Makarim Wibisono: Kita ingin berikan keadilan yang bisa diterima korban
2022.10.06
Jakarta

Indonesia membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) Masa Lalu sebagai upaya memberikan keadilan restoratif kepada para korban dan keluarganya melalui Keputusan Presiden No. 17 pada Agustus 2022.
Tim ini beranggotakan 12 orang tim pelaksana dan enam orang menteri sebagai dewan pengarah yang ketuanya dijabat oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Mohammad Mahfud MD.
Dalam sebuah wawancara khusus dengan BenarNews, diplomat veteran Makarim Wibisono yang mengetuai tim pelaksana, mengungkapkan bahwa mereka akan bekerja mencari solusi pelanggaran HAM yang berorientasi pada korban dan memberikan keadilan yang sebenar-benarnya.
Pelapor khusus PBB tentang situasi HAM di wilayah Palestina ini menyampaikan tentang bagaimana timnya akan bekerja menjawab keraguan publik, terutama para keluarga korban dan aktivis HAM yang menilai penyelesaian secara non – yudisial hanya akan melanggengkang impunitas dan memutihkan pelanggaran masa lalu yang belum diselesaikan negara.
Berikut kutipan wawancara tersebut yang dilakukan secara daring pada akhir September.
Apa latar belakang dan mengapa tim ini dibentuk sekarang?
Keinginan mengenai usaha untuk mengatasi masalah pelanggaran HAM berat ini sudah lama. Sebelumnya ada gagasan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang kemudian lahir menjadi undang-undang (UU) tapi dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Tapi proses untuk menghidupkan kembali UU KKR itu tidak maju hingga sekarang. Sementara kasus pelangaran HAM masa lalu itu membawa korban dan tidak ada perkembangan sama sekali.
Kepres No. 17 tahun 2022 bukan bermaksud menggantikan UU KKR, bukan pula untuk menggantikan proses yudisial, karena proses yudisial itu masih bisa berjalan dengan UU 26/2000, tinggal cukup bukti dan cukup saksi, pengadilan terhadap pelanggaran HAM bisa jadi kenyataan. Namun menghadirkan saksi dan bukti itu banyak kendala, misalnya orangnya meninggal, saksinya tidak ada.
Maksud dari Kepres 17/2022 ini adalah mengatasi masalah-masalah tersebut, terutama korban pelanggaran HAM berat.
Apa prioritas kasus pelanggaran HAM yang akan diselesaikan?
Pada 24-25 September kita mengadakan sidang paripurna dan membahas apakah kita membuat prioritas atau terlebih dahulu membuat gambaran yang komprehensif mengenai kasus-kasus pelanggaran HAM.
Kesimpulannya, hal pertama yang ingin dilakukan adalah mengkaji semua dokumentasi tentang pelanggaran HAM masa lalu, tapi fokusnya adalah korbannya.
Kedua juga kita ingin mengadakan temu muka dengan keluarga korban, tokoh masyarakat, yang memiliki pengetahuan tentang itu dan mencoba mengadakan kajian bersama tentang apa-apa yang kita temukan.
Jadi hal pertama yang dilakukan adalah mengkaji semua dokumentasi yang berkaitan dan kita lihat perkembangan. Jadi bukan mulai dari zero, tapi kita berdasarkan temuan-temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) hingga Juni 2020.
Jadi tim ini bekerja dengan meneruskan kerja Komnas HAM?
Jadi kita mengetahui bahwa Komnas HAM memberi laporan lengkap, baik untuk keperluan mekanisme yudisial maupun non-yudisial.
Kita ingin mempelajari bagaimana laporan-laporan itu berkaitan dengan korban, agar korban tidak terus-terusan menunggu keadilan yang tak kunjung datang.
Belum ada indikasi kita akan harus misalnya menyelesaikan Kasus Wasior, Kasus Semanggi atau kasus apa terlebih dahulu. Kita pelajari secara mendalam terlebih dahulu dalam sudut pandang korban.
(Berdasarkan data Komnas HAM, kasus yang dikategorikan pelanggaran HAM berat dan belum tuntas adalah Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari 1989 di Lampung, Peristiwa Trisakti, Semanggi dan Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 di Jakarta, serta Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998. Selain itu juga adalah, Peristiwa Wasior Wamena, Peristiwa Pembantaian Dukun Santet di Banyuwangi 1998, dan sejumlah pelanggaran HAM di Aceh yaitu Peristiwa Simpang KAA 1999, Peristiwa Jambu Keupok 2003, dan Peristiwa Rumah Geudang 1989-1998, serta peristiwa terbunuhnya empat remaja Paniai di Papua 2014.)
