Kapal Migran Sri Lanka di Aceh Tak Bisa Berlayar Lagi
2016.06.21
Banda Aceh and Jakarta

Kapal besi berukuran sekitar 17 x 5 meter yang mengangkut puluhan migran etnis Tamil, Sri Lanka, Selasa, 21 Juni 2016, mulai masuk air laut setelah beberapa hari lalu kandas di kawasan wisata pantai Kecamatan Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar.
Badai dan ombak besar yang melanda kawasan itu sehari sebelumnya telah membuat kapal berbendera India oleng dalam posisi miring 45 derajat. Ketika gelombang tinggi terjadi, air masuk ke kapal dan mesin sudah terendam sehingga tak bisa berlayar lagi.
Sebelumnya, pihak berwenang di Aceh berencana untuk menarik kapal yang membawa 44 migran Tamil, termasuk perempuan dan anak-anak, kembali ke tengah laut. Malahan Senin, 20 Juni 2016, kapal dua kali didorong dengan alat berat bekho, tapi kemudian kandas lagi.
Kepala Divisi Keimigrasian Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Provinsi Aceh, Achmad Samadan, mengatakan, akan berkoordinasi dengan pihak terkait untuk menangani migran tersebut.
“Kalau dilihat dari kondisi kapal sekarang, tidak memungkinkan ditarik,” katanya kepada wartawan.
Saat ditanya apakah kapal itu batal ditarik, Samadan menjawab belum tahu. Tapi ia juga memastikan bahwa keputusan pemerintah masih tetap sama yaitu menghalau kapal itu kembali ke perairan internasional.
“Mungkin ada opsi lain. Mungkin tak dengan ini, tapi dengan model lain,” ujarnya tanpa menjelaskan apa opsi lain tersebut. “Kita lihat situasi dan kondisinya terlebih dahulu.”
Ingin ke Australia
Ke-44 migran suku Tamil sejak Sabtu, 18 Juni 2016, ditampung di bawah tenda, yang tak jauh dari kapal. Mereka hanya tidur-tiduran. Anak-anak bermain dekat tenda. Makanan buat mereka disiapkan petugas dari pemerintah setempat.
Sudha (25) yang sedang hamil enam bulan, saat ditanya BeritaBenar, Senin, mengaku, mereka sudah sebulan mengarungi lautan Samudera Hindia setelah berangkat dari India dengan tujuan ke Australia untuk mencari penghidupan lebih baik.
Di tengah laut, ujar Sudha, kapten kapal melarikan diri sehingga mereka terombang-ambing, sampai akhirnya terdampar ke perairan Aceh.
Sudha mengaku mereka berasal dari Sri Lanka meski ia sendiri lahir di Tamil Nadu, India. Menurut dia, akibat perang saudara antara Macam Tamil dan pasukan pemerintah Sri Lanka membuat kedua orang tuanya harus mengungsi.
“Setahun setelah orang tua saya mengungsi ke Tamil Nadu, saya lahir,” tuturnya.
Dia menyebutkan, alasan menempuh bahaya dengan mengarungi lautan ke Australia karena ingin mengubah nasib.
“Warga Tamil sulit bisa bekerja dan kami tak mendapat identitas karena dianggap warga Sri Lanka,” katanya.
Sudha mengaku tahu kalau Pemerintah Australia tidak akan menerima para migran. Tapi dia dan suaminya tetap ingin pergi karena seorang abang iparnya sudah bekerja di sana.
“Abang ipar saya sudah tiga tahun berada di Australia. Dia juga dulu pergi dengan kapal seperti kami,” ujarnya.
Saat ditanya apakah mereka bersedia pulang ke India seperti keinginan pejabat di Aceh, Sudha mantap menjawab, “Kalau pulang ke sana tidak mungkin. Kami akan mati karena tidak ada yang dapat dikerjakan di Tamil Nadu.”
Tiga anak migran Sri Lanka bermain di depan tenda yang menampung mereka di pantai Lhoknga, Kabupaten Aceh Besar, 20 Juni 2016. (Nurdin Hasan/BeritaBenar)
Akses UNHCR dan IOM diberikan
Para migran dibolehkan turun ke darat setelah seminggu dibiarkan berada dalam kapal sejak terdampar di perairan Aceh pada Sabtu, 11 Juni 2016. Mereka diturunkan ke darat sambil menunggu perbaikan mesin dan beberapa bagian kapal yang keropos.
Malah Kamis sore, 16 Juni lalu, enam perempuan melompat dari kapal. Saat itu, seorang polisi sempat melepas sekali tembakan peringatan ke udara. Keenam migran kemudian disuruh naik lagi ke dalam kapal.
Mulai Selasa, pihak berwenang di Aceh telah memberi akses bagi staf Komisioner Tinggi PBB Urusan Pengungsi (UNHCR) dan petugas dari Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) bertemu para migran.
Dua staf UNHCR tampak berbicara dengan Sudha dan suaminya. Sedangkan, dokter dari IOM diperbolehkan memeriksa para migran yang mengeluh sakit.
Sebelumnya, otoritas berwenang tak memberikan akses kepada staf dari kedua lembaga itu meski sudah berada di lokasi sejak hari pertama kapal kandas. Penolakan staf UNHCR dan IOM untuk menemui migran Sri Lanka mendapat kecaman Amnesty Internasional.
Terkait diberikan akses kepada UNHCR dan IOM, Samadan mengatakan mereka akan mendata agar lebih lengkap para migran.
“Kita juga jadi tahu siapa ini sebenarnya. Jangan-jangan data yang kemarin diberikan kurang akurat,” kata dia.
Di Jakarta, Direktur Hak Asasi Manusia (HAM) di Kementerian Luar Negeri, Dicky Komar mengatakan, Senin, bahwa tim gabungan dari pemerintah pusat sudah berada di lokasi untuk mengobservasi situasi imigran Sri Lanka.
“Kami sedang mencoba mencari solusi terbaik untuk mereka. Kami terus bekerja sama dengan UNHCR dan IOM untuk menangani masalah pencari suaka dan pengungsi,” ujar Dicky.
Perwakilan UNHCR di Indonesia, Thomas Vargas yang ditanya BeritaBenar di Jakarta, Senin, mengharapkan pada pemerintah Indonesia memberikan akses untuk mendapat keterangan dari migran Sri Lanka mengenai situasi yang mereka hadapi.
“Kami berharap bisa dapat akses dan bisa berbicara dengan mereka untuk mencari tahu apakah mereka benar pencari suaka,” katanya.
Bila UNHCR diberi akses ke para imigran Sri Lanka ini, tambah Vargas, lembaga PBB itu dapat membantu pemerintah Indonesia dalam mencarikan solusi tepat atas masalah itu. Apalagi selama ini, Indonesia selalu memberi UNHCR akses bertemu pencari suaka dan imigran.