Pesan Politik di Balik Aksi May Day

Pengamat mengatakan sulit mencegah kelompok buruh menyuarakan dukungan masing-masing karena kontestasi politik semakin dekat.
Zahara Tiba
2018.05.01
Jakarta
180501_ID_MayDay_1000.jpg Sejumlah pekerja membentang spanduk saat menggelar aksi peringatan Hari Buruh Sedunia di Jakarta, 1 Mei 2018.
Afriadi Hikmal/BeritaBenar

Kendati masih setahun lagi, suasana pesta demokrasi untuk memilih para anggota parlemen dan presiden di Indonesia semakin terasa. Bahkan nuansa itu terlibat dalam peringatan Hari Buruh Sedunia di Jakarta, Selasa, 1 Mei 2018.

Sejumlah kelompok buruh yang menggelar aksi unjuk rasa menyampaikan tuntutan mereka terhadap calon pemimpin negara yang akan bertarung pada pemilihan presiden 2019 nanti. Penolakan atas upah murah, penolakan outsoursing dan tenaga kerja asing, serta kerja dan kehidupan yang layak bagi buruh adalah beberapa dari sejumlah tuntutan yang disampaikan.

Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menyatakan dukungan bagi Prabowo Subianto dalam pemilihan presiden nanti. Keputusan ini diambil KSPI dalam rapat kerja nasional akhir April 2018.

Belasan ribu massa KSPI memadati Istora Senayan untuk mendeklarasikan dukungan kepada Prabowo. Sebelum ke Senayan, mereka melakukan pawai dari Tugu Tani ke Istana Negara.

Presiden KSPI Iqbal Said mengatakan dukungan tersebut diberikan karena Prabowo dinilai memiliki komitmen untuk menjalankan sepuluh tuntutan buruh dan rakyat yang diajukan dalam bentuk kontrak politik.

Sebaliknya Sekretaris Jenderal Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Eduard Marpaung mengatakan pihaknya mendukung Joko “Jokowi” Widodo dalam pertarungan di Pilpres nanti.

Ada dua alasan pemberian dukungan itu yakni kasus dugaan pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu yang melekat pada Prabowo.

Sedangkan Jokowi dinilai cukup baik memperbaiki kondisi perburuhan sejak jadi presiden pada 2014 lalu.

Namun beberapa kelompok buruh memilih tidak menjagokan tokoh manapun dan memilih menyuarakan aspirasi sendiri, seperti Forum Buruh Lintas Pabrik (FBLP) dan Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI).

“Kami tidak akan mendukung salah satu calon presiden. May Day tahun ini, kami serukan untuk membangun alat politik sendiri, yang berasal dari gerakan buruh, gerakan rakyat dan kaum tertindas,” ujar Ketua Umum FBLP, Jumisih, kepada BeritaBenar.

Dia menyayangkan sikap sejumlah kelompok buruh yang telah memilih calon presiden, padahal kekuatan buruh dan kaum tertindas dianggap sanggup membangun alat politik sendiri.

“Tanpa harus bersandar pada elit politik yang sudah terbukti tak membela rakyat,” ujarnya.

Kekuatan politik yang diharapkan FBLP, lanjut Jumisih, akan berasal dari gerakan buruh, tani, mahasiswa, perempuan, kaum miskin kota, dan kelompok lainnya.

Ketua Umum KPBI, Ilhamsyah, menilai kedua calon yang digadang-gadang akan bertarung di pilpres sebenarnya memiliki masalah yang sama.

“Kami melihat 20 tahun reformasi bergulir, tidak ada satu pun cita-cita reformasi yang terwujud secara tuntas,” katanya kepada BeritaBenar.

Dia menyebutkan korupsi masih terus merajalela dan pelanggaran HAM yang satu pun tidak diusut secara tuntas.

“Bahkan pelaku pelanggaran HAM hari ini masih bercokol bahkan ikut dalam kekuasaan,” ujar Ilhamsyah.

“Sumber daya alam terus dikuras. Ruang-ruang demokrasi yang selalu dipersempit sehingga rakyat dalam membangun kekuasaannya selalu dipersulit.”

Menurut dia, semua permasalahan yang ada merupakan tanggung jawab seluruh unsur kekuatan politik yang berkuasa.

Dengan situasi seperti ini, lanjut Ilhamsyah, KPBI berkesimpulan tidak ada satu pun kekuatan politik yang konsisten mengusung cita-cita reformasi.

“Kami tak percaya lagi dengan partai-partai politik serta calon-calon pemimpin dari mereka. Kami yakin gerakan buruh dan rakyat menarik dukungan dari partai dan mempersiapkan diri membangun kekuatan sendiri. Kami tidak mau terjebak dukung-mendukung,” ujarnya.

Sejumlah buruh perempuan membawa spanduk saat menggelar aksi peringatan Hari Buruh Sedunia di Jakarta, 1 Mei 2018. (Afriadi Hikmal/BeritaBenar)
Sejumlah buruh perempuan membawa spanduk saat menggelar aksi peringatan Hari Buruh Sedunia di Jakarta, 1 Mei 2018. (Afriadi Hikmal/BeritaBenar)

Sulit dicegah

Pengamat politik dari Habibie Center Indria Samego mengatakan sulit mencegah fenomena semacam itu karena masa kontestasi politik semakin dekat.

“Jadi makin marak bentuk kristalisasi dukungan. Para kontestan itu berusaha untuk merebut citra para calon pemilih lewat beragam cara. Kebetulan waktunya bersamaan dengan tahun politik 2018 dan 2019,” katanya kepada BeritaBenar.

“Yang penting adalah jangan sampai suasana itu berubah menjadi chaos. Itu akan menjadi prestasi sendiri.”

Pengamat politik dari Universitas Indonesia Boni Hargens mengaku tidak heran dengan aksi saling dukung kelompok buruh kepada bakal calon presiden.

“Belakangan lebih banyak memperjuangkan kepentingan politiknya ketimbang kepentingan buruh. Ini karena elit-elit gerakan buruh banyak berkecimpung di politik praktis ketimbang memperjuangkan kaum sendiri. Jadi tidak heran,” tegasnya.

Menurutnya, faksionalisasi di internal kelompok buruh sulit dihindari dan mereka semakin teralienasi.

“Bahkan buruh dimanfaatkan oleh para elit. Dari dulu begitu,” ujar Boni kepada BeritaBenar.

“Ada gerakan buruh yang murni tapi minoritas. Serikat-serikat buruh yang besar pasti ada agenda politik buat perebutan kekuasaan. Padahal buruh sebagai kelompok sosial harusnya jadi kelompok yang bisa menekan kelompok politik. Bukan sebaliknya,” ujar Boni.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.