Keluarga Korban Lion Air JT-610 Kecewa Tanggapi Kompensasi Boeing
2019.09.24
Jakarta

Rencana pemberian kompensasi Boeing Co kepada keluarga korban Lion Air JT-610 yang jatuh di perairan Karawang pada tahun lalu menuai rasa kecewa karena pemerintah dan pihak maskapai tak memberikan informasi apapun terkait proses kelanjutan penyidikan penyebab kecelakaan, demikian pengakuan keluarga korban.
Anton Sahadi (30), perwakilan keluarga korban pesawat Lion Air JT610, M. Rafi Andrian dan Rian Hariandi, mengatakan bahwa dengan Boeing memberikan kompensasi berarti perusahaan tersebut mengaku salah.
“Kami berani asumsi kalau Boeing pabrikannya secara utuh ada kesalahan di sana, baik dalam cara maskapai menggunakan pesawat itu maupun manufakturnya,” katanya saat dihubungi BeritaBenar di Jakarta, Selasa, 24 September 2019.
Anton mengaku sudah mengetahui terkait kompensasi dari Boeing pada Senin dari pihak pengacara yang ditunjuk perwakilan keluarga di Amerika Serikat.
“Kami kuasakan semua ke lawyer, baik settlement dan judicialnya. Kabarnya kami akan menerima kompensasi itu pada pertengahan atau akhir Oktober,” jelasnya.
Seperti dilansir laman kantor berita The Associated Press, dana senilai USD50 juta telah disiapkan perusahaan Boeing untuk diberikan bagi 346 korban tewas dalam kecelakaan Boeing 737 Max-8 di Indonesia dan Ethiopia.
Petugas klaim mengatakan pihaknya sudah menerima beberapa aplikasi pengajuan dari beberapa keluarga dan batas untuk pengajuan dana kompensasi adalah 31 Desember 2019.
Sejak kecelakaan terjadi pada 29 Oktober 2018 yang menewaskan seluruh penumpang dan awak pesawat yaitu sebanyak 189 orang, pihak keluarga menuntut Boeing.
Pesawat jenis Boeing 737 Max-8 telah dilarang untuk terbang dan tidak beroperasi lagi sejak Maret 2019 atau sebulan setelah kecelakaan fatal di Ethiopia.
Anton berharap, kompensasi ini tidak akan menghentikan proses penuntutan Boeing oleh pihak keluarga.
“Harapan keluarga sebenarnya bagaimana supaya perusahaan melakukan instrospeksi diri baik maskapai dalam menggunakan pesawat dan manufakturnya, supaya tidak terjadi lagi kecelakaan yang sama,” katanya.
“Kami mau pesawat itu tidak dioperasikan lagi. Sebaiknya dibesituakan saja, jangan sampai kejadian terulang.”
Ia menyayangkan pemerintah yang diklaim tidak pernah hadir dalam kasus penyelesaian Boeing.
“Mereka tidak mau tahu lagi sekarang. Seharusnya ada berita Boeing ini, pemerintah ambil bagian dalam pengurusan sampai serahkan ke ahli waris,” ujarnya.
“Tapi sekarang semua manajemen Lion tidak ada yang jawab, kata mereka mau bikin monumen keluarga kita yang hilang, mana janjinya, kami jangan digantung begini.”
Ia menegaskan kompensasi yang diberikan tidak bisa menyembuhkan luka keluarga korban.
”Sebanyak-banyaknya uang mana ada yang bisa ganti nyawa, tidak ada,” imbuhnya.
Hal senada disampaikan Engki Bocana (46) yang merupakan paman korban Lion Air, Tami Julian (25), dengan menyatakan pihaknya sudah pasrah atas kompensasi dari pihak manapun dan tidak berharap banyak.
“Banyak dari kami sudah menutup kasus ini dan tidak mau diganggu lagi karena kami sudah biasa ditipu, dijanjikan bikin monumen di Batam tapi tidak pernah dilakukan oleh pihak Lion, sekarang Boeing. Jadi kami sudah terbiasa dengan janji manis,” ujarnya.
Ia mengatakan sudah mengurus kompensasi yang akan diberikan Boeing.
“Brosur sudah kami isi dan untuk pengambilan kami sudah tunjuk pengacara di sana,” katanya.
Pihak keluarga memilih Ribbeck Law Chartered sebagai firma hukum probono dalam mengurus kasus tersebut.
Ia mengatakan telah mengisi form pada 23 September lalu dan akan menerima dana kompensasi tersebut pada 15 Oktober.
“Dijamin secara hukum dan akan masuk ke rekening masing-masing,” katanya.
Keluarganya, kata dia, mengaku syok dan kaget diberikan dana kompensasi oleh Boeing secara mendadak.
“Kami awalnya ragu menerima karena dikhawatirkan itu merupakan cara Boeing menutupi kesalahannya,” ujarnya.
Hadir
Pemerintah Indonesia menyatakan akan membantu pihak keluarga dalam mendapatkan haknya sebagai korban kecelakaan Boeing 737 Max-8.
Jubir Kementerian Perhubungan, Hengki Angkasawan, mengaku pemerintah sudah melakukan sosialisasi atau memberikan bantuan kepada korban untuk fasilitasi hal tersebut.
“Masalah itu sudah difasilitasi oleh Kedubes RI di Washington, D.C. dan telah menugaskan atache perhubungan melakukan pembicaraan dengan lawyer Boeing,” jelasnya.
Dalam rilis akhir Agustus lalu, KBRI Washington, D.C. dan KJRI Chicago telah memenuhi undangan pengacara yang mewakili keluarga korban kecelakaan pesawat Boeing 737-8 MAX yang dioperasikan Lion Air.
Menurut Duta Besar RI di Amerika Serikat, Mahendra Siregar, kehadiran Perwakilan RI di AS dalam proses mediasi ini merupakan bentuk perlindungan kepentingan WNI.
“Pemerintah berupaya memastikan hak-hak keluarga korban mendapat perhatian yang serius dari seluruh pihak terlibat, baik pihak Boeing yang diwakili pengacaranya maupun pengacara keluarga korban,” jelas Mahendra.
Seperti diketahui, sejumlah pengacara yang mewakili keluarga korban kecelakaan JT-610 telah mengajukan gugatan terhadap Boeing di Pengadilan Distrik Federal AS Chicago, Illinois, sejak November 2018.
Kemudian, di hadapan hakim Pengadilan Distrik A. Thomas M. Durk, Boeing mengajukan penawaran untuk membayar kompensasi bagi keluarga korban melalui proses mediasi, tanpa harus menjalani proses litigasi di pengadilan.