknya tidak kunjung terwujud," ujar Usman dalam keterangan tertulis diterima BenarNews.
Usman merujuk kriminalisasi pembela hutan mangrove di Langkat, Sumatra Utara yang justru ditangkap pada 18 April dan 11 Mei lalu, serta penggunaan kekerasan berlebihan terhadap beberapa anak di Sumatra Barat, dengan dalih penertiban wilayah dari tawuran.
“Pada Hari Bhayangkara ini, Polri harus mengakui kalau mereka telah gagal dalam menegakkan hak asasi manusia," ujar Usman.
"Segelintir oknum"
Juru Bicara Markas Besar Kepolisian Brigadir Jenderal Trunoyudo Wisnu Andiko, kepada BenarNews, menepis kekerasan sebagai kultur kepolisian. Ia menyebut praktik itu sebagai ulah segelintir individu sehingga tidak dapat digeneralisir sebagai sikap institusi kepolisian, dengan mengatakan, "Itu oknum. Polri tidak mengajarkan kekerasan."
Walaupun kekerasan yang dilakukan polisi masih tinggi, tingkat kepercayaan masyarakat atas kepolisian meningkat dalam sejumlah tilikan terbaru sejumlah lembaga survei.
Litbang Kompas dalam survei pada 18-20 Juni 2024 menyatakan citra kepolisian naik 1,5 persen dibanding survei Desember 2023, menjadi 73,1 persen. Begitu pula Indikator Politik pada Januari lalu menyatakan kepercayaan terhadap polisi masih di atas 70 persen, setelah sempat anjlok di bawah 60 persen saat kasus Ferdy Sambo pada 2022.
Pizaro Gozali Idrus berkontribusi dalam laporan ini.