Jalan Terjal dan Berliku dalam Perangi Radikalisme di Poso

Program deradikalisasi pemerintah disebut tidak terencana baik dan belum tepat sasaran.
Keisyah Aprilia
2020.12.04
Poso
Jalan Terjal dan Berliku dalam Perangi Radikalisme di Poso Seorang warga mengendarai sepeda motor melintas di gerbang Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah, 21 November 2020.
Keisyah Aprilia/BenarNews

Bagian terakhir dari tiga artikel

Agustus lalu, kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar menyerahkan sebuah motor kargo barang kepada lima mantan napi terorisme dan kombatan konflik Poso sebagai bagian dari program deradikalisasi.

“Semoga program deradikalisasi yang kita jalankan bisa terus berkelanjutan,” ujar Boy waktu itu.  

Namun, pengamat menilai program deradikalisasi pemerintah di Poso selama ini tidak sesuai dengan harapan badan pemerintah yang menjadi lembaga utama penanganan terorisme itu, karena tidak terencana dengan baik, kerapkali tidak berdasarkan kajian ilmiah dan tidak sesuai dengan kondisi di lapangan, demikian menurut pengamat dan mantan kombatan.

Kabupaten Poso dan daerah sekitarnya di Provinsi Sulawesi Tengah sudah menjadi daerah rawan kekerasan selama sekitar dua dekade terakhir.

Perang antara komunitas Islam dan Kristen yang berlangsung antara 1998-2001 menewaskan lebih dari 1.000 orang, disusul aksi kekerasan kelompok militan bersenjata Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang masih aktif dalam 10 tahun terakhir.

Dalam kekerasan terbaru, anggota MIT disinyalir berada di belakang pembunuhan sadis empat orang warga Kristen dan pembakaran sejumlah rumah di sebuah desa terpencil di Sigi, kabupaten tetangga Poso, pada 27 November lalu.

“Tidak ada program evaluasi serta tidak ada monitoring untuk mengukur pencapaian program deradikalisasi. Ini yang terjadi di Poso dan itu tidak bisa dibiarkan,” kata Adriyani Badrah, direktur eksekutif Celebes Institute, lembaga swadaya masyarakat yang mengkaji konflik di Poso.

Adriyani mengatakan program deradikalisasi yang dijalankan baik pemerintah daerah, pemerintah pusat, dan lembaga swadaya masyarakat di Poso kurang terencana baik.

Para mantan napi terorisme dan kombatan konflik Poso tidak mendapat pendampingan secara serius melalui pelatihan atau coaching clinic, ujarnya.

“Contoh kasus, terdapat beberapa mantan narapidana teroris yang telah menerima program deradikalisasi dari pemerintah dan berselang kemudian kembali bergabung dengan jaringan kelompok radikal,” ujarnya kepada BenarNews.

“Ini fakta yang tidak bisa dipungkiri,” tegasnya.

Direktur Eksekutif Celebes Institute Adriyani Badrah tengah berdiskusi saat ditemui di Kabupaten Poso, 20 November 2020. [Keisyah Aprilia/BenarNews]
Direktur Eksekutif Celebes Institute Adriyani Badrah tengah berdiskusi saat ditemui di Kabupaten Poso, 20 November 2020. [Keisyah Aprilia/BenarNews]

Salah satu dari mereka adalah Muhammad Basri, mantan pemimpin MIT yang sebelumnya tergabung dengan kelompok militan Jemaah Islamiyah (JI), bagian dari jaringan teroris al-Qaeda di Asia Tenggara.

Basri kabur dari penjara pada 2013 ketika tengah menjalani hukuman 19 tahun dalam kasus pemenggalan warga Kristen dan serangan teror lainnya di Poso.

Dia bergabung bersama MIT, kelompok terafiliasi ISIS itu dan menjadi pemimpin kelompok itu setelah pimpinan utamanya, Santoso atau Abu Wardah, tewas di tangan aparat keamanan tahun 2016. Basri dan istrinya akhirnya menyerahkan diri pada tahun yang sama.

Seorang polisi menjaga tersangka militan MIT Muhammad Basri (kanan) di sebuah rumah sakit militer di Poso, Sulawesi Tengah14 September 2016. [Keisyah Aprilia/BenarNews]
Seorang polisi menjaga tersangka militan MIT Muhammad Basri (kanan) di sebuah rumah sakit militer di Poso, Sulawesi Tengah14 September 2016. [Keisyah Aprilia/BenarNews]

Hasil penelitian Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) yang dirilis September menunjukkan setidaknya terdapat 94 mantan napi terorisme kembali melakukan aktivitas serupa selepas keluar penjara sepanjang 2002-2020.

