Brunei, Malaysia Sebut Pemimpin ASEAN akan Bahas Isu Myanmar di Jakarta

Kekerasan di Myanmar semakin memuncak sejak 27 Maret ketika junta menewaskan sedikitnya 114 pengunjuk rasa dalam satu hari paling mematikan pascakudeta.
Muzliza Mustafa dan Ronna Nirmala
2021.04.05
Kuala Lumpur dan Jakarta
Brunei, Malaysia Sebut Pemimpin ASEAN akan Bahas Isu Myanmar di Jakarta Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin (kedua dari kiri) dan Menteri Luar Negeri Malaysia Hishammuddin Hussein (kiri) bertemu dengan Sultan Brunei Hassanal Bolkiah (kedua dari kanan) dan Putra Mahkota Brunei Al-Muhtadee Billah (kanan) di Bandar Seri Begawan, 5 April 2021.
Foto diambil dari Facebook Page Menteri Luar Negeri Malaysia Hishammuddin Hussein

Setelah pembahasan panjang, para pemimpin negara-negara Asia Tenggara akan bertemu di Jakarta untuk membicarakan krisis di Myanmar, demikian diumumkan perwakilan pemerintah Brunei dan Malaysia, Senin (5/4), tanpa menyebutkan tanggal pertemuan.

Konferensi tingkat tinggi anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) tersebut akan berlangsung di markas besar ASEAN di Jakarta, demikian kesepakatan para pemimpin Malaysia dan Brunei setelah pertemuan bilateral mereka di Bandar Seri Begawan pada Senin, beberapa hari setelah Cina dan Rusia mengatakan mereka mendukung langkah tersebut.

“Kedua pemimpin sepakat agar para pemimpin ASEAN bertemu membahas perkembangan yang sedang berlangsung di Myanmar dan menugaskan menteri dan pejabat senior masing-masing untuk melakukan persiapan yang diperlukan untuk pertemuan yang akan diadakan di Sekretariat ASEAN di Jakarta, Indonesia,” demikian bunyi kesepakatan bersama Perdana Menteri Muhyiddin Yassin dan Sultan Brunei Hassanal Bolkiah. Tahun ini Brunei menjadi ketua ASEAN.

Merujuk pada situasi pasca kudeta di Myanmar, keduanya "mendesak semua pihak untuk menahan diri agar tidak memicu kekerasan lebih lanjut, dan menghimbau untuk fleksibel.”

Perwakilan di Sekretariat ASEAN menolak berkomentar perihal rencana KTT tersebut namun seorang juru bicara kementerian luar negeri Indonesia mengatakan pertemuan itu "masih dalam pembahasan," tanpa mengkonfirmasi kapan KTT itu akan berlangsung, dan selanjutnya merujuk hal itu untuk ditanyakan langsung kepada Brunei sebagai ketua ASEAN saat ini.

Pertengahan bulan lalu, Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo dan Muhyiddin dari Malaysia menyerukan pertemuan darurat para pemimpin ASEAN untuk membahas situasi di Myanmar.

Hingga Senin, setidaknya 570 warga Myanmar tewas di tangan pasukan keamanan negara itu sejak militer menggulingkan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi pada 1 Februari, demikian menurut informasi yang diposting online oleh LSM Assistance Association for Political Prisoners (Burma).

Kekerasan di negara itu menjadi semakin ganas sejak 27 Maret, ketika junta menewaskan sedikitnya 114 pengunjuk rasa dalam satu hari paling mematikan pasca-kudeta berdarah itu.

ASEAN telah dikritik keras karena tidak mencapai konsensus tentang bagaimana menangani junta di Myanmar yang merupakan salah satu anggota ASEAN.

Pertemuan khusus para menteri luar negeri ASEAN pada 2 Maret lalu gagal menyepakati seruan bersama untuk membebaskan Aung San Suu Kyi dan para pemimpin Myanmar yang dipilih secara demokratis tapi kemudian ditahan oleh militer pasca kudeta tersebut. Para kritikus mengatakan bahwa prinsip dasar ASEAN untuk tidak mencampuri urusan dalam negeri anggotanya menjadi hambatan penyelesaian kekerasan di Myanmar.

Pekan lalu, Cina dan Rusia mendukung seruan untuk pertemuan darurat para pemimpin ASEAN di Myanmar. Cina memiliki hubungan yang sangat baik dengan anggota ASEAN Kamboja, Laos dan Thailand, selain Myanmar.

