Menlu Retno Kunjungi Iran dan Saudi untuk Tawarkan Mediasi

Lenita Sulthani
2016.01.13
Jakarta
mediasi-620 Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi (berkerudung hijau) mengadakan pertemuan bilateral dan Menlu Iran Javad Zarif di Teheran, 13 Januari 2016.
Dok. Kementerian Luar Negeri RI

Menteri Luar Negeri Indonesia Retno LP Marsudi memulai misinya di Teheran, Iran, pada hari Rabu untuk mengadakan pertemuan bilateral dengan rekan kerjanya Menteri Luar Negeri Iran Javad Zarif, terkait konflik yang memanas antara negara itu dan Arab Saudi dan menawarkan mediasi.

Menlu Retno, yang minggu lalu ditunjuk sebagai Utusan Khusus Presiden untuk menengahi pertikaian itu, membawa surat dari Presiden Joko Widodo untuk disampaikan kepada pemimpin Iran dan Arab Saudi. Setelah mengunjungi Iran, Retno berencana melanjutkan kunjungan ke Arab Saudi.

Perseteruan antara kedua negara semakin memanas setelah Arab Saudi mengeksekusi ulama terkemuka Syiah Nimr Al-Nimr bersama 46 orang lainnya awal Januari lalu dan memicu pemutusan hubungan diplomatik antara kedua negara.

Sebelumnya Menteri Koordinator urusan Politik, Hukum dan Keamanan Luhut Pandjaitan mengatakan tujuan Presiden mengutus Menlu ke Timur Tengah adalah agar konflik ini tidak meluas dampaknya.

“Sekarang coba lihat dampak dari konflik Iran dan Saudi, harga energi turun sampai 20 US dolar dan bisa saja turun lagi. Amerika malah sudah berpikir untuk mengekspor energi. Ini jelas akan merubah landscape politik dunia. Nah, disini kita berperan sebagai negara Muslim terbesar di dunia,” ujar Luhut di kantornya Selasa.

Luhut menolak anggapan konflik ini sebagai konflik sektarian Sunni-Syiah.

Peran Indonesia harus jelas

Siti Mutia, Pengamat Timur Tengah dari Universitas Gajah Mada mengatakan, sebagai anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) Indonesia mempunyai hubungan baik dengan kedua negara. Sebagai negara berpenduduk mayoritas Muslim terbesar di dunia memang sudah selayaknya Indonesia melakukan inisiatif ini, namun harus ada kejelasan.

“Yang harus diperjelas adalah apa peran yang ditawarkan oleh Menlu Retno dalam hal ini. Apakah menjadi fasilitator atau mediator dan apa isi surat Presiden yang disampaikan kepada Iran dan Saudi Arabia,” kata Siti.

Jika menjadi mediator, menurutnya, Indonesia harus dipercaya oleh kedua negara. Hal ini dipandang sulit oleh Siti karena Indonesia tidak memiliki figur yang bisa dipercaya oleh Saudi maupun Iran sekaliber mantan Perdana Menteri Mohammad Natsir, untuk menjadi penengah.

Sedangkan jika menjadi fasilitator, Indonesia harus siap untuk menyediakan tempat, memilih dan mempersiapkan personil yang akan melakukan perundingan.

Mencegah teseret konflik Sunni-Syiah

Isi surat Presiden pun harus dijelaskan kepada publik, karena masalah ini sebenarnya adalah konflik antar negara. Tetapi, tambah Siti, karena Saudi berpenduduk mayoritas Sunni dan Iran mayoritas Syiah, hal ini bisa menimbulkan pro dan kontra di masyarakat.

“Jadi agenda apa yang akan dibawa Indonesia itu harus jelas, yang tidak kalah penting adalah mengkomunikasikan hal ini kepada masyarakat,” kata Siti.

Hal senada juga disampaikan Muhyiddin Junaidi, Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri Majelis Ulama Indonesia. Dia mengatakan pemerintah harus menjelaskan bahwa yang dilakukan Indonesia adalah mengambil peran sebagai sahabat kedua negara dan sebagai negara Muslim terbesar.

“Jangan sampai masyarakat kita yang bermacam-macam ini salah mengartikan bahwa Indonesia membela Syiah dan memusuhi Sunni. Yang sebenarnya tidak ada kaitan sama sekali, konflik ini adalah konflik antar negara,” kata Muhyiddin.

Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia dengan mayoritas penduduk Muslim Sunni. Sejumlah LSM perlindungan hak asasi manusia melaporkan dalam beberapa tahun terakhir kaum minoritas Syiah banyak menjadi korban kekerasan dan intimidasi di Indonesia.

Tantangan bagi Indonesia

Muhyiddin mengatakan, MUI berharap misi yang dijalankan Menteri Retno bisa membawa hasil karena artinya Indonesia - yang merupakan negara Muslim moderat dan tidak pernah punya masalah dengan negara-negara di jazirah tersebut - membuktikan diri mampu menengahi masalah di Timur Tengah.

Sementara itu Siti Mutia berharap Indonesia bisa membawa diri dengan baik karena menjadi penengah atau fasilitator sama-sama tidak mudah, terutama setelah semakin banyak negara Teluk sekutu Saudi yang ikut memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran.

“Bisa jadi negara-negara Barat dan negara-negara Islam lain menganggap Indonesia bukan kawan mereka,” tutup Siti.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.