Danrem: Faksi MIT Ali Kalora Berniat Menyerahkan Diri
2021.05.24
Palu

Ali Kalora, pemimpin militan bersenjata Mujahidin Indonesia Timur (MIT) - kelompok di Sulawesi Tengah yang terafiliasi ISIS, yang menjadi buronan aparat keamanan, berniat menyerahkan diri, kata pejabat setempat.
Namun Ali Kalora, yang bernama asli Ali Ahmad, dan tiga anak buahnya belum mau turun gunung karena mendapat ancaman dari faksi MIT lainnya yang dipimpin Qatar alias Farel, kata Brigjen Farid Makruf, Danrem Tadulako, yang juga adalah wakil komandan Satgas Operasi Madago Raya.
Madago Raya adalah perpanjangan dari Tinombala, operasi dengan menerjunkan kesatuan TNI –Polri untuk menumpas anggota MIT yang oleh pemerintah anggotanya disebut tersisa sembilan orang.
Farid mengatakan informasi Ali Kalora bersama tiga pengikutnya berniat menyerahkan diri sudah diketahui beberapa waktu lalu setelah pihaknya menerima laporan intelejen.
“Sebenarnya Ali Kalora, Rukli, Suhardin alias Hasan Pranata, dan Ahmad Gazali alias Ahmad Panjang itu mau menyerahkan diri, namun mereka takut karena dapat ancaman dari Qatar,” terangnya kepada BenarNews, Senin (24/5).
Menurut Farid, Qatar mengancam jika Ali dan anak buahnya menyerahkan diri kepada Satgas Operasi Madago Raya, maka keluarga mereka yang berada di Poso akan dibunuh oleh Qatar.
“Karena ancaman itulah membuat Ali Kalora bersama tiga pengikutnya belum mau turun gunung,” tegasnya.
Saat ini lanjut Farid, MIT terpecah menjadi dua kelompok, di mana, kelompok lainnya dipimpin Qatar dengan pengikut empat orang yakni Abu Alim alias Ambo, Nae alias Galih, Askar alias Jaid alias Pak Guru dan Jaka Ramadan alias Ikrima alias Rama.
MIT pecah menjadi dua kelompok karena Ali dan Qatar sudah tidak satu pemahaman sepeninggalan Santoso, yang tewas dalam kontak senjata dengan Satgas Tinombala pada 2016 silam.
“Jadi, yang mau menyerahkan diri itu semua warga Poso. Sementara yang tidak mau menyerahkan diri itu warga Bima dan Serang,” kata Farid, merujuk pada kelompok dibawah pimpinan Qatar yang anggotanya berasal dari Nusa Tenggara Barat dan Banten.
“Kepada warga yang masih menjadi simpatisan MIT kami minta untuk tidak lagi berjuang untuk MIT. Jangan mau diadu domba dengan orang luar Poso. Apa lagi Ali Kalora bersama tiga anggotanya yang merupakan warga Poso mau menyerahkan diri,” tambahnya.
Sidney Jones, pakar terorisme dan direktur Institute for Policy Analysis of Conflict, mengaku belum menerima informasi bahwa kelompok Ali Kalora berniat menyerah.
“Ada saat-saat di masa lalu di mana MIT terpecah jadi beberapa faksi. Bisa saja salah satu faksi itu mungkin mau menyerah,” kata Jones kepada BenarNews.
Ia mengaku mendengar informasi bahwa Qatar yang membuat keputusan strategis di MIT, dan bukan Ali Kalora. “Qatar adalah pemimpin yang sebenarnya,” ujarnya.
Peneliti Lembaga Pengembangan Studi dan Hak Asasi Manusia (LPS-HAM) Sulteng, Mohammad Affandi menilai jika benar Ali Kalora bersama tiga anggotanya ingin menyerahkan diri, bisa jadi akan lahir pemimpin MIT baru.
“Bukannya Ali dan Qatar solid sebelumnya? Kenapa tiba-tiba pecah? Artinya ada pemimpin baru yang akan lahir ketika benar memang Ali mau menyerahkan diri,” kata Affandi, yang aktif meneliti terorisme di Sulteng, kapada BenarNews.
Menurutnya, jika Ali menyerahkan diri kepastian hukumnya harus jelas, termasuk keselamatan keluarganya.
“Saat diproses hukum semuanya harus terbuka sehingga semua orang bisa tahu seperti apa MIT dan bagaimana jaringan mereka, siapa pemasok senjata, dan siapa pendana,” ujarnya.
Menurut Affandi sepengetahuan dia belum pernah ada anggota MIT menyerahkan diri.
Jamin keselamatan
Kabid Humas Polda Sulteng Kombes Didik Supranoto mengatakan sampai saat ini Polda belum menerima laporan tentang niat menyerahnya faksi MIT pimpinan Ali Kalora.
“Informasinya kan dari laporan intelejen TNI, kalau itu benar adanya kita tinggal menunggu saja,” kata Didik kepada BenarNews.
“Kami jamin keselamatan Ali Kalora cs jika benar-benar mau menyerahkan diri. Setalah itu baru kita proses hukum karena kita berada di dalam negara hukum,” tambahnya.
Didik menambahkan saat ini operasi untuk menangkap anggota MIT masih dilakukan di wilayah hutan dan pegunungan Poso, Parigi Moutong, dan Sigi.
Edwin Partogi Pasaribu, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengimbau agar mereka yang masih bergerilya di hutan dan pegunungan Poso menyerahkan diri.
“Mereka berpotensi menjadi JC (Justice Collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama) dan dapat dilindungi LPSK sesuai dengan ketentuan perundang-undangan,” terangnya saat melakukan kunjungan kerja di Poso, Jumat.
Jangan abaikan hak
Direktur Celebes Institute, Adriani Badra, yang melakukan pendampingan dan penelitian kasus kekerasan di Poso menyambut baik jika benar ada anggota MIT yang menyerah.
“Masyarakat pasti akan senang, khususnya masyarakat yang bermukim di wilayah operasi,” ujarnya saat dihubungi BenarNews.
Namun menurut Adriani, saat ini masih ada keluarga korban teror MIT yang belum menerima haknya.
“Nah, terkait hak itu harus menjadi perhatian. Karena adanya operasi perburuan MIT harapannya pasca konflik komunal di Poso semuanya bisa berjalan dengan baik, namun faktaknya itu tidak terjadi,”
Adriani menambahkan, selama operasi berlangsung di Poso lebih tepat jika disebut sebagai operasi counter insurgency (operasi lawan gerilya) karena dilihat dari jumlah personel yang diturunkan dan lamanya waktu operasi.
“Maka terkait informasi yang telah beredar luas tentang terpecahnya kelompok Ali Kalora cs kemungkinan bisa dua yaitu itu benar, atau itu hanya sebagai strategi counter gerilya,” ujarnya.