Ketika Dua Politisi Milenial Membongkar Mitos Generasi
2019.02.01
Jakarta

Faldo Maldini dan Tsamara Amany Alatas adalah dua politisi muda dari kelompok umur 21-35 tahun, yang dikenal sebagai kaum milenial dan dianggap menjadi pemilih kunci dalam pemilihan umum dan pemilihan presiden 17 April nanti.
Mereka mewakili dua kubu politik berbeda.
Faldo adalah politisi Partai Amanat Nasional (PAN) mewakili pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, sedangkan Tsamara dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) mewakili kubu calon petahana Joko Widodo dan calon wakil presidennya Ma’ruf Amin.
Tapi, perbedaan ini justru sering menyatukan mereka dalam satu panggung di berbagai program televisi atau forum diskusi mengenai politik yang banyak digelar jelang pemilu, karena keduanya ditugaskan sebagai salah seorang juru bicara kubu masing-masing.
Saat ada persepsi umum yang menyebutkan kelompok milenial apatis dan cenderung tak tertarik politik, mereka justru mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) periode 2019-2024.
Faldo, yang terjun ke politik sejak 2015 dan sekarang menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jenderal PAN, mencalonkan diri sebagai wakil rakyat untuk daerah pemilihan Kabupaten Bogor.
Sementara Tsamara, yang berusia 22 tahun dan menjabat ketua dewan pimpinan pusat PSI, maju dari daerah pemilihan Jakarta II terdiri dari Jakarta Pusat, Jakarta Selatan dan Luar Negeri.
“Saya merasa ini panggilan dan bisa berbuat banyak untuk masyarakat, dibandingkan bila saya terjun sebagai pengusaha, sebagaimana umumnya orang Padang,” ujar Faldo yang lahir di Padang, Sumatra Barat, 28 tahun lalu, kepada BeritaBenar di sela diskusi mengenai keterlibatan kelompok milenial dalam politik yang diselenggarakan Kedutaan Australia di Jakarta, 29 Januari 2019.
Sedangkan Tsamara mengaku punya ruang gerak lebih luas untuk menjalankan visinya, seperti membasmi korupsi, sebagai politisi partai baru yang belum banyak dikenal dan berelektabilitas rendah, dibanding bergabung ke partai besar yang sudah mapan.
“Saya pilih PSI karena sesuai dengan nurani. Buat apa lolos parlemen kalau partai saya mencalonkan mantan narapidana korupsi,” ujar Tsamara yang menjadi pembicara di forum yang sama.
Berbagai survei menunjukkan PSI adalah salah satu partai bersama sebagian besar partai lain dengan elektabilitas endah dan tidak memenuhi ambang batas parlemen 4 persen.
Namun Tsamara mengklaim elektabilitas PSI terus naik dan angka terakhir menunjukkan elektabilitas partai yang baru pertama kali berkompetisi di pemilu sudah 2,2 persen.
Sebagai politisi muda, keduanya memenuhi kriteria yang dianggap mendefinisikan kaum milenial: kelas menengah, urban, mahir berteknologi menggunakan internet, berbagai gawai dan aplikasi, bepergian ke luar negeri, dan berpendidikan perguruan tinggi.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, mengatakan dari 56 persen caleg yang diketahui umurnya, ada 21 persen yang berusia milenial antara 21-35 tahun.
Mitos milenial, berlebihan
Ross Tapsell, peneliti media dari Australian National University (ANU) menilai mitos milenial yang beredar di media adalah berlebihan.
Hasil penelitian ANU tahun 2018 menemukan hanya 10 persen dari kelompok milenial Indonesia yang menjadi respondennya lulus S1 dan 15 persen hanya atau belum lulus SD serta 50 persen dari mereka hanya makan dua kali sehari karena kesulitan ekonomi.
“Ada proporsi besar dari kelompok ini, misalnya yang perempuan, yang berada dalam kemiskinan dan hanya tinggal di rumah menjadi ibu rumah tangga,” ujarnya.
Temuan ini konsisten dengan kondisi Indonesia, dimana pernikahan dini masih umum terjadi dan banyak perempuan yang menjadi ibu di usia muda, bahkan sudah menjadi janda atau menikah untuk kedua kalinya pada awal usia 20-an.
“Jangan berpikir semua milenial ada di media sosial, dan sentimen yang ada di media sosial tidak mewakili suara kelompok milennial,” tambah Tapsell.
Faldo mengaku juga menemukan hal yang sama ketika turun lapangan untuk kampanye yang sehari bisa mencapai 10-15 titik, sehingga dia tidak mengkhususkan menargetkan kelompok milenial.
Menurutnya, di daerah pemilihannya yang terdiri dari wilayah perkotaan dan pedesaan, ada perbedaan aspirasi kaum muda berdasarkan karakteristik daerah.
“Sebagian besar memang isunya lapangan kerja. Tapi yang selanjutnya adalah lapangan kerja yang seperti apa,” ujar Faldo.
Dia memberikan contoh aspirasi di timur Bogor, dimana banyak pabrik seperti Cileungsi, lebih memilih lapangan kerja di sektor industri, tapi mereka yang tinggal di Puncak yang dikenal sebagai wilayah wisata dan perkebunan teh, lebih memerlukan bantuan modal wiraswasta.
Tsamara mengatakan walaupun dirinya menjadi calon wakil rakyat di wilayah yang kerap diidentikkan dengan kaum milenial, hasil turun lapangan menunjukkan bahwa kelompok ini tidak selalu terlibat di media sosial.
Media sosial hanya sampai tahap kesadaran semata, tapi untuk keterlibatan tetap harus interaksi langsung karena tak semua isu yang dibicarakan dengan mereka harus dengan label milenial.
“Isu nomor satu yang jadi perhatian mereka adalah lapangan pekerjaan,” ujar Tsamara.
Menurut Tapsell, definisi milenial lebih merupakan hasil “konstruksi budaya” dan salah bila menempatkan mereka sebagai satu blok besar berdasarkan umur atau menganggap ini adalah masa depan Indonesia.
“Jadi kita tidak bisa menempatkan milenial dalam satu kelompok,” pungkasnya.