Fredrich Yunadi, Mantan Pengacara Novanto, Terancam 12 Tahun Penjara
2018.02.08
Jakarta

Jaksa Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa Fredrich Yunadi, mantan pengacara Setya Novanto, menghalangi-halangi penyidikan kasus korupsi Kartu Tanda Penduduk Elektronik (e-KTP) dan merencanakan rekayasa kecelakaan lalu lintas bekas ketua DPR itu.
"Terdakwa melakukan rekayasa agar Setya Novanto dirawat inap di Rumah Sakit Medika Permata Hijau dalam rangka menghindari penyidikan oleh penyidik KPK terhadap Setya Novanto sebagai tersangka," kata jaksa Fitroh Rohcahyanto saat membacakan surat dakwaan untuk terdakwa Fredrich di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Kamis, 8 Februari 2018.
Kasus rekayasa itu terjadi setelah KPK kembali menetapkan Novanto menjadi tersangka kasus e-KTP pada 31 Oktober 2017. KPK menjadwalkan pemeriksaan terhadap Novanto, 15 November 2017.
Untuk menghindari pemeriksaan kliennya, Fredrich disebut merencanakan kecelakaan hingga membuat Novanto harus dirawat.
Dalam melancarkan rencananya, dia dibantu dokter Bimanesh Sutarjo, yang menangani Novanto saat berada di RS Medika Permata Hijau. Bimanesh sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK.
Jaksa menilai Fredrich telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun penjara.
Jaksa KPK juga merinci persekongkolan jahat para terdakwa. Sebelum hari pemeriksaan, Fredrich menyarankan Novanto tidak memenuhi panggilan KPK dengan berbagai alasan. Bahkan Novanto menghilang saat hendak ditangkap KPK pada 15 November 2017.
Keesokan harinya, Fredrich lantas bertemu dengan Bimanesh, dokter yang sudah lama dikenalnya. Ia meminta bantuan Bimanesh agar Novanto bisa dirawat di RS Medika Permata Hijau.
Setelah Novanto dirawat inap, Fredrich memberikan keterangan pers seolah-olah dia baru mengetahui soal kecelakaan itu. Ia bahkan menyebut Novanto mengalami luka parah akibat kecelakaan tunggal itu.
Bantahan Fredrich
Namun, Fredrich membantah disebut menghalangi penyidikan seperti yang didakwakan atasnya dan berbalik menyebut jaksa KPK telah melakukan kebohongan.
Setelah jaksa selesai membacakan dakwaannya, Fedrich yang ditanya hakim langsung membantah dan menyatakan dakwaan jaksa tidak sesuai fakta.
"Saya sudah baca surat dakwaan waktu diserahkan pengacara saya. Dakwaan itu palsu dan rekayasa, sekarang juga saya akan ajukan eksepsi," ujar Fredrich.
Ketua majelis hakim meminta Fredrich hanya menjawab apa yang ditanya hakim.
"Saya tanya, apakah saudara terdakwa mengerti surat dakwaan yang dibacakan jaksa?" ujar ketua majelis hakim, Saifuddin Zuhri.
Fredrich dengan lantang menjawab bahwa dia mengerti.
"Saya mengerti meskipun itu palsu," tegasnya.
Atas permintaan kuasa hukum, hakim kemudian memberi kesempatan Fredrich dan pengacaranya berdiskusi.
"Setelah kami berunding meskipun saya sangat ingin telanjangi penipuan yang dilakukan jaksa, tetapi karena ada arahan," ujar Fredrich.
Saifuddin mengetuk palu tanda interupsi atas pernyataan Fredrich.
"Terdakwa dengarkan saya. Jangan ngomong sana sini dulu. Jawab pertanyaan kami dulu," kata Saifuddin.
Karena melihat Fredrick terlalu emosi, hakim memutuskan untuk menghentikan jalan persidangan dan akan melanjutkan pada pekan depan dengan agenda mendengarkan tanggapan dari Fredrich.
Usai persidangan, saat memberikan keterangan kepada wartawan, dengan nada tinggi Fredrich menegaskan, "Jaksa KPK itu tukang tipu. Mereka itu anak-anak muda kemarin sore yang membuat skenario," ujar Fredrich.
Menanggapi tudingan Fredrick, Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif memastikan tak ada unsur tipu-menipu dalam dakwaan yang disusun jaksa.
"Kami menyangkal dikatakan tukang tipu. Bahwa dia (Fredrich) mengatakan bahwa kami abuse of power tidak benar juga," katanya seperti dikutip dari laman Kompas.com.
Laode menambahkan Fredrich sudah memutarbalikkan fakta. Contohnya, kata dia, saat penyidik datang ke rumah Fredrich, ia menuding KPK mengancam keluarganya, padahal menurut Laode, yang terjadi sebaliknya.
"KPK punya videonya, dalam video itu bahkan keluarga dia yang memaki penyidik dan penuntut KPK," papar Laode.
Saling bantah
Sementara itu dalam sidang kasus korupsi e-KTP dengan terdakwa Novanto, bekas ketua DPR itu menyebutkan mantan koleganya di DPR, Ganjar Pranowo, turut menerima aliran dana proyek yang merugikan negara Rp2,3 triliun dari nilai proyek Rp5,9 triliun.
Novanto mengungkap itu saat Ganjar menjadi saksi dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta.
Menurut Novanto, Ganjar – politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan – menerima uang dari proyek e-KTP senilai US$500.000.
Informasi itu didapatnya dari mantan anggota Komisi II DPR Fraksi Golkar, Mustokoweni Murdi, politikus Hanura Miryam S. Haryani, dan terpidana e-KTP, Andi Agustinus alias Andi Narogong.
"Yang pertama Mustokoweni saat ketemu saya menyampaikan uang dari Andi untuk dibagikan ke DPR dan itu disebut namanya Pak Ganjar," kata Novanto.
Tapi, Ganjar yang kini menjabat Gubernur Jawa Tengah membantah pernyataan Setya, dengan menyebutkan Mustokoweni memang pernah menjanjikan uang, tapi ditolaknya. Begitu juga dengan Miryam.
Ganjar mengaku penyidik senior KPK, Novel Baswedan, pernah menghadirkannya dan Miryam pada waktu bersamaan.
Mereka dikonfrontasi untuk dimintai keterangan soal e-KTP. Saat itu, Miryam mengaku tak memberikan uang ke Ganjar.
Ganjar menambahkan begitu juga dengan Andi Narogong, yang menyatakan tak pernah mengucurkan dana untuknya.
"Keterangan Pak Setya Novanto tidak benar," pungkas Ganjar.