MK tolak perubahan usia minimal, Gibran bebas hambatan jadi cawapres
2023.11.29
Jakarta

Mahkamah Konstitusi pada Rabu (29/11) menolak uji materi batas usia pencalonan presiden dan wakil presiden yang kembali digugat salah seorang mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama, memantapkan putra sulung Presiden Joko “Jokowi” Widodo, Gibran Rakabuming Raka bersaing dalam Pemilu 2024.
Perumusan dan pembacaan putusan persidangan berlangsung tanpa keikutsertaan mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Anwar Usman, yang dicopot dari jabatannya sebagai ketua oleh Majelis Kehormatan MK pada 7 November 2023.
Anwar yang merupakan ipar Jokowi juga dilarang Majelis Kehormatan MK untuk terlibat perkara terkait pemilihan umum buntut dari tindakan dia sebelumnya yang dinilai mempengaruhi keputusan mahkamah tersebut sehingga Gibran dapat maju sebagai calon wakil presiden.
Dalam gugatannya, pemohon yang bernama Brahma Aryana menilai perubahan pasal yang mengatur batas usia minimal pencalonan presiden yang dikabulkan MK pada 16 Oktober 2023 bertentangan dengan undang-undang dan meminta persidangan ulang perkara tersebut dengan susunan hakim berbeda karena Majelis Kehormatan MK telah memvonis Anwar melakukan pelanggaran etik berat dengan ikut menyidangkan perkara tersebut.
Dia juga meminta perubahan frasa “sepanjang pernah atau sedang menjabat kepala daerah” yang ditetapkan pada Oktober itu diganti menjadi “yang dipilih melalui pemilihan kepala daerah tingkat provinsi”, sehingga hanya warga negara yang pernah atau sedang menjabat gubernur dan wakil gubernur yang berhak diusung sebagai calon presiden dan wakil presiden.
Hakim konstitusi Daniel Yusmic Pancastaki Foekh dalam pertimbangan putusan berpendapat bahwa mahkamah tidak berhak mengubah ketentuan batas usia minimal pencalonan karena merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.
“Banyak varian (batas usia minimal) dimaksud dengan berbagai macam argumentasi, tapi Mahkamah tidak dapat dan tidak mungkin akan menentukan batas usia minimal,” kata Daniel.
“Perubahan batasan usia minimal untuk menjadi calon presiden dan wakil presiden adalah kewenangan pembentuk undang-undang untuk menentukannya.”
Dengan demikian, Ketua MK Suhartoyo mengatakan dalam putusan: “Menolak permohonan untuk seluruhnya.”
Mengenai permohonan persidangan ulang untuk perkara yang disidangkan pada 16 Oktober, Daniel menambahkan bahwa perihal tersebut tidak mungkin dilaksanakan lantaran Majelis Kehormatan MK tidak menyatakan putusan tersebut cacat hukum dan tetap mengikat secara hukum.
“Tidak ada pilihan lain bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat, sejalan dengan pendirian MKMK (Majelis Kehormatan Mahkamah Konsitusi) dalam Putusan Nomor 2/2023,” kata Daniel, merujuk nomor perkara pada 16 Oktober itu.
Putusan MK yang merevisi beleid batas usia pencalonan presiden dan wakil presiden dengan menambahkan frasa “sepanjang pernah atau sedang menjabat kepala daerah” meski belum berusia 40 tahun memang melapangkan jalan Gibran untuk menjadi calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto.
Gibran yang kini masih berusia 36 tahun memenuhi kualifikasi lantaran ia menjabat Wali Kota Surakarta.
Gugatan kala itu didaftarkan seorang mahasiswa Universitas Surakarta Almas Tsaqibbirru yang mengaku terinsipirasi sosok Gibran.
Putusan melapangkan jalan Gibran kala itu didukung oleh lima dari sembilan hakim, sementara empat lainnya menyampaikan pendapat berbeda (dissenting opinion).
Salah satu hakim yang menolak, Saldi Isra, menilai keputusan MK yang mengubah aturan batas usia pencalonan presiden dan wakil presiden sebagai "peristiwa aneh" karena pengadilan pada hari yang sama sempat menolak enam permohonan serupa dengan alasan bahwa batasan usia adalah hak prerogatif badan legislatif.
Selain mendengarkan gugatan Almas Tsaqibbirru, MK pada hari itu memang juga memutuskan enam gugatan penurunan batas usia calon presiden dan wakil presiden yang didaftarkan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Garuda, dan sejumlah kepala daerah.
Namun selain gugatan Almas, semua gugatan lain ditolak MK dengan alasan tidak beralasan menurut hukum.
Pengajar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai MK semestinya menyadari sedari awal bahwa mereka bukan pembentuk undang-undang sehingga tidak melahirkan keputusan kontroversial seperti pada Oktober.
“Seharusnya sejak awal MK menempatkan diri bukan sebagai pembuat undang-undang sehingga perubahan kata yang signifikan yang dikhawatirkan ditumpangi kepentingan tertentu seperti perubahan syarat umur wakil presiden pada putusan yang lalu tidak terjadi,” ujar Fickar kepada BenarNews.
“Tapi begitulah, karena ada muatan kepentingan tertentu mengorbankan prinsip objektivitas dan independensi. Itu pengorbanan yang sangat mahal.”
Selain uji materi di MK, pengusungan Gibran sebagai calon wakil presiden juga berujung gugatan ke banyak lembaga.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mochamad Afifuddin kemarin mengatakan terdapat sejumlah gugatan terhadap KPU di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, salah satunya perdata yang menuntut KPU membayar ganti rugi Rp70,5 triliun.
Gugatan yang menilai KPU melakukan perbuatan melawan hukum karena menerima pencalonan Gibran itu belakangan ditolak majelis hakim PN Jakarta Pusat.
Ada pula dua gugatan lain ke PN yang sama, namun majelis hakim sampai saat ini belum memeriksa perkara tersebut, kata Afifuddin.
Kuasa hukum Perhimpunan untuk Pemilu dan Demokrasi, Ibnu Syamsu Hidayat, menilai beragam gugatan yang diterima KPU akibat pengusungan Gibran menunjukkan bahwa publik sudah memahami bahwa terdapat kongkalikong politik penguasa dalam peristiwa tersebut.
“Ini efek domino yang sudah bisa diprediksi. Ketika suatu kesalahan terpampang nyata, justru aneh ketika publik diam saja,” ujar Ibnu kepada BenarNews.
“Gugatan lain yang menimpa KPU menunjukkan bahwa rakyat sudah pintar.”