MK Tolak Permohonan Uji Materi Amnesti Pajak
2016.12.14
Jakarta

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan uji materi tentang Undang-undang Pengampunan Pajak (tax amnesty) disambut positif pengamat karena itu akan menjadi dasar hukum kuat untuk pelaksanaan program amnesti pajak.
“Ini momentum bagus,” kata pengamat pajak dari Universitas Indonesia, Yustinus Prastowo kepada BeritaBenar, Rabu, 14 Desember 2016.
Menurutnya, minimnya dana repatriasi dan uang tebusan salah satunya dipicu akibat tak terbangun kepercayaan di masyarakat yang khawatir jika sewaktu-waktu program tersebut diputuskan inkonstitusional oleh MK.
“Tapi sekarang program ini sudah konstitusional. Tergantung pada pemerintah untuk menjalankannya,” lanjut Yustinus.
Pendapat sama dikatakan pengamat pajak dari Universitas Pelita Harapan, Ronni Bako, yang menyebut putusan MK bisa membuat pemerintah fokus menjalankan sosialisasi untuk mengerek pertumbuhan dana repatriasi dan tebusan.
“Pemerintah harus memanfaatkan putusan MK ini,” ujarnya.
Berkas Berbeda
Putusan MK yang menolak permohonan empat pemohon dibacakan dalam sidang selama sekitar tiga jam, Rabu siang.
Menteri Keuangan Sri Mulyani usai persidangan menyanjung sembilan hakim MK yang menolak permohonan uji materi yang didaftarkan, Juli lalu.
“Saya memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada seluruh majelis hakim karena telah memberikan pertimbangan yang komprehensif,” ujarnya kepada wartawan.
“Ini adalah keputusan yang sangat kami hargai untuk menjalankan program tax amnesty dan meneruskan reformasi perpajakan.”
Permohonan uji materi didaftarkan ke MK dalam empat berkas berbeda oleh beberapa lembaga swadaya masyarakat dan perseorangan warga negara.
Para pemohon menilai pemberlakuan kebijakan ini bakal melindungi kejahatan dan tak efektif.
Pemerintah, menurut para pemohon, pernah memberlakukan kebijakan serupa di masa lampau dan tak berhasil, seperti tax amnesty di medio 1960-an dan sunset policy tahun 2007.
Namun asumsi para pemohon dimentahkan hakim konstitusi dalam pertimbangannya.
"Kesalahan (program lampau) bukan terletak pada undang-undang maupun regulasi yang memberlakukan pengampunan pajak itu melainkan pada undang-undang lain," kata seorang hakim konstitusi, I Dewa Gede Palguna.
"Dalil negara melakukan pembiaran terhadap pelaku kejahatan juga tidak tepat."
"Ketentuan ini merupakan insentif negara kepada mereka yang sukarela melaporkan hartanya yang selama ini tak teradministrasikan dalam data perpajakan. Insentif itu praktek lazim dan bisa dibenarkan," tambahnya.
Lagipula, lanjut Palguna, insentif itu hanya berlaku dalam waktu periode program pengampunan pajak.
"Dalil melindungi kejahatan juga tidak tepat. Sebab, undang-undang ini tidak memuat ketentuan menghalangi penegak hukum untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan berdasarkan data yang diperoleh dari sumber lain."
Mengomentari penolakan hakim konstitusi, kuasa hukum pemohon Agus Supriyadi bisa menerimanya.
"Sudah ditolak semua. Mau bagaimana lagi?” ujarnya seusai persidangan.
Fokus UMKM
Lewat aturan ini, pemerintah telah mengumpulkan uang tebusan Rp95,9 triliun dari yang ditargetkan Rp165 triliun hingga program berakhir, 31 Maret 2017.
Dana deklarasi yang ditargetkan terkumpul Rp4.000 triliun, sejauh ini telah melampaui target. Dalam data lansiran laman Direktorat Jenderal Pajak, dana deklarasi tercatat Rp 4.009 triliun.
Periode kedua, dengan tarif tebusan 3 persen untuk repatriasi dan deklarasi dalam negeri serta 6 persen deklarasi di luar negeri, akan berakhir akhir bulan ini.
Periode ketiga dengan tarif tebusan 5 persen repatriasi dan deklarasi dalam negeri serta 10 persen deklarasi di luar negeri, dimulai Januari mendatang.
Untuk periode pertama Juli-September dikenakan tarif tebusan 2 persen deklarasi dalam negeri dan repatriasi serta 4 persen untuk deklarasi luar negeri.
Meski periode dua hampir berakhir, perkembangan dana tak terlalu signifikan.
Dana repatriasi, misalnya, baru terkumpul Rp144 triliun, tak bergerak terlalu jauh dari akhir periode pertama, yaitu Rp137 triliun. Target pemerintah adalah Rp1.000 triliun.
Soal seretnya penambahan dana di periode kedua, Yustinus meminta pemerintah lebih cekatan dan menyiapkan beragam jurus. Pasalnya, target peserta periode kedua adalah pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
Dia menyebut segmen pelaku UMKM sebagai tantangan cukup berat bagi pemerintah karena tidak bisa memperlakukan seperti halnya pengusaha kakap yang menjadi sasaran periode pertama.
“Butuh perlakuan berbeda. Tak bisa langsung dipungut pajak. Harus dipenuhi keinginan mereka, misal akses yang mudah ke perbankan,” ujarnya.
Adapun Ronny menilai, lambannya penambahan dana karena belum ada definisi pelaku UMKM yang pasti di antara instansi pemerintahan.
“Tiap kementerian berbeda. Jadi ragu, siapa itu sebenarnya pelaku UMKM,” katanya.
Menurut dia, ketimbang terjebak dalam perdebatan, pemerintah sebaiknya menyasar kelompok profesi tertentu semisal dokter, pengacara, atau selebritas.
“Itu masih bisa jadi celah untuk mendorong dana tax amnesty,” pungkasnya.