MA beri hukuman ringan, anulir vonis bebas 2 polisi terkait Kanjuruhan
2023.08.24
Jakarta

Mahkamah Agung jatuhkan hukuman ringan setelah membatalkan vonis bebas dua polisi yang didakwa terkait penembakan gas air mata yang berujung tewasnya 135 orang dan ratusan lain luka-luka di Stadion Kanjuruhan Malang, Jawa Timur, pada Oktober tahun lalu.
Dalam putusan kasasi yang diketok pada Rabu (23/8) majelis yang beranggotakan tiga hakim pimpinan Surya Jaya menjatuhkan hukuman 2,5 tahun penjara kepada Wahyu Setyo Pranoto yang merupakan mantan Kepala Bagian Operasional Polres Malang dan vonis 2 tahun penjara kepada bawahannya, Bambang Sidik Achmadi, yang kala itu menjabat Kepala Satuan Kepolisian Resor Malang fungsi pengendalian masyarakat (Kasat Samapta).
Sementara itu keluarga korban tragedi Kanjuruhan mengecam putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang mereka nilai terlalu ringan, dan tidak adil bagi korban.
Majelis hakim kasasi MA berpendapat bahwa kedua polisi, Wahyu dan Bambang, terbukti lalai dalam menyikapi insiden di stadion sehingga menyebabkan kematian dan korban luka, kata ringkasan putusan yang dimuat di situs lembaga itu Kamis.
"Karena kealpaan menyebabkan orang lain mati, luka berat, dan karena kealpaan menyebabkan orang lain sedemikian rupa berhalangan melakukan pekerjaan untuk sementara," terang majelis dalam amar putusannya.
Wahyu dan Bambang diputus bebas oleh Pengadilan Negeri Surabaya, Jawa Timur, pada 16 Maret 2023- dalam sidang yang digelar berbarengan dengan terdakwa polisi lain Hasdarmawan.
Hasdarmawan yang merupakan Deputi 3 Komandan Batalyon Brimob Polda Jawa Timur kala itu beroleh hukuman 1,5 tahun penjara usai dinilai terbukti memerintahkan pasukannya untuk menembakkan gas air mata ke arah tribun setelah penonton masuk ke dalam lapangan pasca kalahnya tim tuan rumah Arema Malang dari rivalnya Persebaya Surabaya.
Peraturan Federasi Sepak bola Internasional (FIFA) melarang penggunaan gas air mata di dalam stadion pertandingan..
Kepolisian menetapkan enam tersangka tak lama usai tragedi Kanjuruhan yang terjadi pada 1 Oktober 2022.
Selain ketiga polisi itu, ada pula mantan panitia pelaksana pertandingan Abdul Haris, ketua petugas keamanan Suko Sutrisno, dan mantan Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru Ahmad Hadian Lukita.
Abdul Haris dan Suko telah menerima vonis dari Pengadilan Negeri Surabaya pada 9 Maret 2023 dan dijatuhi hukuman masing-masing 1,5 tahun dan 1 tahun penjara. Hakim berpendapat keduanya terbukti gagal memastikan keamanan dan mengendalikan massa di stadion.
Adapun Lukita sampai saat ini belum kunjung diadili, bahkan ia telah dibebaskan dari penahanan. Padahal dalam penyidikan awal kepolisian, ia diduga tidak memverifikasi Stadion Kanjuruhan jelang kompetisi dan alih-alih menggunakan hasil pemeriksaan keamanan dua tahun sebelumnya.
Tak hanya itu, Lukita juga dituduh telah mengabaikan permintaan polisi setempat yang meminta waktu pertandingan digeser menjadi sore atas pertimbangan keamanan. Selaku pimpinan operator liga, dia disebut bersikukuh menggelar pertandingan pada malam hari karena permintaan sponsor dan sudah disepakati.
