MK Diminta Batalkan Pasal Kontroversial Dalam UU MD3

Hakim Suharyoto yang memimpin persidangan mengatakan akan membawa permintaan para pemohon ke rapat majelis hakim MK.
Arie Firdaus
2018.03.21
Jakarta
180321-MD3-620 Kuasa hukum pemohon uji materi UU MD3, Irman Putra Sidin, berbicara kepada wartawan usai sidang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 21 Maret 2018.
Arie Firdaus/BeritaBenar

[Diperbarui 22 Maret 2018; pukul 11:47 WIB]

Mahkamah Konstitusi (MK) diminta membatalkan sejumlah pasal kontroversial yang termaktub dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) yang baru sepekan berlaku.

Permintaan itu diajukan organisasi masyarakat Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK), Jaringan Advokasi Rakyat Solidaritas Partai Solidaritas Indonesia (PSI), dan dua mahasiswa Universitas Indonesia.

"Memohonkan kepada majelis hakim Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 73 ayat 3, 4, 5, dan 6 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tak memiliki kekuatan hukum tetap," kata kuasa hukum FKHK, Irman Putra Sidin dalam persidangan di gedung MK, Jakarta, Rabu, 21 Maret 2018.

Pasal 73 secara umum berbunyi kewenangan DPR melakukan panggilan paksa terhadap pihak yang mangkir dari tiga panggilan berturut-turut, dengan bantuan kepolisian, serta hak untuk menyandera pihak yang menolak panggilan itu selama 30 hari.

FKHK dan pemohon lain juga memohon majelis hakim MK untuk membatalkan Pasal 122 huruf L, berisi kewenangan DPR menempuh langkah hukum terhadap pihak-pihak yang dianggap merendahkan kehormatan DPR dan anggotanya; serta Pasal 245 ayat 1 tentang kewajiban aparat penegak hukum yang hendak memeriksa anggota dewan, untuk mendapatkan pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dahulu, sebelum mendapatkan persetujuan tertulis dari presiden.

"Pasal 245 ayat 1 itu membuat ketidakpastian hukum. Bagaimana jika MKD tidak mengeluarkan pertimbangan?" tambah Irman.

"Padahal merujuk putusan MK pada 2014, persetujuan presiden itu harus diterbitkan dalam waktu singkat."

Hal sama disampaikan kuasa hukum pemohon Jaringan Advokasi Rakyat Solidaritas PSI, Komarudin, yang menilai keberadaan pasal-pasal kontroversial itu berpotensi membuat DPR menjadi antikritik dan sulit disentuh hukum, sehingga layak dibatalkan.

"Karena anggota DPR yang terlilit kasus hukum tidak bisa diminta keterangan,” katanya.

Otomatis berlaku

UU MD3 otomatis berlaku sejak Kamis pekan lalu, kendati tidak ditandatangani Presiden Joko "Jokowi" Widodo.

Regulasi menyebutkan, aturan yang telah disahkan DPR resmi berlaku sebagai undang-undang meski tidak ditandatangani presiden setelah 30 hari.

Dalam sejumlah kesempatan, Jokowi sempat menyatakan memang tak ingin meneken aturan tersebut, dengan alasan memahami keresahan masyarakat.

Pasalnya, pemerintah awalnya hanya menyetujui revisi UU itu perihal penambahan kursi pimpinan MPR dan DPR, dan bukan penambahan hak anggota DPR, semisal kewenangan pemanggilan paksa dan penyanderaan atau kewajiban pertimbangan MKD untuk pemeriksaan.

Jokowi pun mengaku tidak mendapat laporan tentang perkembangan pembahasan aturan tersebut dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly.

Pengamat dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia, Lucius Karus, menilai pernyataan Presiden Jokowi sebagai pencitraan, karena tidak mungkin pembahasan UU berlangsung sepihak oleh DPR, tanpa melibatkan pemerintah.

"Kalau pun direspons seharusnya sejak awal, sebelum disahkan. Bukan justru setelah ramai-ramai ditolak, baru merasa keberatan," kata Lucius kepada BeritaBenar.

"Lagipula, tidak mungkin menteri sebagai pembantu presiden, tidak melapor."

Lain lagi pernyataan Direktur Eksekutif Indonesia Political Review, Ujang Komarudin, yang menilai Menteri Yasonna bisa saja tidak melaporkan pasal-pasal kontroversial kepada Jokowi sebagai siasat mengamankan kepentingan partai meskipun keduanya berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).

"Untuk posisi tawar partai, bisa saja," kata Ujang.

"Tapi di sisi lain, ia bisa juga memainkan peran sebagai pelindung citra Jokowi yang lepas tangan."

BeritaBenar coba menghubungi Yasonna untuk konfirmasi, tapi tidak beroleh balasan.

Hakim Suhartoyo memimpin sidang uji materi UU MD3 di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 21 Maret 2018. (Arie Firdaus/BeritaBenar)
Hakim Suhartoyo memimpin sidang uji materi UU MD3 di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 21 Maret 2018. (Arie Firdaus/BeritaBenar)

Dibahas rapat majelis

Hakim Suharyoto yang memimpin persidangan mengatakan akan membawa permintaan para pemohon ke rapat majelis hakim MK.

"MK akan re-check dulu," katanya, yang dalam persidangan didampingi dua hakim lain, I Dewa Gede Palguna dan Saldi Isra.

Hanya saja, Suharyoto tidak memerinci kapan sidang lanjutan bakal digelar.

Sebelumnya, Ketua DPR, Bambang Soesatyo menyatakan, UU MD3 untuk meningkatkan pengawasan terhadap kinerja pemerintah karena DPR sering kesulitan menindaklanjuti keluhan masyarakat.

"Dalam perjalanannya yang kami lakukan, sering kali masalah timbul ketika pemerintah dipanggil DPR tapi enggak datang," katanya, akhir pekan lalu seperti dikutip dari laman Kompas.com.

"Saya pastikan siapapun yang mengkritik DPR tidak akan ada yang dikriminalisasi atau dibawa ke ranah hukum," kata Bambang seperti dilansir Tempo.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.