Keadilan seperti apa yang ingin diberikan pada korban?
Seperti kalau kita perhatikan, Keppres No. 17/2022 itu menegaskan bahwa tim memberi rekomendasi pemulihan bagi korban atau keluarganya berupa rehabilitasi fisik, bantuan sosial, jaminan kesehatan, beasiswa atau rekomendasi lain untuk kepentingan korban atau keluarganya yang dirasa sebagai hal yang adil.
Kita ingin pelajari dulu, kalau toh kompensasi uang sudah dilakukan, kita lihat seberapa dalam, berapa banyak korban yang tercover? Apakah 10 persen atau 5 persen, apa di wilayah tertentu atau semua kasus yang ada.
Ada banyak komentar soal bahwa tim penyelesaian kasus HAM berat melanggengkan impunitas?
Kita mengetahui bahwa teman-teman yang menggeluti masalah ini tentunya memiliki pandangan atau suspicion (kecurigaan) tentang hal ini. Karena mereka menunggu-nunggu apa hal-hal yang bisa dilihat sebagai sesuatu yang konkrit.
Dalam rapat paripurna, semua anggota tim berketetapan hati akan keluar dengan laporan yang memuat rekomendasi-rekomendasi konkrit pada pemerintah agar melakukan sesuatu berdasarkan rekomendasi itu.
Apakah tim ini independen?
Demikian juga rekomendasi yang akan keluar dari tim ini adalah kajian dari anggota tim. Kita ingin menyampaikan analisia maupun rekomendasi sesuai dengan pemikiran anggota tim secara independen.
Kapan tim ini akan menyelesaikan perkerjaannya?
Berdasarkan Kepres kita diminta menyelesaikan pekerjaan ini hingga Desember 2022.
Secara konkrit apa hasil kerja dari tim ini?
Mandat pada tim ini untuk melakukan tiga hal. Kita bisa memberikan semacam laporan mengenai kasus pelanggaran HAM dan juga agar tidak terulang di masa datang.
Kedua kita berusaha membuat pemulihan korban agar semua korban bisa merasakan keadilan.
Ketiga adalah rekomendasi langkah untuk mencegah hal-hal ini tidak terulang kembali. Jadi hasil konkritnya nanti adalah hasil analisa dan rekomendasi.
Kita ambil contoh pelanggaran HAM pada tahun 65, keadilan seperti apa yang bisa diberikan pada para korban?
Pemahaman pada hal ini terus berkembang. Tadinya menginginkan pendekatan dengan mekanisme yudisial, yang ingin mewujudkan keadilan retributive, itu kan impian, sesuatu apa yang dikejar-kejar.
Tapi kita melihat saat berkembang keinginan untuk mewujudkan restorative justice, yang bisa menyelesaikan hal itu dengan baik.
Kita berusaha semaksimal mungkin agar bisa memberikan gagasan atau rekomendasi yang bisa diterima oleh para korban hingga puas dan merasa ini keadilan yang bisa diterima.
Apakah tim ini mengalami kesulitan dalam menjalankan tugasnya?
Kita merasa bahwa kita memiliki bahan yang terbuka dari Komnas HAM. Itu laporan lengkap mengenai pelakunya, tapi berkaitan dengan HAM kita mencoba lakukan temu muka hingga FGD (Focus Group Discussions) untuk mendapatkan informasi tambahan.
Kalau itu sudah bisa kita peroleh, kita memiliki gambaran yang lebih lengkap. Tim ini punya keinginan yang kuat agar bangsa ini jangan terlibat luka bangsa yang terjadi, tidak menjadi sandera masa lalu.
Kita lihat bangsa Jerman, betapa pecahnya mereka setelah era Hitler, berapa juta korban meninggal, tapi sekarang Jerman semua orang tidak bicara masalah itu terus, tapi sudah dianggap sebagai cut off. Bangsa Jerman kini menjadi satu dan menghadapi masalah dengan bulat.
Apa pesan-pesan yang ingin disampaikan?
Semoga teman-teman media massa bisa mengetahui apa masalah yang kita hadapi dan mencoba memberi gambaran pada semua pihak. Tidak ada kepentingan politik praktis atau keinginan apapun di luar apa yang tertulis di pada Keppres No. 17/2022.