MK tolak permohonan penggunaan ganja untuk medis
2022.07.20
Jakarta

Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (20/7) menolak permohonan uji materi terhadap undang-undang narkotika yang dapat membuka jalan penggunaan ganja untuk tujuan medis, namun menyarankan pemerintah untuk mulai serius meneliti pemanfaatan ganja untuk keperluan pengobatan.
Majelis yang berisi sembilan hakim konstitusi juga menyarankan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk merevisi aturan tentang narkotika jika ingin melegalisasi ganja untuk keperluan kesehatan.
Permohonan ke MK didaftarkan pada November 2020 oleh sejumlah organisasi kemasyarakatan sipil dan tiga orang perempuan yang anaknya menderita cerebral palsy atau kelumpuhan otak.
Pemohon yang terdiri dari Santi Warastuti. Dwi Pertiwi, dan Nafiah Murhayanti meminta MK untuk membolehkan penggunaan ganja yang diklasifikasikan narkotika Golongan I untuk kepentingan medis serta menyatakan bahwa beleid yang memuat hukuman bagi penggunaan ganja untuk kepentingan medis inkonstitusional.
Sesuai UU Narkotika, ganja yang termasuk golongan I hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian dalam jumlah terbatas, itu pun harus seizin menteri kesehatan. Mereka yang melanggar bakal dipenjara maksimal 12 tahun.
Dalam pertimbangan penolakan, Ketua MK Anwar Usman menilai lembaganya tidak berwenang mengadili materi yang dimohonkan karena bukan kewenangan MK.
"MK tidak berwenang mengadili materi karena itu bagian dari kebijakan terbuka DPR dan pemerintah, untuk mengkaji apakah benar ganja memang bisa digunakan untuk medis," kata Anwar dalam persidangan yang disiarkan Youtube MK.
Dalam pertimbangan lanjutan, anggota majelis hakim konstitusi Suhartoyo menambahkan bahwa narkotika Golongan I memiliki potensi ketergantungan tinggi sehingga hanya baru diperuntukkan untuk ilmu pengetahuan.
"Pembatasan pemanfaatan tidak terlepas dari pertimbangan bahwa narkotika golongan I mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan," ujar Suhartoyo.
Sampai saat ini belum pula ada pengkajian dan penelitian komprehensif yang menunjukkan narkotika Golongan I seperti ganja bisa digunakan untuk terapi kesehatan di Indonesia, kata Suhartoyo.
Namun lanjut Suhartoyo, "Mahkamah perlu menegaskan agar pemerintah segera menindaklanjuti putusan a quo (tersebut), berkenaan dengan pengkajian dan penelitian narkotika golongan I untuk keperluan kesehatan atau terapi."
Salah seorang pemohon Dwi Pertiwi mengaku tidak kaget dengan penolakan MK, namun ia berharap pemerintah dapat memberikan solusi atas permasalahan kesehatan penderita cerebral palsy.
"Ketika ini (ganja) tidak bisa digunakan, apa dong solusinya?" kata Dwi yang anaknya Musa telah meninggal dunia akibat penyakit tersebut pada Desember 2020 di usia 16 tahun.
Dwi mengaku sang anak telah merasakan manfaat terapi ganja saat berobat di Australia pada 2016 dengan tidak lagi mengalami kejang-kejang. Ketika sang anak tak lagi menjalani terapi ganja, dia bisa mengalami kejang-kejang 2-3 kali sepekan, ujarnya.
Minta solusi
Pemohon lain Santi Warastuti meminta pemerintah memberikan alternatif solusi untuk pengobatan cerebral palsy, mengingat kalau pun riset dilakukan, hasil tidak akan keluar dalam waktu singkat.
"Kami, orang tua anak berkebutuhan khusus, kan berpacu dengan waktu. Pemerintah harus punya jalan keluar lain... Bukan cuma riset yang diharapkan, tapi solusi sambil menunggu," kata Santi dalam keterangan pers.
Para pemohon sempat menghadirkan enam orang ahli dari luar negeri untuk menguatkan permohonan mereka, termasuk dari Thailand yang merupakan satu-satunya negara Asia yang melegalisasi ganja untuk campuran makanan dan minuman sejak 9 Juni 2022.
Sejak 2018, Thailand sudah terlebih dahulu melegalkan ganja untuk keperluan medis.
Namun anggota hakim konstitusi Daniel Yusmic Pancastaki Foekh berdalih keberhasilan sejumlah negara memanfaatkan narkotika golongan I untuk pelayanan kesehatan belum cukup dijadikan landasan hukum pemanfaatan di Indonesia, dengan alasan perbedaan budaya masyarakat dan prasarana yang dibutuhkan.
"Walau banyak penderita penyakit tertentu dapat disembuhkan dengan pemanfaatkan narkotika golongan tertentu, namun hal itu tidak berbanding lurus dengan besar akibat yang ditimbulkan apabila tidak ada persiapan terkait struktur dan budaya hukum masyarakat," ujarnya
Salah seorang kuasa hukum pemohon dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat, Ma'ruf Bajammal, mengatakan banyak penelitian di luar negeri maupun yang dirilis badan di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dapat dijadikan dasar rujukan penelitian, salah satunya kajian Expert Committee on Drugs Dependence pada 2019.
"Pemerintah harus bisa memberikan solusi kepada anak-anak penderita cerebral palsy, khususnya yang membutuhkan pengobatan spesifik seperti terapi minyak ganja," kata Maruf kepada BenarNews.
"Korban imkompetensi pemerintah"
Direktur Eksekutif Institute of Criminal Justice Reform, Erasmus Napitupulu, menilai para pemohon telah menjadi korban inkompetensi pemerintah dalam menyiapkan fasilitas kesehatan bagi masyarakat.
"Dari pernyataan MK tersebut, ketiga ibu ini harus mengemban kondisi yang ada akibat orang-orang yang berkuasa tidak becus memastikan jaminan kesehatan," ujar Erasmus kepada BenarNews.
Dikutip dari bisnis.com, anggota komisi hukum DPR Arsul Sani mengatakan, parlemen sejatinya telah mulai membahas perubahan aturan penggunaan ganja untuk keperluan medis, tanpa merinci sejauh mana pembahasan tersebut berlangsung.
"Kami usulkan pasalnya itu nanti berbunyi kira-kira seperti ini, ‘narkotika Golongan I dapat dipergunakan untuk keperluan pelayanan kesehatan dengan syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam satu peraturan perundangan’," kata Arsul.
Mengenai bentuk peraturan yang disiapkan, apakah berbentuk peraturan pemerintah, peraturan presiden, atau peraturan menteri kesehatan, Arsul belum memastikan.
Kepala Badan Narkotika Nasional, Petrus Golose, dikutip dari kantor berita Antara, menyambut baik putusan MK dengan menyebut bahwa penyalahgunaan ganja di Indonesia tergolong besar, mencapai 41,6 persen.