IPAC mengatakan residivisme melibatkan 58 orang di Jawa, sepuluh di Sumatra, 18 kasus di Sulawesi, empat di Sumbawa Nusa Tenggara Barat, dan empat kasus di Maluku.

Studi IPAC mengatakan mereka yang kembali ke ekstrimisme setelah dipenjara kebanyakan bergabung dengan salah satu dari tiga kelompok: MIT in Poso, kamp pelatihan terorisme di Aceh tahun 2010, and ISIS.

Daftar Pencarian Orang (DPO) para anggota Mujahidin Indonesia Timur terlihat di Desa Tabalu, Kecamatan Poso Pesisir, Kabupaten Poso, 20 November 2020. [Keisyah Aprilia/BenarNews]
Daftar Pencarian Orang (DPO) para anggota Mujahidin Indonesia Timur terlihat di Desa Tabalu, Kecamatan Poso Pesisir, Kabupaten Poso, 20 November 2020. [Keisyah Aprilia/BenarNews]

Kecemburuan sosial 

Bantuan pemerintah kepada napi terorisme dan mantan kombatan di Poso meliputi modal usaha, pelatihan keterampilan, pemberian peralatan kerja, hingga akses pada proyek-proyek pemerintah daerah, seperti pembuatan jalan, jembatan, dan pekerjaan infrastruktur lainnya.

Mantan kombatan konflik Poso, Sukarno Ahmad Ino, mengaku dia aktif mengikuti kegiatan pemberdayaan yang diselenggarakan pemerintah maupun LSM.

“Bahkan beberapa teman-teman kita baik dari jalur mantan narapidana terorisme dan mantan kombatan ada yang sudah berhasil,” kata Ino kepada BenarNews.

“Mereka pun ada yang menjadi pengusaha dan kontraktor dari sejumlah proyek,” ujarnya.

Ino menyebutkan Santoso dan Basri adalah orang-orang yang tidak berhasil dilunakkan dengan berbagai program deradikalisasi.

Ino mengkritik model proyek deradikalisasi pemerintah yang menurutnya “instan” dengan pendekatan ekonomi semata, sehingga ada kecemburuan sosial di antara eks-napi dan kombatan yang tidak ikut kebagian proyek.

“Karena tidak ada pemerataan itu eks napiter dan eks kombatan bentrok. Bahkan ada yang saling serang pekerjaan,” ujarnya. 

Yang harus dilakukan pemerintah adalah menanamkan pada mereka pengetahuan yang cukup, ujarnya. 

Semua dapat

Wakil Gubernur Sulteng, Rusli Baco Daeng Palabbi, mengatakan program deradikalisasi yang sudah dijalankan pemerintah di Poso tidak bisa dinilai gagal. 

Ia menegaskan hampir semua eks kombatan atau eks napiter di Poso mendapatkan perhatian dari pemerintah. 

“Selama ini semua program yang berjalan di Poso baik-baik saja, dan semua eks kombatan atau pun eks napi terorisme dapat,” kata Rusli kepada BenarNews. 

Rusli menambahkan memang tidak semua eks kombatan atau pun eks napiter diberikan pekerjaan proyek pemerintah, karena ada persyaratan dan aturan yang harus dipatuhi.

“Nah, yang selama ini diberikan itu karena mereka memiliki perusahaan dan berkelompok. Sekarang, kalau orang tertentu tidak punya perusahaan, bagaimana mau dikasih pekerjaan,” tandasnya. 

Mantan napi terorisme Arifuddin Lako adalah satu yang menolak turut serta dalam proyek pemerintah, yang menurutnya bernilai mulai Rp200 juta mencapai miliaran rupiah. 

“Hampir setiap tahun pasti teman eks napiter dan eks kombatan itu terima pekerjaan. Ada yang ikuti lelang ada juga yang penunjukan langsung dari Pemkab Poso,” ungkap Arifuddin. 

Arifuddin divonis 8 tahun dan 6 bulan penjara pada tahun 2004 atas pembunuhan terhadap seorang jaksa yang menangani kasus terorisme.