Tim pencari fakta yang dibentuk pemerintah menyatakan, tragedi Kanjuruhan bermula dari polisi yang menembakkan gas air mata di dalam stadion untuk membubarkan penonton yang menyerbu ke dalam lapangan setelah tim tuan rumah Arema Malang kalah dari Persebaya Surabaya dalam lanjutan liga sepak bola Indonesia.
Dalam laporannya, tim juga menyebut bahwa gas air mata ditembakkan tanpa perhitungan ke arah tribun stadion sehingga menyebabkan penonton panik dan berlarian secara bersamaan menuju pintu keluar tribun yang tergolong sempit, menyebabkan penonton terhimpit, terinjak dan sesak nafas.
Keluarga korban: “Tidak adil, hanya dagelan”
Cholifatul Nur, ibu salah seorang korban tragedi Kanjuruhan, menilai putusan kasasi MA sebagai ketidakadilan baginya dan keluarga korban lain.
"Dagelan lagi. Enggak adil. Sebanyak 135 nyawa lebih, tapi kok hanya 2 tahun dan 2,5 tahun. Kayak hukuman maling sapi," ujar Cholifatul (40) yang anaknya Jofan Farelino (15) meninggal dunia dalam insiden tersebut.
Menurut Cholifatul, pengungkapan tragedi memang tergolong janggal sedari awal karena perkara yang menjerat polisi ditangani oleh kepolisian. Belum lagi sepanjang penanganan, keluarga korban tidak diundang saat rekonstruksi perkara.
"Seperti jeruk makan jeruk. Penyidik polisi pasti akan membela temannya sesama polisi," ujarnya kepada BenarNews.
Mantan anggota tim pencari fakta Rhenald Kasali menyadari putusan MA tersebut memang belum memenuhi rasa keadilan korban serta keluarga korban.
"Karena memang masih banyak pelaku yang bertanggung jawab yang belum tersentuh hukum. Masih banyak kebiasaan buruk yang belum disentuh sehingga dikhawatirkan masih akan dilakukan," ujar Rhenald kepada BenarNews.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menilai putusan MA ini membuktikan bahwa telah terdapat kesalahan pada tingkat pengadilan negeri yang berpendapat keduanya tidak bersalah.
"Meski (besaran) mengecewakan dan tidak adil bagi keluarga korban, namun ini membuktikan bahwa upaya pengaburan fakta di lapangan tidak berhasil," ujar Isnur yang juga pendamping hukum keluarga korban Kanjuruhan.
Isnur pun meminta kepala Polri untuk memeriksa ulang peristiwa Kanjuruhan karena masih banyak pelaku lain yang belum diseret ke meja hijau.
Pengamat sepak bola Tommy Welly menambahkan, sejak tragedi Kanjuruhan sejatinya tidak banyak perubahan dalam pengelolaan bal-balan Tanah Air.
Dia mengatakan Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI) malah menerbitkan keputusan yang kontraproduktif seperti melarang pendukung tim tamu datang ke stadion dengan dalih arahan transformasi dari FIFA.
Padahal sejak insiden Kanjuruhan, terang Tommy, pendukung sepak bola mulai memiliki kesadaran untuk berangkulan dan berdamai.
"Ada momentum itu (berdamai), tapi PSSI justru melarang pendukung tim tamu untuk hadir. Pada akhirnya, penonton tuan rumah sekarang justru seperti mendapat legitimasi untuk bertindak keras kepada pendukung tamu yang hadir," kata Tommy kepada BenarNews.
Dia menambahkan bahwa sampai saat ini PSSI tidak pernah memperlihatkan bukti tertulis bahwa larangan kehadiran supoter merupakan bagian arahan FIFA
"Jadi menurut saya, satu-satunya perubahan real setelah Kanjuruhan hanya peralihan kekuasaan saja, dari Iwan (Iriawan) ke Erick (Thohir).”
Erick merupakan Ketua Umum PSSI pengganti Mochamad Iriawan.
BenarNews menghubungi PSSI terkait hal ini, tapi tak beroleh balasan.
Eko Widianto di Malang berkontribusi dalam laporan ini.