Mary Jane Dinilai Wakili Potret Ketidakadilan Buruh Migran Perempuan

Pengacara Mary Jane akan ajukan Peninjauan Kembali atas vonis mati kliennya setelah ada hasil pengadilan atas perekrutnya di Filipina.
Ismira Lutfia Tisnadibrata
2016.10.13
Jakarta
161013_ID_Marijane_1000.jpg Sulistyowati Irianto (tengah) dan pembicara lain dalam acara presentasi hasil Eksaminasi Putusan Kasus Mary Jane di Jakarta, 12 Oktober 2016.
Ismira Lutfia Tisnadibrata/BeritaBenar

Keadilan dalam proses peradilan Mary Jane Veloso, warga Filipina yang divonis mati setelah dinyatakan bersalah sebagai kurir narkoba, masih sebatas keadilan prosedural namun tidak mempertimbangkan kerentanannya sebagai buruh migran perempuan, kata akademisi dan aktivis dalam presentasi hasil Eksaminasi Putusan Kasus Mary Jane di Jakarta, Rabu, 12 Oktober 2016.

“Ini kasus yang dimensi perempuannya sangat kental. Keadilan diberikan lebih pada keadilan prosedural hukum, bukan keadilan substansial yang memperhatikan realitas sosial perempuan,” ujar guru besar Antropologi dan Ketua Program Pascasarjana Universitas Indonesia (UI), Sulistyowati Irianto.

Keadilan prosedural itu memastikan semua prosedur hukum yang dilakukan untuk mencapai vonis hakim, kata Sulistiyowati dalam acara yang digelar Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum UI itu.

Namun latar belakang Mary Jane sebagai seorang buruh migran perempuan korban perdagangan manusia yang ditipu untuk membawa narkoba ke Indonesia tidak mendapat perhatian, katanya.

Menurutnya, Mary Jane adalah potret bagi ribuan buruh migran perempuan Indonesia yang mengalami nasib sama sebagai korban perdagangan manusia. Kemudian, mereka terjebak dalam sindikat perdagangan narkoba.

Mary Jane tertangkap membawa 2,6 kilogram heroin di Bandara Adisucipto, Yogyakarta, April 2010. Majelis hakim Pengadilan Negeri Sleman memvonis dengan hukuman mati pada Oktober tahun yang sama.

Korban perdagangan manusia

Pendapat Sulistiyowati didukung Wakil Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Yuniyanti Chuzaifah, yang mengatakan, proses hukum Mary Jane tidak mempertimbangkan dia sebagai buruh migran dan korban perdagangan manusia.

Hal itu tercermin dari pemeriksaan kepolisian yang memisahkan kompartemen narkoba dan perdagangan manusia sehingga dalam penanganannya, kasus narkoba yang muncul. Sementara isu perdagangan manusia tidak dijadikan pertimbangan.

“Selain itu, para penegak hukum juga banyak yang masih awam dengan isu perdagangan manusia,” katanya.

Menurut Yuni, beberapa contoh yang dia temukan misalnya ada hakim pernah bertanya apakah korban perdagangan manusia itu perempuan nakal atau polisi yang menangani kasus ternyata polisi lalu lintas karena mengira trafficking, istilah bahasa Inggris yang sering digunakan untuk merujuk perdagangan manusia adalah kasus traffic atau lalu lintas.

“Mereka juga korban kekerasan dalam rumah tangga,” ujar Yuni, yang memberi contoh selain Mary Jane, juga ada Merry Utami –  terpidana mati kasus narkoba yang eksekusi ditangguhkan pada 29 Juli 2016.

Yuni menambahkan, perempuan yang jadi buruh migran memilih pergi sebagai jalan keluar dari kemiskinan mutlak atau kemiskinan akibat kekerasan dalam rumah tangga, mencari jalan untuk menopang ketahanan keluarga dan pemulihan diri atau mencari tempat baru untuk berlindung.

“Buruh migran jadi sasaran sindikat narkoba karena mereka punya paspor, bermobilitas, jauh dari pantauan dan mengalami eksploitasi atas kerentanannya,” ujarnya.

Kejanggalan

Pengacara LBH Jakarta, Arif Maulana mengaku menemukan kejanggalan dalam proses peradilan Mary Jane seperti ketiadaan ahli bahasa kompeten untuk mendampinginya selama persidangan karena penerjemahnya masih mahasiswa.

“Mary Jane hanya bisa bahasa Tagalog dan tidak bisa bahasa Inggris. Ini membuat Mary Jane seperti mengalami pengabaian hak pendampingan bagi tuna rungu, tuna wicara dan tuna netra,” ujar Arif.

Selain itu, tambahnya, saksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum hanya saksi penyidik. Padahal, ada putusan Mahkamah Agung yang menjelaskan saksi penyidik mempunyai potensi konflik kepentingan.

“Jaksa penuntut umum tidak menghadirkan saksi kunci seperti pihak yang menyuruh Mary Jane membawakan tas berisi narkoba,” katanya.

Arif juga mengatakan, Mary Jane tidak mendapat pendampingan hukum yang baik sejak awal. Penasihat hukum baru tersedia pada akhir proses peradilan, itu pun ditunjuk Polda Yogyakarta dan bukan oleh Mary Jane.

“Majelis Hakim memutuskan hukuman mati, karena menurutnya terdakwa (Mary Jane) tidak bisa membuktikan bahwa dia tidak mengetahui adanya narkotika di dalam tasnya. Padahal dalam perkara narkotika, beban pembuktian ada di penuntut hukum,” ujar Arif.

Ajukan PK

Pengacara Mary Jane, Agus Salim, mengatakan pihaknya akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas vonis mati tersebut setelah ada hasil pengadilan Mary Christine yang diduga sebagai perekrut kliennya di Filipina.

Agus, yang mendampingi Mary Jane sejak tahap banding, mengatakan upaya PK kedua pernah dilakukan namun terhenti di Pengadilan Negeri Sleman atas dasar Surat Edaran Mahkamah Agung No. 7 tahun 2014 yang mengatakan PK hanya dapat diajukan satu kali.

Namun ada putusan Mahkamah Konstitusi yang mengatakan bahwa PK dimungkinkan berkali-kali sebagai upaya pencapaian keadilan.

“Hasil proses hukum di Filipina akan kami jadikan novum atau bukti baru dalam PK kedua karena akan ada hasil baru yang tidak pernah terungkap dalam proses-proses sebelumnya,” ujar Agus kepada BeritaBenar.

Mary Jane pernah masuk dalam daftar terpidana mati yang rencananya dieksekusi pada 29 April 2015. Tetapi, kemudian ditunda pada menit-menit terakhir menjelang eksekusi.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.