Hakim MK: Indonesia sedang tidak baik-baik saja
2023.10.25
Jakarta

Salah seorang hakim Mahkamah Konstitusi Arief Hidayat menilai kehidupan Indonesia, termasuk sistem ketatanegaraannya, saat ini tidak dalam kondisi baik karena kekuasaan terpusat di tangan-tangan tertentu.
Arief yang merupakan seorang dari empat hakim Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak perubahan aturan batas usia minimal pencalonan presiden dan wakil presiden bahkan menyebut fenomena tersebut lebih buruk dibandingkan dengan Orde Baru.
"Ada indikasi pertanyaan apakah Indonesia saat ini sedang baik-baik saja atau tidak? Saya mengatakan, di berbagai sektor kehidupan bangsa Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Oleh karena itu harus hati-hati betul," kata Arief dalam Konferensi Hukum Nasional yang diselenggarakan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia di Jakarta, Rabu (25/10).
Rezim Orde Baru yang dipimpin Suharto selama 32 tahun, terang Arief, bahkan masih memiliki pembagian kekuasaan berdasarkan trias politica yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Namun saat ini, kata dia, pihak yang memimpin disebutnya memiliki banyak kaki dan tangan di ketiga bidang tersebut.
"Dia menguasai, mempunyai tangan-tangan di eksekutif, legislatif, yudikatif. Dia juga mempunyai partai politik sekaligus dia juga mempunyai media massa. Dia juga sebagai pengusaha besar yang mempunyai modal. Itu di satu tangan atau beberapa orang gelintir saja," kata Arief lagi.
"Bayangkan. Di era Suharto, di era Orde Lama atau Orde Baru sekalipun itu tidak ada kekuatan yang terpusat di tangan-tangan tertentu. Ini tidak pernah terjadi di zaman Suharto, bahkan di zaman Pak SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) belum tampak betul seperti di zaman sekarang," ujarnya, seraya menyebut MK tengah dilanda prahara menyusul pengabulan perubahan aturan batas usia minimal pencalonan presiden dan wakil presiden.
MK pada Senin pekan lalu memutuskan bahwa warga negara yang pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah dapat mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden meskipun mereka berusia di bawah 40 tahun – aturan sebelumnya hanya mensyaratkan berusia minimal 40 tahun tanpa embel-embel "pernah atau sedang menjabat kepala daerah".
Keputusan tersebut kemudian membuka jalan lapang bagi putra sulung Presiden Joko "Jokowi" Widodo, Gibran Rakabuming Raka yang masih berusia 36 tahun untuk maju ke dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. Gibran saat ini masih menjabat Wali Kota Solo di Jawa Tengah.
Prabowo secara resmi mengumumkan Gibran sebagai calon wakil presiden enam hari usai keputusan tersebut disahkan MK.
Keduanya kemudian secara resmi mendaftarkan diri sebagai pasangan calon presiden dan wakil presiden ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) hari ini, di tengah tudingan beragam pihak atas upaya dinasti politik yang dibangun Jokowi.
"Saya sebetulnya datang ke sini agak malu saya pakai baju hitam. Karena saya sebagai hakim konstitusi sedang berkabung, karena di MK baru saja terjadi prahara," ujarnya.
Keputusan menerima gugatan perubahan aturan batas usia minimal pencalonan presiden dan wakil presiden memang memantik silang pendapat di antara majelis hakim konstitusi.
Wakil Ketua MK Saldi Isra bahkan menilai keputusan MK yang mengubah aturan batas usia pencalonan presiden dan wakil presiden sebagai "peristiwa aneh".
Dia mencatat bahwa pengadilan pada hari yang sama menolak enam petisi serupa, dengan alasan bahwa batasan usia adalah hak prerogatif badan legislatif selaku pembuat undang-undang.
Sementara kubu penerima berpendapat pejabat negara yang berpengalaman sebagai kepala daerah baik tingkat satu atau tingkat dua serta anggota parlemen pusat dan daerah sesungguhnya layak untuk berpartisipasi dalam kontestasi pimpinan nasional sebagai calon presiden dan calon wakil presiden dalam pemilu, meskipun berusia di bawah 40 tahun.
Salah satu hakim konstitusi yang termasuk dalam kubu yang mengabulkan gugatan tersebut adalah Ketua MK Anwar Usman yang juga saudara ipar Presiden Jokowi.
Melanggengkan otoritarianisme
Ketua Dewan Nasional SETARA Institute, Hendardi mengamini pernyataan Arief, dengan menyebut pemerintahan saat ini memang dapat dianggap lebih buruk dalam melanggengkan kekuasaan dan menjalankan otoritarianisme.
Hendardi merujuk penyalahgunaan lembaga peradilan seperti MK yang dipakai untuk melanggengkan kekuasaan secara demokratis.
"Saat Orde Baru diperagakan terang-terangan, tapi otoritarianisme saat ini dipermak seolah-olah demokratis dengan menggunakan lembaga peradilan," kata Hendardi kepada BenarNews.
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes menambahkan bahwa kondisi demokrasi Indonesia memang dapat dikatakan tidak baik sepanjang sembilan tahun kepemimpinan Jokowi.
Sebelum keputusan MK yang mengubah batas usia minimal pencalonan presiden dan wakil presiden, Arya merujuk kepada manuver penggaungan wacana perpanjangan masa jabatan presiden atau perubahan tiga periode dan pernyataan yang menyebut bahwa Jokowi memiliki informasi intelijen terkait manuver partai-partai politik.
"Dalam demokrasi, ya, kita memang tidak baik-baik saja. Penggunaan instrumen pemerintahan untuk mencapai tujuan tertentu," ujarnya kepada BenarNews.