Aktivis Nilai Hukuman 8 Tahun Penjara Patrialis Terlalu Ringan

Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi dan pihak Patrialis masih mempertimbangkan apakah bakal menempuh banding atau menerima vonis hakim.
Arie Firdaus
2017.09.05
Jakarta
170905_ID_Patrialis_1000.jpg Patrialis Akbar (dengan rompi oranye) berbicara kepada wartawan di kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta, 27 Januari 2017.
AFP

Para aktivis antikorupsi menilai hukuman delapan tahun penjara yang dijatuhkan majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta terhadap mantan hakim konstitusi, Patrialis Akbar, terlalu ringan.

"Mestinya dihukum berat, merujuk kepada posisi dia sebagai hakim konstitusi," kata Direktur Eksekutif Lingkar Madani, Ray Rangkuti kepada BeritaBenar di Jakarta, Selasa, 5 September 2017.

Ray membandingkan vonis Patrialis dengan besaran hukuman yang pernah didapatkan hakim konstitusi lain, Akil Mochtar, pada Juni 2014.

Akil yang saat itu menduduki Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) divonis penjara seumur hidup setelah terbukti menerima suap atas beberapa sengketa pemilihan kepala daerah yang didaftarkan ke mahkamah. Ia menjadi hakim konstitusi pertama yang mendekam di balik jeruji besi.

"Itu (MK) institusi yang dihormati. Semestinya jadi pertimbangan untuk memperberat hukuman terhadap Patrialis," kata Ray lagi.

Tak jauh berbeda pendapat aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Febri Hendri, yang menilai Patrialis semestinya dijatuhkan hukuman yang tak jauh berbeda dengan Akil.

"Karena apa yang dilakukan Patrialis, dengan membocorkan rancangan putusan MK dan menerima uang, telah mencoreng peradilan Indonesia," kata Febri saat dihubungi.

Patrialis ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 25 Januari lalu di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta bersama seorang perempuan.

Belakangan, KPK menyatakan perempuan yang turut diamankan bersama Patrialis tak terkait kasus yang melilit bekas politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu.

Dianggap pernah berjasa

Patrialis divonis delapan tahun penjara dalam persidangan yang digelar Senin kemarin. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa, yang menuntut hukuman 12 tahun 6 bulan penjara serta denda Rp300 juta subsider tiga bulan kurungan untuk mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia tersebut.

Jaksa sebelumnya menjerat Patrialis dengan Pasal 12 huruf c juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 dan Pasal 64 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Hakim menilai Patrialis telah terbukti menerima uang sebesar US$70 ribu dan dijanjikan Rp2 miliar dari importir daging Basuki Hariman untuk memengaruhi putusan terkait uji materi Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 yang tengah ditangani MK.

Aksi itu dilakukan Hariman bersama anak buahnya bernama Ng Fenny, dengan bantuan orang dekat Patrialis yang bernama Kamaludin.

Atas peran ini, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta telah menghukum Kamaludin, Hariman, dan Fenny. Dua nama awal divonis masing-masing tujuh tahun penjara, sedangkan Fenny beroleh hukuman penjara selama lima tahun.

Soal besaran hukuman penjara untuk Patrialis lebih rendah dari tuntutan jaksa, majelis hakim yang dipimpin Nawawi Pamolango menyatakan mereka mempertimbangkan posisi Patrialis yang pernah berjasa dan berbakti kepada negara.

"Terdakwa menerima Satya Lencana (Karya Satya) saat menjabat Menteri Hukum dan HAM," kata hakim Nawawi.

Lencana itu merupakan tanda jasa yang diberikan kepada aparatur sipil negara yang telah menunjukkan kedisiplinan dan kecakapan sepanjang masa bakti.

Meski di sisi lain, "Terdakwa mencederai lembaga Mahkamah Konstitusi."

Pertimbangan menghitung jasa Patrialis tersebut ditanggapi sinis Febri Hendri dan Ray Rangkuti. Keduanya menilai pertimbangan itu tak lagi relevan untuk Patrialis.

"Tindakannya kan sudah mencederai kepercayaan negara," kata Febri seraya meminta KPK untuk melakukan banding atas putusan hakim.

Ray juga berharap KPK menempuh langkah serupa.

"Kalau mempertimbangkan posisi sebagai hakim MK, semestinya vonis tak jauh berbeda dengan Akil," pungkasnya.

Pikir-pikir

Seusai persidangan, jaksa KPK menyatakan masih mempertimbangkan apakah bakal menempuh banding atau menerima vonis hakim.

Belum pastinya sikap komisi antirasuah itu juga disampaikan juru bicara KPK Febri Diansyah. Ia enggan berkomentar lebih lanjut atas vonis Patrialis dan langkah yang bakal ditempuh lembaganya ke depan.

Sampai saat ini, kata Febri, sikap KPK masih seperti ditunjukkan jaksa di persidangan.

"Masih berpikir-pikir," katanya kepada BeritaBenar.

Meski begitu, Febri mengatakan KPK siap jika nantinya kubu Patrialis mengajukan banding.

Kubu Patrialis hingga kini memang masih pikir-pikir, apakah mengajukan banding atau menerima vonis hakim. Seperti disampaikan Soesilo Aribowo selaku kuasa hukum Patrialis, mereka akan memanfaatkan waktu sepekan yang diberikan undang-undang untuk mempertimbangkan nasib.

Ia enggan mengomentari pendapat yang menyebut kliennya layak dihukum lebih berat.

"Yang pasti sejak awal, Pak Patrialis tak bersalah," kata Soesilo.

"Pak Patrialis tidak pernah menyuruh Kamaludin untuk menghubungkan dengan Pak Basuki Hariman. Itu inisiatif Kamaludin sendiri.”

Dihubungi terpisah, juru bicara MK, Fajar Laksono, tak mau berkomentar lebih lanjut atas vonis Patrialis.

“Saya tak bisa berkomentar banyak. Tapi ikut prihatin, tentunya,” kata Fajar.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.