Sejauh ini, Beijing bungkam dalam menanggapi kudeta militer di Myanmar dan kekerasan pasca kudeta itu. Negara adidaya di Asia itu hingga saat ini menyerukan sebatas terciptanya stabilitas, tidak seperti negara-negara Barat yang secara langsung mengutuk penggulingan pemerintah terpilih dan kekerasan yang terjadi di Myanmar.

“Jika pertemuan ini gagal terwujud, ASEAN sebagai komunitas memiliki relevansi yang kecil. Semoga saja Myanmar tidak akan diwakili dalam pertemuan tersebut oleh junta militer, karena jika tidak KTT tersebut kemungkinan akan menemui jalan buntu,” demikian Dinna Prapto Raharja, seorang analis hubungan internasional di Synergy Policy, sebuah lembaga think-tank di Jakarta, kepada BenarNews.

Pertemuan khusus para diplomat tinggi ASEAN bulan lalu diikuti oleh menteri luar negeri yang ditunjuk oleh militer Burma, Wunna Maung Lwin, yang "melaporkan dalam pertemuan tersebut tentang adanya penyimpangan dalam pemungutan suara" Pemilu November lalu, seperti dilaporkan Reuters yang mengutip media pemerintah Myanmar.

Militer telah menuduh kecurangan dalam pemungutan suara terkait dengan pemilihan umum 8 November itu, yang dimenangkan Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi, menurut otoritas pemungutan suara.

Sebelum pertemuan para menteri luar negeri ASEAN itu, Menlu Indonesia Retno Marsudi bertemu dengan Wunna Maung Lwin dan Menteri Luar Negeri Thailand Don Pramudwinai di Bangkok pada 24 Februari.

Retno menyatakan dia mengatakan kepada Wunna Maung Lwin bahwa "keinginan rakyat Myanmar harus didengar," saat dia menyerukan "proses transisi demokrasi yang inklusif."

Pada pertemuan khusus yang akan datang, Indonesia harus menekankan perlunya gencatan senjata dan diakhirinya kekerasan, kata Dinna.

“Setelah itu, ASEAN perlu menengahi pembicaraan antara militer Myanmar dan para pemimpin sipil untuk memungkinkan mereka membentuk pemerintahan yang dapat diterima semua orang, mengingat warga Myanmar sangat beragam secara etnis dan agama,” ujarnya.

Perbatasan Thailand-Myanmar

Sementara itu, pernyataan bersama dari lebih dari 200 individu dan 56 organisasi hak asasi Thailand meminta pemerintah Thailand untuk memberikan perlindungan bagi para pengungsi Myanmar, yang melarikan diri ke Thailand setelah serangan militer di negara bagian Karen.

Serangan udara Burma pada 27 Maret menargetkan desa-desa yang dikendalikan oleh pemberontak Persatuan Nasional Karen (KNU).

Pada hari Jumat, Thailand mengatakan sedang memberikan bantuan kemanusiaan kepada lebih dari 1.000 orang yang melintasi perbatasan dari Myanmar ke Thailand pekan lalu.

“Negara [Thailand] tidak boleh menolak permintaan suaka. Pasukan keamanan harus menerima para pencari suaka yang melarikan diri dari kekerasan dan penganiayaan… untuk tinggal di Thailand sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan hak asasi manusia,” kata pernyataan yang diposting di halaman Facebook Friends Without Borders Foundation, sebuah LSM Thailand.

“Pada kasus masuknya pengungsi dari wilayah penganiayaan, Thailand harus mengizinkan akses Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) ke kelompok-kelompok tersebut sehingga badan tersebut dapat membantu orang-orang yang memerlukan perlindungan.”

Sebuah organisasi Myanmar yang membantu orang-orang dari negara bagian Shan, yang juga berbatasan dengan Thailand, menyatakan keprihatinan besar pada hari Jumat tentang keselamatan ribuan pengungsi internal (IDP) yang ditampung di kamp-kamp.

Menurut pernyataan dari Komite Pengungsi Negara Bagian Shan, tentara telah mengumumkan akan "mulai menyerang posisi perbatasan Dewan Pemulihan Negara Bagian Shan/Tentara Negara Bagian Shan (RCSS / SSA)," kata LSM itu dalam sebuah pernyataan.

Seperti KNU, RCSS / SSA juga merupakan gerakan pemberontak etnis yang bersenjata.

Nontarat Phaicharoen di Bangkok turut berkontribusi dalam laporan ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.