Pengamat: Partai Politik Alami Krisis Kaderisasi
2016.09.23
Jakarta

Sejumlah partai politik (Parpol) baru menentukan pasangan calon untuk diusung dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak tahun 2017 menjelang berakhirnya waktu pendaftaran ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) Jumat, 23 September 2016.
Fenomena menjelang Pilkada untuk memilih tujuh gubernur, 18 walikota, dan 76 bupati di Indonesia itu dinilai pengamat politik sebagai perwujudan krisis kaderisasi di dalam Parpol.
Pengamat politik dari Charta Politika, Yunarto Wijaya, menilai hal itu disebabkan karena gagalnya proses kaderisasi dan regenerasi internal partai.
“Ini yang menyebabkan tak mudah partai mencari kader terbaiknya di level daerah. Sulit mencari calon dengan kombinasi kesesuaian nilai partai dan elektabilitas tinggi karena kegagalan proses kaderisasi,” ujarnya kepada BeritaBenar, Kamis, 22 September 2016.
Sebagai contoh, Partai Gerindra yang berkoalisi dengan Partai Keadilan Sejahtera baru mengumumkan pasangan calon Gubernur DKI Jakarta, pada Jumat sore.
Mereka mengusung mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan menjadi calon gubernur dan politisi Gerindra dan Sandiaga Uno sebagai calon wakilnya. Padahal sebelumnya, Sandiaga digadang-gadang sebagai calon gubernur.
Penentuan pasangan calon cukup mengejutkan diusung koalisi Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa dan Partai Persatuan Pembangunan usai beberapa kali menggelar pertemuan di kediaman mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Keputusan koalisi empat Parpol ini untuk mengusung Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni disepakati Jumat dinihari. Agus adalah putra tertua SBY, sedangkan Sylviana adalah Deputi Gubernur Bidang Kebudayaan dan Pariwisata di Pemprov DKI.
Kedua pasangan tersebut akan menantang pasangan petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dan Djarot Saiful Hidayat untuk memperebutkan kursi gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta.
Kepastian pasangan Ahok-Djarot juga baru jelas setelah PDI Perjuangan mengumumkan untuk kembali mencalonkan keduanya, 15 September lalu.
Kondisi tak jauh berbeda juga terjadi di daerah lain. Misalnya, satu calon gubernur Aceh – Tarmizi Karim – mengganti calon wakilnya dari Zaini Djalil ke Teuku Machsalmina Ali beberapa hari sebelum pendaftaran dibuka, Rabu 21 September 2016.
Zaini adalah Ketua Partai NasDem Aceh, sedangkan Machsalmina merupakan Sekretaris Partai Golkar Aceh. Sedangkan Tarmizi bukan politisi, melainkan birokrat di Kementerian Dalam Negeri. Pasangan Tarmizi – Machsalmina diusung sejumlah Parpol.
Mereka akan bertarung dengan lima pasangan calon lain yaitu pasangan dari jalur independen: Zaini Abdullah – Nasaruddin, Zakaria Saman – Teuku Alaidinsyah, Abdullah Puteh – Sayed Mustafa Usab, dan pasangan yang diusung koalisi Parpol: Muzakir Manaf – TA Khalid dan Irwandi Yusuf – Nova Iriansyah.
Dua hal berbeda
Menurut Yunarto, salah satu hal yang menyebabkan krisis kader karena dalam Undang-Undang Pilkada disebutkan seorang anggota dewan harus mundur bila dia maju sebagai calon kepala daerah.
Hal ini menjadi salah satu alasan banyak politisi memilih tetap menjadi anggota dewan. Seharusnya, menurutnya, Parpol menyiapkan kader baik untuk posisi eksekutif dan legislatif.
“Itu dua hal berbeda. Salah jika anggota dewan malah didorong menjadi kepala daerah. Masa hanya berharap dari anggota dewan maju. Kader lain kan seharusnya banyak,” katanya.
Selain tidak berjalannya kaderisasi, tutur Yunarto, biasanya Parpol menunggu pasangan lawan diumumkan baru kemudian mengambil strategi untuk menandingi pasangan lawan.
Menurutnya, faktor mahar dan transaksi politik yang biasanya membuat proses negosiasi koalisi beberapa Parpol juga menjadi lambat.
“Selain perhitungan elektabilitas, ketersesuaian dari nilai partai ada faktor transaksional yang sering muncul sehingga partai lebih milih yang mahar besar. Itu membuat proses negosiasi berlarut,” paparnya.
Harus jadi evaluasi
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengakui krisis kaderisasi hampir terjadi pada semua Parpol di Indonesia.
“Ini refleksi yang harus jadi evaluasi dari partai mengapa selalu kebingungan ketika mau mengusung orang. Koalisi dan komunikasi politik selalu dilakukan menjelang Pilkada dan bukan jauh-jauh hari,” katanya.
Titi menyayangkan fungsi kaderisasi dan rekruitmen yang tidak berjalan optimal karena absennya Parpol dalam meregenerasi kader.
“Siklus Pilkada itu kan lima tahun sekali. Calon tidak serta merta ada karena perlu waktu mempersiapkan yang berkualitas, popularitas dan diterima rakyat. Seharusnya sejak lama dipersiapkan,” ujarnya kepada BeritaBenar.
Dia menyontohkan, dalam kasus melawan petahana di suatu daerah, seharusnya Parpol bisa melihat kesempatan sejak lama siapa orang yang bisa membangun kompetisi.
“Petahana secara empiris dan faktual berpengaruh. Jadi setidaknya butuh tokoh yang mengimbangi calon petahana secara konsep dan mau bekerja untuk publik,” tambah Titi.
Menurutnya, tidak ada reformasi dalam diri Parpol dan masih bersifat sentralistik yang mengharuskan calon pasangan di daerah mendapatkan persetujuan pimpinan partai di pusat juga jadi kendala.
“Kemandirian partai hilang, semangat daerah jadi menurun padahal belum tentu pusat memunculkan partai terbaik,” ujarnya.
Hal senada disampaikan peneliti politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsudin Haris.
“Jelas semua hanya cari kekuasaan, kursi dan mengincar uang banyak,” tegasnya.
Akibatnya, saat terakhir yang diusung bukan hasil kaderisasi Parpol.
“Pilkada DKI contohnya. Baik Anies, Ahok dan Agus bukan produk partai politik. Sering kali malahan yang punya uang yang maju,” pungkas Syamsudin.