200 Aktivis Gelar Malam Solidaritas untuk Meliana

Aktivis juga menyerukan dihapusnya pasal penodaan agama.
Rina Chadijah
2018.09.12
Jakarta
180912_ID_Meliana_1000.jpg Para aktivis dan warga memegang lilin dan poster saat melakukan solidaritas untuk Meliana di Taman Aspirasi, Jakarta Pusat, 12 September 2018.
Rina Chadijah/BeritaBenar

Alif Imam Nurlambang berdiri menghadap Istana Merdeka dari Taman Aspirasi, di pintu barat Monas, Jakarta Pusat.

Melalui pengeras suara, Ketua Gerakan Indonesia Kita (GITA) itu, berupaya membakar semangat para pengunjung yang hadir.

“Agama tidak akan pernah bisa dinodai. Pasal penodaan agama adalah sesuatu yang tidak masuk akal. Sangat menentang akal sehat kita,” ujarnya.

“Pasal penodaan agama adalah bentuk keangkuhan para pemeluk agama yang merasa dirinya suci. Padahal kesucian bukan ditentukan oleh manusia.”

Rabu petang hingga malam, 12 September 2018, sekitar 200 orang berkumpul di tempat itu.

Mereka datang untuk memberikan dukungan dan solidaritas terhadap Meliana (bukan Meiliana), perempuan beragama Budha keturunan Tionghoa yang divonis 18 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri Medan, Sumatera Utara, 21 Agustus 2018, karena dinilai terbukti menistakan agama Islam, setelah ia mengeluhkan volume suara azan dari masjid yang dinilai terlalu keras.

Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia, salah satu organisasi yang menggagas acara tersebut, mengatakan Meliana adalah korban pasal penodaan agama yang diterapkan secara serampangan oleh aparat penegak hukum.

Vonis hakim Pengadilan Negeri Medan, menurut Usman, lebih didasarkan pada tekanan massa daripada fakta hukum yang terungkap di persidangan.

Padahal, tambahnya, Meliana hanya menyampaikan keluhan karena merasa terganggu dengan volume suara azan dari masjid yang berjarak enam meter dari rumahnya.

“Tidak ada sama sekali ucapan Meliana yang berupaya menjelek-jelekan agama Islam. Ia hanya merasa terganggu dengan volume azan yang terlalu keras,” kata Usman kepada BeritaBenar.

“Hakim sangat di bawah tekanan, akibatnya sembrono dalam menjatuhkan vonis.”

Pasca keluhan Meliana tersebut, masyarakat melempari rumah Meliana dan berlanjut pada amuk massa yang membakar sejumlah vihara di Kota Tanjungbalai.

“Keberadaan pasal penodaan agama membuka ruang bagi banyak orang untuk bisa dipenjara hanya berdasarkan tafsir sebagian orang,” ujar Usman, yang bersama para aktivis lainnya menuntut dihapuskannya pasal tersebut dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Berdasarkan data Amnesty International, terdapat 106 orang yang divonis dengan pasal penodaan agama antara 2005 hingga 2014.

Meliana merupakan orang kelima yang divonis tahun ini. Sementara pada 2017 tercatat 12 orang divonis dengan pasal tersebut.

Angka ini jauh berbeda dibandingkan saat Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto berkuasa selama 32 tahun.

Dari tahun 1965 hingga 1998, hanya 10 orang yang dijerat dengan pasal tersebut, kata Usman.

Diskriminasi berlapis

Ketua Komisi Nasional Perlidungan Perempuan (Komnas Perempuan) Riri Khariroh yang ikut dalam aksi itu menyebutkan, ada kesalahan prosedur penanganan kasus Meliana karena putusan hakim dipengaruhi tekanan massa.

“Kasus yang menimpa ibu Meliana ini terlalu dipaksakan, karena unsur-unsur hukumnya sangat sulit dibuktikan,” ujarnya kepada BeritaBenar.

“Kita juga sangat menyayangkan ahli yang kami kirim untuk memberikan keterangan tidak dipakai oleh hakim.”

Riri menyebut Meliana merupakan korban diskriminasi berlapis karena selain sebagai seorang perempuan, beragama minoritas, juga beretnis minoritas.

“Upaya persekusi kepada Meliana dan keluarganya memaksa mereka kini harus pindah dari Tanjung Balai, Sumatera Utara,” katanya.

Komnas Perempuan juga mendorong adanya revisi tekait aturan penodaan agama agar tidak menambah korban.

“Kalau tidak direvisi setidaknya harus ada moratorium sehingga ke depannya tidak ada lagi korban seperti ibu Meliana,” ujarnya.

Selain itu, Riri juga mengatakan, pihaknya telah meminta Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk memantau proses hukum yang akan berjalan di Pengadilan Tinggi.

Ia juga berharap Presiden Joko “Jokowi” Widodo harus bersikap untuk menyelamatkan kemerdekaan berekspresi di Indonesia.

Jokowi telah menyatakan prihatin terhadap kasus yang menimpa Meliana, namun ia mengatakan tidak bisa melakukan intervensi atas kasus hukum.

Masih berjalan

Meliana kini masih melakukan upaya hukum atas apa yang menimpanya. Kuasa hukum dan keluarganya masih menunggu salinan putusan Pengadilan Negeri Medan, sebagai syarat pendaftaran upaya banding ke Pengadilan Tinggi Medan.

Verianto Sitohang, salah seorang kuasa hukum Meliana mengatakan, pihaknya sedang menyiapkan memori banding untuk diserahkan ke Pengadilan Tinggi.

“Persiapan memori banding kami perkirakan akan selesai satu atau dua minggu. Setelah itu, kita harapkan Pengadilan Tinggi Medan dapat segera memulai sidang,” katanya.

Verianto menyatakan bahwa Meliana yang masih trauma kini masih ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan.

“Ia kerap menangis dan ketakutan karena merasa terancam dengan keriuhan. Situasinya belum benar-benar pulih dan belum bisa menerima kondisi yang terjadi,” ujarnya.

Mewakili Meliana dan keluarga, Verianto mengucapkan terima kasih atas dukungan dari semua pihak, termasuk para aktivis yang menggelar malam solidaritas.

“Ini salah satu kekuatan untuk Meliana dan keluarga bahwa mereka tidak sendirian,” pungkasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.