KPK Tolak Rekomendasi Hak Angket DPR

Aktivis antikorupsi menilai tidak ada hal signifikan dari rekomendasi tersebut.
Rina Chadijah
2018.02.14
Jakarta
180214_ID_KPK_1000.jpg Ketua DPR, Bambang Soesatyo (dua dari kanan) yang didampingI Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah berbicara kepada wartawan di Jakarta, 14 Februari 2018.
Rina Chadijah/BeritaBenar

Walaupun tetap mengapresiasi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menolak rekomendasi kerja tim Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPR atas kinerja badan anti-rasuah tersebut, yang dipublikasikan pada Rabu, 14 Februari 2018, di Jakarta.

"Meskipun KPK berbeda pendapat dan tidak setuju dengan sejumlah temuan dan rekomendasi Pansus, namun dalam konteks hubungan kelembagaan, kami hargai sejumlah poin di laporan tersebut," kata Juru Bicara KPK, Febri Diansyah, kepada wartawan di gedung KPK, Rabu.

Pansus Hak Angket yang melakukan kinerjanya selama enam bulan di tengah penyelidikan KPK atas kasus korupsi e-KTP yang menjerat sejumlah anggota DPR termasuk ketuanya saat itu, Setya Novanto, mengeluarkan 10 rekomendasi.

Rekomendasi dibacakan dalam rapat paripurna DPR, oleh Ketua Pansus Hak Angket KPK Agun Gunandjar, di gedung parlemen, Senayan, Jakarta.

“Dalam waktu lima tahun, KPK harus mampu meningkatkan indeks presepsi korupsi (IPK),” ujar Agun.

Pansus membagi rekomendasi menjadi empat bagian, menyangkut aspek kelembagaan, kewenangan, anggaran, dan tata kelola sumber daya manusia.

Terkait kelembagaan, presiden dan KPK diminta menyempurnakan struktur organisasi agar mencerminkan tugas dan kewenangan KPK, yang meliputi koordinasi, supervisi, penindakan, pencegahan, dan monitoring.

KPK disarankan melalui mekanisme yang diatur sendiri dengan membentuk lembaga pengawas independen beranggotakan unsur internal KPK dan eksternal dari tokoh-tokoh berintegritas dalam kerangka terciptanya check and balances.

KPK juga diminta agar meningkatkan kerja sama dengan institusi penegak hukum dan lembaga lain seperti Badan Pemeriksa Keuangan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Pusat Pelaporan dan AnalisaTransaksi Keuangan, Komisi Nasional HAM, pihak perbankan dalam menjalankan kewenangannya.

Kerja bersama

Menolak poin-poin rekomendasi Pansus, KPK sebaliknya mengajak DPR untuk mencegah pelemahan KPK.

Febri mengatakan saat ini ada tugas penting DPR yakni menguatkan pemberantasan korupsi melalui Revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Tak hanya itu, lanjutnya, hal yang harus jadi perhatian khusus DPR adalah pembentukan Undang-Undang tentang Perampasan Aset, Pengawasan Administrasi Pemerintah, dan Pembatasan Transaksi Tunai.

Febri menuturkan pemberantasan korupsi termasuk IPK juga menjadi tanggung jawab DPR dan pemerintah serta pemangku kepentingan lain.

"Jadi, ketika bicara tentang pemberantasan korupsi, haruslah dilihat sebagai kerja bersama," ujarnya.

Suasana sidang paripurna DPR di Jakarta, 14 Februari 2018. (Rina Chadijah/BeritaBenar)
Suasana sidang paripurna DPR di Jakarta, 14 Februari 2018. (Rina Chadijah/BeritaBenar)

Berbeda suara

Ketua DPR, Bambang Soesatyo mengatakan, rekomendasi DPR tidak bersifat mengikat, KPK dan pemerintah bebas apakah akan membentuk lembaga independen pengawas KPK atau tidak.

“Sejak awal dilaporkan, rekomendasi itu sudah ada. Bahwa DPR, pemerintah tidak ikut campur. Mau bentuk silakan tidak bentuk silakan, terserah pimpinan KPK,” ujarnya kepada wartawan usai sidang paripurna.

Namun, pendapat berbeda disampaikan anggota Pansus Hak Angket, Arsul Sani, yang mengatakan KPK wajib mematuhi seluruh rekomendasi tersebut.

"Saya kira begini, kita kembali pada prinsip Undang-Undang MD3 (Undang-undang tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD), kan setiap kami rapat kerja atau rapat dengar pendapat selalu ada kesimpulan. Kesimpulan itu kan bisa berisi rekomendasi. Itu saja wajib dan mengikat untuk dilaksanakan," ujarnya.

Sementara Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menilai cara KPK dalam melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) tersangka korupsi tak cocok diterapkan di negara demokrasi, seperti Indonesia.

"KPK cocoknya pindah ke Korea Utara saja. Suruh jadi aparatnya Kim Jong Un, itu cocok dia. Nggak bisa dia di negara demokrasi," katanya.

Menurutnya, OTT tidak akan membuat para pelaku tindak pidana korupsi jera. Lembaga antikorupsi itu, kata Fahri, hanya sedang membuat drama.

"Saya menganggap KPK itu sudah mengalami kematian fungsi dan eksistensi. Kayak sekarang dia ngejar-ngejar bupati yang lagi Pilkada, kayak berburu di kebun binatang," ujarnya.

Sepanjang tahun lalu, KPK telah melakukan 19 OTT, yang merupakan jumlah terbanyak sejak lembaga antirasuah itu berdiri pada 2002.

Buang energi

Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Tama S Langkun menilai tidak ada hal yang signifikan dari rekomendasi hak angket DPR terhadap KPK. Sepuluh poin yang disampaikan juga terkesan sangat dangkal.

“Hasilnya tidak juga cukup baik. Bahkan apa yang direkomendasikan hampir semuanya telah dilakukan KPK. Jadi sepertinya tidak ada hasil yang cukup berarti dari penggunaan hak angket ini,” katanya saat dihubungi.

Sementara Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gajah Mada, Oce Madril, seperti dikutip dari laman Kompas.com menilai rekomendasi pansus DPR agar KPK membentuk lembaga pengawas independen, tak jelas fungsi dan urgensinya karena KPK sudah punya sistem pengawasan.

"Secara etik, dia sudah punya komite etik. KPK juga sudah punya dewan penasihat. Jadi fungsinya apa dewan (lembaga) pengawas (independen) itu, enggak jelas," ujarnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.