Korupsi 2 Menteri Picu Keraguan Komitmen Pemerintahan Bersih Jokowi

Mensos Juliari Batubara diduga terima suap dana bansos penanggulangan COVID-19.
Ronna Nirmala
2020.12.07
Jakarta
Korupsi 2 Menteri Picu Keraguan Komitmen Pemerintahan Bersih Jokowi Dalam foto tertanggal 23 September 2020 ini, Menteri Sosial Juliari Batubara menyampaikan laporan di sebuah rapat dengan DPR di Jakarta. Juliari ditangkap pada 6 Desember 2020 atas dugaan korupsi dana bansos penanggulangan COVID-19.
AFP

Kasus korupsi yang menjerat dua menteri di pemerintahan Joko “Jokowi” Widodo telah mencoreng citra pemerintah dan mengindikasikan lemahnya komitmen pemerintahan saat ini atas pemberantasan korupsi, kata pengamat, Senin (7/12).

Pada Minggu, KPK menetapkan Menteri Sosial Juliari Peter Batubara sebagai tersangka penerima suap 17 milyar rupiah dari perusahaan yang ditunjuk kementerian memasok bahan sembako untuk warga yang terdampak pandemi COVID-19.

Penetapan Juliari hanya berselang dua minggu dari ditangkapnya Menteri Kelautan dan Perikanan (non-aktif) Edhy Prabowo karena dugaan korupsi izin ekspor benih lobster. 

Zaenur Rohman, Peneliti Pusat Kajian Anti-Korupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) mengatakan tidak mengagetkan ada menteri Jokowi yang berperilaku korup lantaran pemerintah memang cenderung tidak mendukung penindakan korupsi. 

“Kalau kita lihat, banyak pernyataan pemerintah yang justru tidak mendukung upaya korupsi dalam aspek penindakan. Misalnya ada pernyataan KSP (Kantor Staf Presiden) yang menyebut penindakan korupsi bisa menyebabkan investasi mandek,” kata Zaenur kepada BenarNews, merujuk pada pernyataan yang pernah disampaikan oleh kepala KSP, Moeldoko.

Lemahnya dukungan juga disimbolkan melalui revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang memangkas banyak kewenangan sakti lembaga antirasuah itu dalam menindak korupsi. 

“Memang benar KPK bisa melakukan OTT (operasi tangkap tangan) dua menteri, tapi angka penindakan 2020 itu menurun,” katanya. Data Pukat UGM menyebut sepanjang tahun 2020 baru ada 7 OTT, sementara pada 2019 terdapat 30 kasus dan 21 kasus lainnya pada 2018. 

“Pernyataan-pernyataan Jokowi akan memberantas korupsi hanya lip service saja. Karena agenda utama pemerintahannya adalah pembangunan infrastruktur. Maka tidak ada program-program unggulan untuk memberantas korupsi,” katanya. 

Juliari dan Edhy menjadi dua menteri dalam kabinet pemerintahan Jokowi kedua yang tersangkut perkara di KPK. Pada periode pertama Jokowi, mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi dan Menteri Sosial Idrus Marham juga tersandung kasus korupsi. 

Sementara itu, Jokowi memberikan kepercayaan kepada KPK untuk bekerja profesional dan berjanji tidak akan melindungi siapa pun yang terlibat korupsi. 

“Kita semuanya percaya KPK bekerja secara transparan, secara terbuka, bekerja secara baik, profesional dan pemerintah akan terus konsisten mendukung upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi," kata Jokowi di Istana Bogor, Minggu.

Jokowi telah menunjuk Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy sebagai Pelaksana tugas (Plt) Menteri Sosial. 

Jerat hukuman mati

Sementara itu, Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan penyidik masih mengumpulkan bukti untuk menjerat Juliari dengan pasal yang memungkinkan ancaman hukuman mati.

“KPK masih akan terus mendalami. Ditunggu perkembangan terkait dengan ini karena penyelidikan masih terus berjalan untuk mengumpulkan bukti lain terkait pengadaan barang dan jasa yang mungkin ending-nya ada di Pasal 2 Ayat 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor,” kata Ali kepada BenarNews. 

