Mahkamah Konstitusi tolak perubahan sistem pemilu 2024, satu hakim 'dissenting opinion'
2023.06.15
Jakarta

Mahkamah Konstitusi pada Kamis (15/6) menolak permohonan uji materi perubahan sistem pemilihan umum. Dengan demikian, masyarakat Indonesia akan tetap mencoblos nama calon anggota legislatif alih-alih logo partai seperti permintaan pemohon.
Indonesia akan menggelar pemungutan suara untuk memilih anggota dewan legislatif dan presiden pada Februari 2024.
Pemohon menilai pemilihan dengan sistem proporsional terbuka — mencoblos nama calon legislator — telah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Delapan dari sembilan hakim konstitusi mengatakan dalil itu tidak beralasan menurut hukum.
Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman mengatakan, majelis hakim "mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya."
Satu-satunya hakim konstitusi yang berbeda pendapat (dissenting opinion) adalah Arief Hidayat.
Arief menilai sistem pemilu terbuka saat ini mestinya diubah karena didasarkan pada demokrasi yang rapuh di mana para calon anggota dewan legislatif bersaing tanpa etika dan menghalalkan segala cara.
Permohonan perubahan sistem pemilu didaftarkan kepada Mahkamah Konstitusi oleh enam orang, salah satunya politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) asal Banyuwangi, Jawa Timur, Demas Brian Wicaksono.
PDIP sendiri merupakan satu-satunya partai yang mendukung perubahan sistem tersebut dengan alasan, antara lain, untuk menghadirkan sosok kompeten di parlemen dan menghemat anggaran pelaksanaan pemilu.
Dalam argumennya, para pemohon menilai sistem pemilihan saat ini telah mengurangi peran sentral partai politik, meningkatkan pragmatisme calon legislator, memperbesar peluang politik uang, dan menghadirkan kerumitan bagi pemilih serta penyelenggara pemilihan umum.
Majelis hakim konstitusi membantah argumen tersebut dan menyebutnya tidak beralasan hukum kuat.
Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Saldi Isra, dalam pertimbangan putusan, mengatakan bahwa peran partai sejatinya tetap sentral dalam sistem pemilihan saat ini. Karena, kata dia, penentuan nomor urut calon legislator merupakan kewenangan partai politik.
Ketika seseorang sudah terpilih menjadi anggota dewan legislatif namun dianggap tidak sejalan dengan kebijakan partai, terang Saldi, partai memiliki hak mengganti anggota tersebut melalui mekanisme penggantian antarwaktu.
"Dengan mekanisme penggantian antarwaktu, maka peran partai politik tidak berkurang," kata Saldi.
Mengenai meningkatnya pragmatisme, Saldi mengatakan sejatinya pragmatisme dapat dicegah partai politik dengan mendalami rekam jejak, visi misi, dan ideologi para calon.
Tak berbeda dengan bakal calon legislator, Saldi menilai partai politik pun selama ini cenderung pragmatis karena mengutamakan elektabilitas ketimbang pemahaman visi-misi dan ideologi para pendaftar.
"Dengan demikian, sistem apa pun, selama partai politik tidak ada komitmen memilih berdasarkan visi-misi, cita-cita, maka ancaman pragmatisme itu sulit dicegah," ujar Saldi.
Adapun terkait peluang politik uang, Saldi berpendapat potensi aksi culas tersebut sejatinya tidak berkorelasi dengan sistem pemilu, melainkan masalah struktural.
Andai kata sistem tertutup dijalankan, Saldi berpendapat politik uang tetap dapat terjadi pada fase penentuan nomor urut kandidat oleh partai.
"Politik uang dan korupsi tidak bisa menjadi alasan untuk [diterapkannya] sistem terbuka," pungkasnya.
Ditemui sesuai sidang, politikus PDIP Arteria Dahlan tak mempermasalahkan putusan majelis hakim, dengan mengatakan, "pada prinsipnya kami menghormati."
"PDIP adalah partai yang matang dan dewasa. Kami siap dengan segala macam sistem pemilu,” kata Arteria.
Wakil Ketua Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Habiburokhman, yang turut hadir di Gedung Mahkamah Konstitusi, menanggapi positif putusan hakim konstitusi.
"Maka, semua stakeholder pemilu kini bisa lega melanjutkan kerja-kerja mereka — baik partai politik, calon legislator, maupun masyarakat," ujar Habiburokhman.
Tanggapan positif juga disampaikan Komisioner Komisi Pemilihan Umum Idham Holik dengan mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi telah memberikan kepastian hukum bagi rangkaian tahapan pemilihan umum 2024.
"Kami punya pedoman untuk melanjutkan tahapan pemilu sesuai jadwal," ujar Idham.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Kahfi Adlan Hafiz, juga menanggapi positif putusan majelis hakim. Menurutnya, para hakim telah memuat pertimbangan tepat dengan menolak semua dalil para pemohon.
"Soal politik uang, misalnya, masalahnya adalah pendanaan pemilu dan partai politik. Bukan di sistem pemilu," kata Kahfi.
Begitu pula tanggapan Koordinator Komunitas Pemilu Bersih, Jeirry Sumampow, yang menilai Mahkamah Konstitusi telah membuat keputusan tepat.
Kalau pun ada perubahan sistem pemilihan umum, Jeirry menambahkan, maka itu sebaiknya dilakukan setelah terpilihnya pemerintahan dan parlemen baru.
"Kalau mau mengubah sistem, sebaiknya setelah pemilu nanti selesai. Kita lakukan evaluasi dan pertimbangkan sistem apa yang cocok untuk agenda demokrasi Indonesia," kata Jeirry.
"Jadi, saya melihat keputusan hakim konstitusi sudah tepat. Sekarang agak riskan karena proses pemilihan sudah berjalan."
Indonesia menetapkan sistem pemilu terbuka sejak pemilihan umum 2004.
Sementara sistem pemilihan tertutup atau mencoblos logo partai diterapkan pada 1955, sepanjang Orde Baru, dan pemilihan umum 1999.