Perkenalkan Islam Nusantara, NU Ajak Dunia Islam Cinta Damai
2016.05.11
Jakarta

Konferensi Tingkat Tinggi Internasional Islam Moderat atau International Summit of Moderate Islamic Leaders (ISOMIL) menghasilkan “Deklarasi Nahdlatul Ulama” yang disepakati setelah berdiskusi intensif bersama banyak tokoh ahli dari negara-negara Islam selama dua hari di Jakarta.
Beberapa poin dalam deklarasi yang dibacakan Selasa sore, 10 Mei 2016, antara lain akan mengenalkan wawasan Islam Nusantara pada dunia sebagai penyelaras antara agama dan budaya sehingga bisa mewujudkan perdamaian dunia dalam menghadapi paham radikalisme dan terorisme yang marak berkembang.
“33 perwakilan negara yang hadir sepakat dan merespon positif. Beberapa negara seperti Sudan dan Maroko bahkan mengundang NU untuk hadir guna memberikan masukan di sana. Kami akan tukar menukar info,” ujar Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Said Aqil Siradj saat diwawancara BeritaBenar, Rabu.
Ia menjelaskan Islam Nusantara bukanlah mahzab atau ajaran baru namun semacam tipologi Islam dari Wali Songo yang menyebarkan ajaran Islam di Indonesia melalui pendekatan budaya dan akhlak yang mulia sehingga timbul rasa menghormati dari umat lain.
“Sunan Gunung Jati, Sunan Drajad kan dulu strategi mereka kala masa perang yaitu dengan berdakwah, mengajarkan mencintai sesama manusia dan menciptakan kehidupan yang selaras antara agama dan budaya,” jelasnya.
Konferensi yang mengundang ratusan pakar Islam moderat itu untuk mencari jalan mengatasi masalah terorisme dan radikalisme, terutama di negara-negara kawasan Timur Tengah, digagas oleh NU, organisasi Muslim terbesar di Indonesia.
Islamophobia
Menurut NU, realitas ketidakadilan ekonomi dan politik serta kemiskinan massal di dunia Islam turut menyumbang berkembangnya ekstremisme atas nama agama dan terorisme, yang kemudian senantiasa dijadikan bahan propaganda.
“Banyak Islamophobia karena yang ditampilkan aksi kekerasan dilakukan atas nama Islam. Padahal Islam adalah agama cinta damai, ramah dan berbudaya. Kita harus tunjukkan kalau Islam punya akhlak,” ujar Said.
Ia menambahkan perdamaian sangat sulit tercapai di Timur Tengah karena konflik yang terjadi sudah tumpang tindih antara perang, ekonomi, paham religi dan antar suku yang berbeda.
“Di sana tidak mengenal nasionalisme dan perbedaan. Karena orang-orang nasionalis dianggap sekuler, tak religious dan kebarat-baratan,” tambahnya.
Di Indonesia tidak bisa dipisahkan antara Islam dan nasionalisme. “Agama dan kebangsaan seperti sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan,” tegas Said.
“Ulama-ulama di Timur Tengah masih bermimpi mengembalikan kepemimpinan Khilafah seperti zaman sahabat Nabi (Muhammad) dulu sementara dunia sudah berkembang. NU sudah ke Afganistan empat kali namun belum berhasil juga,” paparnya.
Untuk itu, NU menyerukan semua agama bergabung dalam upaya membangun konsensus global untuk tidak mempolitisasi Islam.
“Banyak yang hendak mengeksploitasi Islam sedemikian rupa untuk menyakiti sesama. Korban terus berjatuhan di Timur Tengah seolah tak dapat diselesaikan. Namun kita tidak boleh memunggungi masalah ataupun berlepas diri dari mereka yang menjadi korban,” ujar dia.
Pidato di PBB
Ia mengatakan pemerintah sedang mengusulkan NU untuk menjadi pembicara pada pidato di Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) September nanti untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Islam adalah agama yang damai dan jauh dari sifat radikal.
“Kami siap jika diminta membantu menengahi konflik di Timur Tengah karena negara tetangga seperti Arab Saudi tak bisa dan tidak mampu. Kami mendesak Pemerintah Indonesia mengambil peran aktif dan konstruktif dalam mencari jalan keluar bagi konflik yang merajalela di Timur Tengah,” tambahnya.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Luhut Binsar Pandjaitan mendorong supaya NU untuk mengambil peran aktif dengan menjadi juru damai konflik di sejumlah negara Timur Tengah.
"Selama ini, yang menjadi juru damai konflik Israel dan Palestina hanya Amerika Serikat. Saya lihat, Indonesia bisa menjadi pendamai konflik internasional. Dan dibutuhkan dukungan NU,” kata Luhut dalam pernyataan, Senin lalu.
"Pada titik inilah, Nahdlatul Ulama harus bisa menjadi penengah untuk mencari solusi perdamaian di dunia, khususnya Timteng," tambahnya.
Perlu proses panjang
Pakar Timur Tengah dari Universitas Indonesia, Reza Widyarsa mengatakan efektif dan tidaknya Islam Nusantara yang digagas NU untuk diterapkan di wilayah konflik Timur Tengah bergantung pada konsep pemikiran dan penerimaan warga negara tersebut.
“Ada kesempatan paham NU diterapkan di wilayah konflik namun mungkin pengaruhnya tidak sebesar di Indonesia. Memerlukan proses panjang,” ujarnya saat diminta tanggapan oleh BeritaBenar terkait “Deklarasi Nahdlatul Ulama”.
Alasannya, masalah yang bergejolak di Timur Tengah bukan hanya soal keyakinan tapi juga politik, suku dan etnis budaya. “Di Syria dan Irak misalnya, keyakinannya sangat heterogen. Memang suku tidak sebanyak di Indonesia, namun tiap suku menganut kepercayaan yang berbeda. Islam ada Sunni, Syiah. Kristen juga ada ortodok dsb,” ujar Reza.
Menurut dia, masalah utama di Timur Tengah adalah ketidakadilan. Ia berharap NU dapat masuk ke negara konflik itu melalui jaring ulama dan pelajar di Timur Tengah melalui pertemuan dan dialog antar tokoh agama.
“NU sudah sering ke Afganistan, sekarang bagaimana caranya warga Islam di sana bisa hidup secara berdampingan. Intinya bisa menerima perbedaan dan berlaku adil,” pungkasnya.