Menlu Melawat ke Bangladesh Bicarakan Krisis Rohingya
2016.12.20
Dhaka

Menteri luar negeri (Menlu) Indonesia bertemu dengan Perdana Menteri Bangladesh dan pejabat lainnya di Dhaka hari Selasa untuk membahas penyeberangan lintas-batas Muslim Rohingya dari negara tetangga Myanmar. Ia juga mengunjungi kamp-kamp pengungsi di bagian tenggara Bangladesh di mana ribuan orang telah melarikan diri ke tempat itu dalam beberapa pekan terakhir.
Menlu Retno L.P. Marsudi tiba di Bangladesh sehari setelah menghadiri pertemuan para menteri luar negeri Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) di Yangon. Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi menggagas pertemuan itu untuk membahas krisis kemanusiaan sejak awal Oktober yang dipicu oleh kekerasan di negara bagian barat Rakhine, yang terletak di perbatasan dengan Bangladesh, di mana minoritas Rohingya Myanmar terkonsentrasi.
Menurut data pemerintah Myanmar, hingga pekan lalu hampir 90 orang telah tewas dalam kekerasan di Maungdaw seiring dengan dilancarkannya operasi militer tentara Myanmar setelah terjadi serangan mematikan yang diduga dilakukan oleh pemberontak Rohingya di pos jaga perbatasan pada 9 Oktober.
Secara terpisah, Human Rights Watch pada 13 Desember melaporkan bahwa analisis citra satelit menunjukkan anggota militer telah membakar setidaknya 1.500 rumah di desa-desa Rohingya di wilayah itu. Menurut Organisasi Migrasi Internasional (IOM), setidaknya 22.000 dari orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan di Myanmar itu telah menyeberang ke Bangladesh sejak awal Oktober.
Menurut Juru Bicara PM Sheikh Hasina, PM Bangladesh tersebut mengatakan kepada Retno bahwa warga Rohingya yang datang terakhir ini - yang ia disebut sebagai "warga negara Myanmar yang tidak berdokumen" - tidak bisa tinggal di Bangladesh dan bahwa pemerintah Bangladesh tidak akan membiarkan para pemberontak melancarkan serangan lintas-perbatasan kepada negara tetangga dari wilayahnya.
"Perdana Menteri kami yang terhormat dan Menteri Luar Negeri Indonesia yang terhormat membahas masalah yang sedang berlangsung di Myanmar. Perdana Menteri kami telah menjelaskan kepada Menlu Indonesia bahwa Myanmar harus menarik kembali semua warga negara Myanmar yang tidak berdokumen tersebut," kata Ihsanul Karim, sekretaris pers Hasina kepada BeritaBenar setelah kedua pemimpin perempuan tersebut bertemu Selasa malam.
Penjaga perbatasan Bangladesh mengatakan telah menghalau ratusan kapal yang membawa Rohingya melalui Sungai Naaf yang memisahkan kedua negara.
"[Hasina] mengatakan kepada Menlu Retno bahwa tidak ada kelompok pemberontak atau teroris yang diizinkan menggunakan Bangladesh sebagai basis untuk menyerang Myanmar atau [negara] lainnya," tambahnya.
PM Bangladesh juga menyatakan harapan agar negara-negara ASEAN bisa membantu Myanmar menyelesaikan krisis di Rakhine melalui dialog.
Pada pertemuan hari Senin di Myanmar, Menlu Malaysia Anifah Aman, yang pemerintahnya mengkritik pemerintah Suu Kyi dalam penanganan krisis Rohingya, menyerukan agar ke-10 negara ASEAN mengkoordinasikan upaya kemanusiaan untuk membantu masyarakat di Rakhine dan mendirikan badan independen untuk menyelidiki tuduhan pelanggaran hak asasi manusia di sana.
Tidak diakui
Menurut pejabat di kementerian luar negeri Bangladesh, Menlu Retno mendarat di Dhaka pada Selasa pagi dan mengadakan pembicaraan dengan mitranya Menlu Bangladesh Abul Hassan Mahmood Ali, sebelum ia terbang ke Cox Bazar, distrik di tenggara yang menjadi pusat pengungsi Rohingya dan para migran yang tidak berdokumen.
Retno mengunjungi kamp-kamp pengungsi di Kecamatan Ukhia, di mana ia bertemu dengan beberapa pendatang Rohingya.
"Kita harus bekerja lebih keras untuk pengungsi," kata Retno dalam sebuah pernyataan press release seperti dikutip di Metro TV News setelah kunjungannya ke Ukhia.
Seorang warga Rohingya dari salah satu kamp disana menggambarkan kunjungan Menlu Indonesia itu sebagai kesempatan untuk menyelesaikan krisis warga Rohingya.
"Myanmar membunuh kita dan Bangladesh menendang kita; kita tidak diakui. Jika Indonesia, Malaysia dan negara-negara lain menjadi sedikit murah hati, kita bisa menyelamatkan diri dari penyiksaan Moghs (Buddha Rakhine) dan para militer itu,” kata Mohammad Afzal kepada BeritaBenar melalui telepon. Laki-laki 45 tahun itu meninggalkan istri dan empat anak di Rakhine dan melarikan diri ke Bangladesh.