“Memang semua orang butuh ekonomi yang baik. Bukan saya tidak mau atau menolak proyek, tapi cara-cara pemberdayaan seperti itu kurang tepat menurut saya,” ujarnya.

Mantan anggota Jemaah Islamiyah Poso, Arifuddin Lako, saat ditemui di Poso, 21 November 2020. [Keisyah Aprilia/BenarNews]
Mantan anggota Jemaah Islamiyah Poso, Arifuddin Lako, saat ditemui di Poso, 21 November 2020. [Keisyah Aprilia/BenarNews]

Bukan cuma masalah ekonomi

Harits Abu Ulya, pengamat terorisme dari Community of Ideological Islamic Analysts, mengatakan persoalan di Poso bukan hanya ekonomi, tapi juga keadilan.

“Di Poso ini ada kompleksitas masalah, persoalan konflik masa lalu yang menyisakan ketidakpuasan banyak pihak termasuk di kalangan komponen kelompok-kelompok yang dianggap atau dilabeli teroris,” ujarnya kepada BenarNews.

“Ketika proyek deradikalisasi fokusnya soal ekonomi tanpa memperhatikan persoalan bagaimana mengubah mindset dengan pendekatan teologis dan keadilan yang dituntut itu ngga jalan, susah diharapkan,” katanya.

Beberapa badan pemerintah daerah di Poso telah mengambil inisiatif untuk menarik masyarakat ke dalam upaya deradikalisasi, menurut laporan Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina tahun lalu.

Pemerintah daerah misalnya, mulai memberikan peran yang lebih besar kepada perempuan dalam mempromosikan perdamaian dan melibatkan pemuka agama setempat dalam mengembangkan kursus pendidikan moderat. PUSAD juga mengatakan, semakin banyak aktivis muda lintas agama yang mulai menjembatani dua komunitas agama dominan di Poso.

“Sayangnya, dukungan dari beberapa lapisan masyarakat untuk kegiatan tersebut masih kurang,” kata PUSAD.

Mohammad Adhe Bhakti, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Radikalisme dan Deradikalisasi (PAKAR), mengatakan semua unsur masyarakat harus berperan, tidak hanya pemerintah.

“Tokoh masyarakat adalah elemen penting kalau kita bicara Poso, orang yang mereka dengar, tokoh agama, dan paling penting juga masyarakat,” ujarnya.

“Sayangnya yang saya lihat sebelum 2016 itu mungkin masih ada, dari kedua kubu Nasrani-Islami, yang belum bergerak seiring-sejalan. Pemda jalan sendiri, tidak ada koordinasi dengan pemuka agama. BNPT juga tiba-tiba datang tapi tidak terkoordinasi,” kata Adhe.

Kepala BNPT Komjen Pol Boy Rafli Amar, keempat dari kiri, bertemu dengan sejumlah eks napiter Poso saat melakukan kunjungan kerja di Poso, awal Agustus 2020. [Dok BNPT]
Kepala BNPT Komjen Pol Boy Rafli Amar, keempat dari kiri, bertemu dengan sejumlah eks napiter Poso saat melakukan kunjungan kerja di Poso, awal Agustus 2020. [Dok BNPT]

Kepala BNPT Boy Rafli Amar mengakui tantangan deradikalisasi semakin berat.

BNPT mencatat ada sekitar tujuh narapidana terorisme Poso yang keluar dari lembaga pemasyarakatan pada 2019 lalu. Jumlah tersebut terbilang sedikit karena masih ada sekitar 35 orang yang masih menjalani masa hukuman di berbagai daerah termasuk Sulawesi dan Jawa. 

“Di dalam lembaga pemasyarakatan mereka juga sudah diberikan pendampingan sehingga ketika keluar nanti sudah mudah beradaptasi,” kata Boy saat melakukan kunjungan kerja di Poso, awal Agustus 2020. 

“Namun, program deradikalisasi tetap diberikan sehingga harapan negara agar mereka keluar dari paham radikal benar-benar terwujud,” kata Boy.

Namun melihat kenyataan adanya militansi dan tetap aktifnya MIT, tampaknya program deradikalisasi masih menghadapi jalan terjal dan berliku, seperti juga wilayah hutan dan pegunungan Poso yang menjadi tempat persembunyian militan Mujahidin Indonesia Timur itu.

Ronna Nirmala dan Ahmad Syamsudin di Jakarta berkontribusi pada artikel ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.