Keluarga Korban Maafkan Pelaku Bom Surabaya
2018.07.25
Surabaya

Dua bulan setelah aksi bom bunuh diri di Gereja Katolik Santa Maria Tak Bercela (SMTB) Surabaya, Jawa Timur (Jatim), belum cukup bagi Stefanus Hendro Siswanto melupakan peristiwa yang merenggut nyawa putranya, Aloysius Bayu Rendra Wardhana.
Dalam tragedi Minggu pagi, 13 Mei 2018 itu, Bayu bersama tiga orang lain menjadi korban tewas akibat ledakan bom bunuh diri dari dua kakak beradik belasan tahun yang mengendarai sepeda motor.
Selain di SMTB, saat bersamaan juga terjadi aksi bom mobil yang dilakukan Dita Apriyanto, ayah dari kedua kakak-beradik tersebut, terhadap Gereja Pantekosta Pusat Surabaya (GPPS) Sementara istri Dita, Puji Kuswati, bersama dua putri mereka meledakkan diri di Gereja Kristen Indonesia (GKI).
Total 14 warga sipil tewas dalam serangan teror terhadap tiga gereja tersebut.
Bayu, yang merupakan ketua relawan keamanan SMTB, meninggalkan istri dan dua anaknya yang masih balita.
Ditemui BeritaBenar di kantor Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Surabaya, Stefanus mengatakan Bayu telah memberi contoh tentang pengorbanan bagi sesama, dimana putranya menghalau pelaku masuk ke dalam gereja.
“Saya percaya Bayu telah dipanggil Tuhan sesuai dengan rencana dan keinginan Tuhan,” ujar Stefanus menghela napas.
Ia menegaskan ia telah memaafkan para pelaku bom yang telah menewaskan Bayu.
“Kami sudah memaafkan para pelaku dan mengikhlaskan semuanya,” katanya.
Bayu dikenal sebagai sosok yang berani berkorban. Dalam suatu kesempatan, Bayu pernah menyampaikan kepada Stefanus, ingin mengalami penderitaan seperti Yesus.
Rasa inilah yang kemudian membuat Bayu bersedia mengambil peran sebagai Yesus dalam visualisasi Jalan Salib.
Bahkan, dalam perannya, Bayu meminta kepada rekan-rekannya untuk mencambuk dan menendang sungguhan.
“Dalam visualisasi itu, Bayu ingin betul-betul menghayati peristiwa yang dialami Yesus,” terangnya.
Santuni korban bom
Stefanus dan beberapa keluarga korban bom Surabaya, Rabu, 25 Juli 2018, sengaja datang ke kantor PCNU Surabaya atas undangan Jaringan Gus Durian dan NU yang memberikan pendampingan kepada korban dan anak pelaku bom.
Koordinator Umum Jaringan Gusdurian, Alisa Wahid, mengatakan untuk memulihkan kondisi para korban, pihaknya terus melakukan pendampingan dan mengunjungi keluarga korban.
Melalui pendampingan, pulih dari trauma menjadi lebih cepat dan mengurangi rasa takut berlebih.
“Kita tahu prosesnya tidak mudah dan cepat. Sebelumnya, jemaat yang tidak jadi korban atau tidak kehilangan sempat takut untuk datang ke gereja,” ujar putri presiden keempat Abdurahman “Gus Dur” Wahid.
Santunan yang dilakukan adalah ingin membuktikan teror di Surabaya gagal memporak-porandakan semangat kebangsaan, dan menyampaikan bahwa masyarakat ikut merasakan duka warga Surabaya.
“Teroris ingin kita terpecah, saling curiga dan benci. Masyarakat Surabaya membuktikan bahwa kita menjadi makin kuat dan tangguh. Seluruh masyarakat juga ikut bersolidaritas,” katanya.
Ardi Wilda, Content Manager dari organisasi penggalangan dana kitabisa.com, mengatakan pengumpulan dana untuk korban bom dilakukan lebih 30 hari yang dimulai sehari pasca terjadinya bom di Surabaya, 13 Mei 2018.
Pengumpulan dana itu sebagai bentuk partisipasi dan berkontribusi bagi sesama dan tidak hanya mengejar nominal semata.
“Orang yang berdonasi merasa melakukan untuk saudaranya. Di Surabaya, ada tiga orang perwakilan yang menerima santunan secara simbolis,” uja Ardi.
Apresiasi
Tokoh Forum Bhinneka di Jawa Timur, Iryanto Susilo, mengapresiasi acara yang digelar Jaringan Gus Durian tersebut karena sekaligus membuktikan kalau masyarakat tidak takut terhadap terorisme.
Ia juga mengatakan, tokoh agama di masing-masing agama memiliki peran sentral dalam menciptakan perdamaian.
Menurutnya, para tokoh yang memberikan nilai spiritual tentang perdamaian, kebersamaan dan kesetaraan.
“Mereka juga harus mengajarkan Tuhan adalah untuk semua orang,” katanya.
Apresiasi sama juga ditunjukkan Alissa. Tidak terkecuali kepada pemerintah dan kepolisian yang telah bekerja keras menangani jaringan atau sel terorisme di Indonesia.
Menurutnya, apa yang dilakukan saat ini sudah progresif dan cepat.
Di sisi lain, ia meminta kepada aparat keamanan agar menangkap pelaku teroris setelah memiliki bukti yang kuat.
“Jangan sampai tidak disertai bukti, atau salah tembak. Perlindungan HAM [hak asasi manusia] juga harus dikedepankan,” tegasnya.
Perkembangan terbaru
Kabid Humas Polda Jatim, Kombes. Pol. Frans Barung Mangera, mengatakan kepolisian telah menyebar tim di sejumlah daerah yang dianggap sebagai tempat keberadaan jaringan terorisme.
“Kami masih melakukan pemantauan terhadap jaringan terorisme di Jawa Timur,” terangnya.
Hingga saat ini, pasca terjadinya bom di Surabaya, mereka yang diduga menjadi jaringan teroris tertangkap di sejumlah daerah di Jawa Timur, seperti Tulungagung, Blitar, dan Malang.
Mereka yang tertangkap masih terus menjalani pemeriksaan intensif dari tim Densus 88 Antiteror.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian Senin pekan lalu mengatakan Densus 88 telah menangkap 200-an terduga teroris, termasuk 20 orang yang tewas ditembak, sejak serangan teror di Surabaya.