Longsor, Bencana Paling Mematikan di Indonesia
2018.03.05
Jakarta

Pengalihan fungsi lahan untuk perkebunan dan pertambangan ditambah tingginya curah hujan diyakini sebagai penyebab utama longsor di sejumlah wilayah sehingga bencana itu menjadi paling mematikan dalam empat tahun terakhir.
“Penyebabnya antara lain aktivitas masyarakat, yang mendorong perubahan tata guna lahan dan mempercepat kerentanan tanah terhadap longsor,” kata Adrin Tohari, peneliti Bidang Gerakan Tanah di Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) kepada BeritaBenar di Jakarta, Senin, 5 Maret 2018.
Dia mencontohkan, perubahan tanaman dari jenis keras menjadi tanaman seperti sayuran. Akibatnya, tanah yang lebih gembur mempercepat air hujan, sehingga tingkat kerentanan longsor menjadi lebih tinggi.
Dalam kejadian terbaru, seorang perempuan 40 tahun dan putrinya yang berumur 14 tahun tewas akibat longsor di Desa Buninagara, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Senin pagi, menyusul hujan lebat yang terjadi sehari sebelumnya.
Sebelumnya, pada 22 Februari lalu, 11 orang tewas dan tujuh lainnya hilang setelah longsor menerjang Desa Pasir Panjang di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah saat para korban sedang beraktivitas di sawah mereka.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menetapkan longsor sebagai bencana paling mematikan sejak tahun 2014.
Tingginya jumlah korban karena sekitar 40,9 juta jiwa atau 17,2 persen penduduk Indonesia tinggal di daerah-daerah yang rawan longsor.
”Mereka tinggal di pegunungan, perbukitan dan lereng-lereng curam dengan kemampuan mitigasinya masih minim. Saat musim hujan, longsor marak terjadi,” kata Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB.
Pada 2014, BNPB mencatat 354 orang meninggal akibat 598 longsor. Setahun kemudian, 502 kejadian longsor menewaskan 174 jiwa. Pada 2016, longsor terjadi 599 kali sehingga menewaskan 186 jiwa.
Sedangkan tahun lalu, sebanyak 156 orang tewas akibat longsor dan 221 lainnya meninggal dunia dalam berbagai bencana lain.
Bahkan dalam dua bulan tahun 2018, sebanyak 137 dari 513 bencana yang terjadi adalah longsor karena dipicu tingginya curah hujan. Dari 75 korban jiwa, 47 orang diantaranya tewas karena longsor.
Sutopo mengatakan longsor sulit dideteksi dan diprediksi secara pasti kapan terjadi. Meski tanah sudah bergerak dan merekah lebar mencapai 50 sentimeter dengan panjang ratusan meter, namun longsor tidak segera terjadi.
“Masyarakat awalnya sudah mengungsi. Namun karena longsor tidak segera terjadi, bahkan berbulan-bulan akhirnya warga kembali ke rumah untuk bekerja dan melakukan aktivitas sehari-hari,” ujarnya.
Tiga provinsi
BNPB mencatat Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Jawa Timur sebagai provinsi yang mengalami longsor tertinggi dalam kurun 2010-2018. Sebanyak 1.334 kejadian longsor melanda Jawa Tengah, disusul 961 kali di Jawa Barat, dan 526 di Jawa Timur.
Menurut Sutopo, meningkatnya frekuensi dan intensitas bencana karena beberapa faktor, di antaranya laju degradasi lingkungan jauh lebih cepat daripada upaya pemulihan.
“Kerusakan hutan tercatat rata-rata 750.000 sampai dengan 1 juta hektar/tahun, sedangkan kemampuan pemerintah untuk melakukan rehabilitasi hutan dan lahan rata-rata maksimum 250.000 hektar/tahun,” katanya.
Selain itu, meningkatnya kebutuhan lahan untuk pertanian, industri dan permukiman juga dituding sebagai penyebab meningkatnya longsor.
“Ini tidak diimbangi dengan pengaturan tata ruang berbasis bencana, termasuk urbanisasi,” ujar Sutopo.
Adrin menyatakan, Jawa Tengah jadi daerah dengan longsor tertinggi karena dipengaruhi kondisi alam berupa perbukitan, sementara tanah cenderung tak padat dengan kemiringan lereng curam.
Meski Jawa Tengah memiliki jumlah longsor tertinggi, Adrin melanjutkan, Jawa Barat dinilai mencatatkan jumlah korban paling banyak.
“Ini ada kaitannya dengan populasi masyarakat yang tinggal di daerah-daerah rentan tanah longsor. Jadi jika ada longsor di Jawa Barat, akan menimbulkan banyak korban dibandingkan di Jawa Tengah,” tuturnya.
Adrin meminta pemerintah untuk terus berupaya meningkatkan pengetahuan masyarakat, khususnya yang tinggal di lokasi rawan longsor.
Pemerintah juga dinilainya wajib menyediakan teknologi yang bisa memberi peringatan dini kepada masyarakat.
Perubahan struktur ruang
Manajer Penanganan Bencana Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Mukri Friatna, menyebutkan meningkatnya bencana longsor dalam beberapa tahun ini terkait perubahan struktur ruang.
“Peruntukan struktur ruang itu biasanya terjadi saat kawasan yang cenderung dikorbankan dan dialihfungsikan. Misalnya untuk kepentingan pertambangan. Itu yang banyak memicu longsor,” ujarnya kepada BeritaBenar.
Menurutnya, Jawa sudah lama mengalami alih fungsi, dimana 2,2 juta hektar lahan hutan beralih menjadi hutan produksi.
Di luar Jawa, katanya, longsor terjadi karena alih fungsi hutan menjadi perkebunan, seperti di Sumatera Barat dan Lampung.
“Di Lampung Barat terjadi alih fungsi pertambangan. Malah, dulu kalau Walhi tak gonggong, mereka masuk ke areal kawasan taman nasional walaupun hanya 300an hektar,” ujarnya.
Secara keseluruhan, tukas Mukri, tindakan manusialah yang menjadi penyebab longsor sehingga diperlukan upaya peningkatan kesadaran masyarakat.
“Terjadi pergeseran. Bukan pengetahuan yang hilang, tetapi cenderung memang karena ada faktor ekonomi yang biasa melabrak instrumen keselamatan lingkungan,” tegasnya.
“Perubahan kawasan itu lebih karena tindakan yang mengarah pada perubahan ruang untuk kepentingan lain, seperti pertambangan dan perkebunan skala besar.”
Dia menambahkan apabila kondisi tersebut terus dibiarkan dan tak ada tindakan pemulihan lahan, maka kemungkinan longsor akan terus terjadi di masa mendatang.