KSAL Yudo Margono: Tidak Ada Lagi Pelanggaran di ZEE Indonesia
2020.05.20
Jakarta

Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) yang baru, Laksamana Yudo Margono, saat pelantikannya Rabu (20/5), mengatakan tidak ada lagi pelanggaran kapal asing, termasuk dari Cina, di sepanjang Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia di Laut Cina Selatan.
“Jadi kita selalu ada empat kapal di sana, kemudian ada pesawat udara satu dan satu Boeing yang setiap saat bisa dilaksanakan patroli,” kata Yudo usai dilantik Presiden Joko “Jokowi” Widodo di Istana Negara, Jakarta.
“Jadi seluruh kapal militer asing dan Cina seluruhnya di luar ZEE kita, tidak di dalam,” katanya.
Yudo, yang menggantikan Laksamana Siwi Sukma Adji, sebelumnya menjabat Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) I dan membawahi tiga matra, termasuk kawasan perairan Laut Cina Selatan.
Yudo mengatakan patroli selalu dilakukin rutin di perairan Pulau Natuna, yang merupakan ujung selatan dari Laut Cina Selatan, semenjak dia ditugaskan di sana.
“Sejak dulu, sejak ada kapal-kapal Cina masuk ke ZEE, kita tetap laksanakan pengamanan,” tambah lulusan Akademi Angkatan Laut (AAL) tahun 1988 ini.
Walaupun Pemerintah Indonesia menyatakan bukan merupakan salah satu negara yang bersengkata dengan Cina atas klaim wilayah laut Cina Selatan seperti sejumlah negara Asia Tenggara lainnya, Indonesia mencatat sejumlah perseteruan dengan negara Tirai Bambu itu di wilayah yang oleh Indonesia disebut sebagai Laut Natuna Utara.
Awal Januari, puluhan kapal nelayan asal Cina memasuki wilayah ZEE Indonesia. Kehadiran kapal-kapal tersebut memicu ketegangan karena Cina mengklaim mereka berhak berlayar hingga ke perairan sekitar Kepulauan Natuna tersebut.
Pemerintah Indonesia lalu memprotes klaim tersebut dengan memanggil duta besar Cina di Jakarta, Xian Qian, sekaligus meningkatkan pengamanan di wilayah Perairan Natuna Utara.
Berselang empat bulan setelah pengusiran puluhan kapal nelayan asing dari ZEE, Cina kembali memantik ketegangan dengan menenggelamkan kapal nelayan Vietnam di perairan Kepulauan Paracel yang disengketakan di Laut Cina Selatan.
Kemudian pada 16 April, kapal survei Cina, Haiyang Dizhi 8 menyambangi lokasi eksplorasi migas West Capella yang dilakukan Petronas di ZEE Malaysia dari Sarawak.
Yudo menekankan, pihaknya telah mengantisipasi ancaman kapal Cina tersebut dengan meresmikan kantor Mako Kogabwilhan-I di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, pada awal Mei kemarin.
Kehadiran kantor tersebut salah satunya bertujuan untuk memudahkan koordinasi pengawasan antar-lembaga terkait jika ada kapal asing memasuki wilayah ZEE.
“Posko di sana itu kalau sewaktu-waktu ada peningkatan eskalasi, bisa langsung kita tindak lanjuti dengan unsur-unsur kita bersama dengan Bakamla maupun Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP),” kata Yudo.
Terkait peningkatan kapasitas dan kualitas alat utama sistem senjata (alutsista), Yudo mengaku telah meracik strategi khusus untuk itu.
“Kalau bicara AL, tentu kita bicara SSAT (Sistem Senjata Armada Terpadu). Mulai dari KRI, Marinir, pangkalan maupun pesawat AL. Sehingga SSAT bisa bersatu menegakkan kedaulatan dan hukum di laut,” tukasnya.
Selain Yudo, Presiden Jokowi juga melantik Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Marsekal Fadjar Prasetyo yang menggantikan posisi Marsekal Yuyu Sutisna.
Sebelumnya Fadjar menjabat sebagai Panglima Komando Operasi Pasukan Udara (Pangkoopsau) II yang membawahi wilayah Sulawesi, sebagian Kalimantan, sebagian Jawa Tengah, Bali-Nusa Tenggara, Maluku dan Papua.
Kepada awak media, Fadjar mengaku pengamanan perbatasan udara akan tetap dilakukan meski dunia tengah menghadapi wabah virus corona.
“Strategi pengamanan dihadapkan dengan ancaman di mana kalau ancaman belum ada, kami akan tetap melaksanakan strategi operasi rutin. Tapi kalau ada peningkatan kami sudah ada rencana kontingensinya,” kata Fadjar.
Tugas berat KSAL dan KSAU baru
Anggota Komisi I DPR Fraksi PPP, Saifullah Tamliha, menyatakan pekerjaan rumah yang harus dikerjakan para KSAL dan KSAU baru tidaklah mudah.
Untuk Yudo, kata Saifullah, tugas utama dan terberatnya adalah menjaga teritorial laut Indonesia dari serbuan kapal nelayan asing. Terlebih, ada teritorial yang masih bersengketa dengan negara tetangga sesama ASEAN dan Cina.
“Tugas KSAL yang baru sangat berat. Mereka yang mengklaim sebagian wilayah kita adalah ‘wilayahnya’ terutama konflik perbatasan dengan Vietnam,” kata Saifullah, Kamis.
Sementara untuk Fadjar, Saifullah mengatakan ada banyak alutsista, khususnya pesawat tempur, milik TNI AU yang sudah usang dan perlu mendapat perhatian khusus. “Terutama pesawat tempur produksi Amerika dan Rusia,” tukasnya.
Merujuk data Global Fire Power (GFP), Indonesia saat ini diperkirakan memiliki 451 pesawat dan berada di urutan ke-30 dari 137 sebagai negara dengan potensi kekuatan pesawat udara terbesar di dunia.
Jumlah tersebut terdiri dari 192 helikopter, 104, pesawat latih militer, 65 pesawat serang, 62 pesawat angkut, 41 pesawat tempur, dan 8 helikopter tempur.
Indonesia telah menyepakati pembelian 11 unit Sukhoi SU-35 buatan Rusia dengan skema imbal beli yang dikoordinasikan Kemhan dan Kementerian Perdagangan, namun karena beberapa hal, rencana tersebut kemungkinan akan dibatalkan.
Sebagai gantinya, pemerintah tengah menjajaki peluang untuk mengubah rencana pembelian 11 jet tempur Sukhoi SU-35 dari Rusia tersebut dengan F-35 dari Amerika Serikat.
Belum diketahui apakah nilai total dari rencana pembelian 11 Sukhoi Su-35 dari Rusia bakal dikonversikan seluruhnya untuk F-35 dari Amerika Serikat.