Mencari Mekanisme Jaminan Keselamatan Jurnalis di Asia Tenggara

Laporan Indeks Kebebasan Pers 2017 menunjukkan dari 180 negara yang dievaluasi, 10 anggota ASEAN masih berada di bawah peringkat 100.
Ismira Lutfia Tisnadibrata
2017.05.02
Jakarta
170501_ID_WPFD_1000.jpg Dari kiri : Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo; Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara; Asisten Direktur Jenderal untuk Komunikasi dan Informasi UNESCO, Frank La Rue, dan Duta Besar Uni Eropa untuk ASEAN, Francisco Fontan Pardo dalam jumpa pers Hari Kebebasan Pers Dunia 2017 di Jakarta Convention Center, 2 Mei 2017.
Ismira Lutfia Tisnadibrata/BeritaBenar

Perlunya mekanisme regional untuk menjamin kebebasan pers dan keselamatan jurnalis di kawasan Asia Tenggara dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistik, menjadi salah satu hal yang dibahas pada hari kedua acara Hari Kebebasan Pers Sedunia (WPFD) 2017 yang dilaksanakan di Jakarta, 1-4 Mei 2017.

“Kami meyakini bahwa harus ada jaminan atas keselamatan jurnalis. Ini pesan yang selalu kami sampaikan di berbagai tempat di seluruh dunia,” kata Asisten Direktur Jenderal untuk Komunikasi dan Informasi UNESCO, Frank La Rue, dalam jumpa pers di Jakarta Convention Center, Selasa, 2 Mei 2017, menjelang peringatan WPFD yang diperingati setiap 3 Mei.

Sekitar 1.500 jurnalis dari 100 negara berkumpul di Indonesia yang menjadi tuan rumah WPFD tahun ini yang diselenggarakan atas kerjasama antara UNESCO, Pemerintah Indonesia, dan Dewan Pers.

Atnike Nova Sigiro, manajer program advokasi ASEAN di Forum Asia mengatakan bahwa mekanisme itu bisa mengadopsi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang mempunyai Pelapor Khusus untuk Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi.

“Ide yang diusulkan bisa juga menggunakan mekanisme regional yang sudah ada seperti Komisi Antar Pemerintah ASEAN untuk Hak Asasi Manusia atau membentuk mekanisme baru yang berbasis inisiatif organisasi masyarakat sipil,” ujar Atnike kepada BeritaBenar di sela-sela kegiatan WPFD 2017.

Anggota Dewan Pers Timor Leste, Hugo Maria Fernandes, menyimpulkan bahwa peserta dialog sepakat perlu membentuk mekanisme regional, tetapi seperti apa cara kerjanya masih menjadi perdebatan dan ada berbagai pilihan yang bisa diambil.

Salah satu bentuk yang diusulkan adalah mengadopsi mekanisme serupa dari kawasan lain, seperti Eropa.

“Namun mengadopsi mekanisme dari kawasan lain belum tentu berhasil karena ada perbedaan kondisi politik dan kapasitas, bahkan di antara negara-negara Asia Tenggara juga ada perbedaan tersebut,” ujarnya kepada BeritaBenar.

Tantangan lain

Tantangan lain yang dihadapi jurnalis di ASEAN adalah terkait data yang mereka pakai dalam laporan beritanya, ujar Jerald Joseph, komisioner di Komisi Hak Asasi Manusia Malaysia.

Menurutnya, wartawan di negara-negara anggota ASEAN menghadapi akibat yang tidak diharapkan atas pilihannya menggunakan data dari pemerintah, yang bisa saja dianggap salah oleh pihak lain atau sebaliknya.

“Itu bisa mempengaruhi kredibilitas jurnalis bila menggunakan data yang salah, atau bila menggunakan data tidak sesuai pemerintah, bisa dianggap menentang pemerintah,” ujarnya.

Selain itu, hukum juga bisa dimanipulasi untuk mengekang kebebasan pers dan ada rasa takut yang terus ditanamkan kepada media sehingga mereka memilih melakukan swasensor terhadap berita yang dipublikasikan agar tidak menyinggung penguasa.

“Ini adalah kenyataan situasi kebebasan berekspresi di Asia Tenggara. Situasinya sangat menantang dan akhirnya berakibat pada defisit informasi,” ujar Jerald.

Indeks kebebasan pers

Sementara itu, laporan Indeks Kebebasan Pers 2017 yang dikeluarkan Reporter Tanpa Batas (RWB) menunjukkan dari 180 negara yang tingkat kebebasan pers dievaluasi, kesepuluh negara anggota ASEAN masih berada di bawah peringkat 100.

Indonesia berada di peringkat 124 dan terbaik di ASEAN. Sedangkan Vietnam berada di peringkat 175 yang merupakan terburuk di ASEAN.

Timor Leste, yang belum menjadi anggota ASEAN, merupakan satu-satunya negara di kawasan Asia Tenggara yang posisinya di atas 100, yaitu pada peringkat 98.

Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo, mengatakan ada dua hal yang menyebabkan ancaman kekerasan terhadap wartawan, salah satunya karena masih banyak yang belum mengerti fungsi dan cara kerja pers.

“Bisa juga terjadi karena ketidakprofesionalan wartawan, karena itu kompetensi jurnalis menjadi penting. Perlu ada standar perilaku wartawan,” ujar Yosep dalam jumpa pers bersama Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara, dan La Rue.

Menurut Yosep, contoh wartawan yang tak profesional misalnya memaksa narasumber untuk wawancara ketika sudah menolak, karena itu standar perilaku wartawan menjadi penting selain kemampuan untuk memproduksi berita.

Saat ini ada 47 ribu media massa di Indonesia yang tercatat di Dewan Pers. Dari jumlah tersebut, 2.000 adalah media cetak, 1.500 media penyiaran dan 43 ribu media daring.

Rudiantara menegaskan bahwa pemerintah tidak intervensi kebebasan pers di Indonesia sejak era Reformasi dan dijamin oleh Undang Undang No 40 Tahun 1999 tentang Pers, namun mengingatkan wartawan Indonesia wajib menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

“Pers yang bebas dan demokratis harus diiringi dengan tanggung jawab,” ujarnya.

“Media harus melakukan verifikasi berita yang akan dipublikasikan. Meski kemerdekaan pers dilindungi undang-undang, pers juga dibatasi kode etik jurnalistik,” tambahnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.