Pasal 2 ayat 2 memungkinkan pidana mati pelaku korupsi yang melibatkan dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya atau bencana alam nasional.

Dalam penangkapan Juliari, KPK mengamankan uang senilai Rp14,5 miliar yang terdiri dari pecahan rupiah, dolar AS dan dolar Singapura, yang disimpan dalam tujuh koper, tiga tas ransel dan amplop kecil. 

Selain Juliari, KPK juga menetapkan tersangka kepada dua pejabat pembuat komitmen di Kementerian Sosial, Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono, dan dua orang dari pihak swasta, Ardian I M dan Harry Sidabuke. 

Juliari dan dua bawahannya disangkakan melanggar Pasal 11 dan 12 UU Tipikor dengan hukuman maksimal 20 tahun, sementara dua pemberi suap dari pihak swasta terancam maksimal 5 tahun penjara karena melanggar Pasal 5. 

Pasal yang dikenakan kepada Juliari memicu perdebatan publik terkait tuntutan hukuman mati bagi pelaku korupsi anggaran penanganan bencana atau pandemi seperti yang pernah disampaikan pimpinan KPK pada pertengahan Juli lalu. 

“Ini tidak main-main. Ini saya minta betul nanti kalau ada yang tertangkap saya minta diancam hukuman mati,” kata Firli saat itu. 

‘Tilep’ Rp10.000 per paket sembako

Penyaluran paket sembako di Kementerian Sosial dengan nilai Rp5,9 triliun yang melibatkan 272 kontrak dan dilaksanakan dalam dua periode, sebut KPK.

Menurut KPK, pada periode pertama, Kementerian Sosial diduga menerima imbalan sebesar Rp12 miliar, dengan Rp8,2 miliar di antaranya diberikan secara tunai oleh tersangka Matheus kepada Juliari. 

Untuk periode kedua pelaksanaan bansos sembako, bulan Oktober-Desember 2020, terkumpul uang fee dengan nilai total Rp8,8 miliar yang juga dipergunakan untuk keperluan Juliari. “Untuk fee tiap paket bansos disepakati oleh MJS dan AW sebesar Rp10 ribu per paket sembako dari nilai Rp300 ribu per paket bansos,” kata Firli. 

KPK menyebut kongkalikong yang dilakukan pejabat Kemsos dan pihak swasta tersebut berasal dari jatah bansos sembako milik 1,9 juta warga miskin di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya. 

Dari total anggaran penanganan COVID-19 sebesar Rp695 triliun, Kementerian Sosial mendapat alokasi Rp127,2 triliun. 

Selain menjabat sebagai pejabat kementerian, Juliari juga memegang peranan penting dalam Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)--partai pengusung Jokowi--sebagai wakil bendahara umum. 

Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto dalam keterangannya, Minggu, mengatakan partainya akan menghormati seluruh proses hukum yang sedang berlangsung. “Kami selalu tegaskan bahwa kekuasaan itu untuk rakyat. Partai melarang segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan, termasuk korupsi,” katanya. 

Jubir KPK Ali menyatakan pihaknya hingga saat ini masih belum bisa menyimpulkan adanya aliran dana dari Juliari ke PDIP.

Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) KPK pada tahun 2019 menyebut Juliari memiliki harta hingga mencapai Rp47,1 miliar. 

Pengamat politik Universitas Al-Azhar Jakarta, Ujang Komarudin, kasus korupsi yang menimpa menteri akan mempengaruhi pandangan publik terhadap pemerintah Jokowi. 

“Ini sangat mencoreng wajah kabinet Jokowi, karena bagaimanapun kabinet adalah anak buah yang diangkat Presiden secara langsung,” kata Ujang kepada BenarNews. 

“Publik akan menganggap kabinet ini miskin moralitas, melanggar sumpah jabatan ketika mereka dilantik,” ujarnya.

Dua kejadian ini harus menjadi bahan evaluasi pemerintah ke depan, kata Ujang.

“Korupsi di kita itu bukan hanya soal kebutuhan tapi juga rakus, bisa jadi tuntutan dari parpol juga, untuk kejar setoran. Kita tahu menteri jadi sumber finansial bagi parpol untuk pendanaan partai maupun untuk pemilu,” ujarnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.