Anggota MKD: Omong Kosong Komitmen Kebenaran Kasus Novanto

Dewi Safitri
2015.11.30
Jakarta
setyanovanto-620 Presiden Joko Widodo bersama Ketua DPR Setya Novanto (kedua dari kanan), Ketua DPD Irman Gusman dan Wakil Presiden Jusuf Kalla di gedung DPR 14 Agustus, 2015.
AFP

Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI menjadi pusat perhatian dalam rapat penentuan jadwal sidang kasus dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Ketua DPR Setya Novanto sepanjang Senin.

Setelah pekan lalu terjadi serangkaian pergantian anggota MKD, hari ini kembali tiga anggota dari Fraksi Partai Golkar diganti.

Satu anggota baru Golkar, Ridwan Bae, langsung mengusulkan penundaan sidang etik Novanto agar DPR dapat membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk mengusut perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia.

Dia juga mempersoalkan keabsahan hukum (legal standing) pelapor kasus Novanto, yakni Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said. Padahal masalah itu sudah disahkan dalam sidang sebelumnya pada 24 November lalu.

Sikap anggota Fraksi Golkar ini, menurut Sarifuddin Sudding dari Fraksi Hanura, sangat menjengkelkan.

"Agenda hari ini kan penentuan jadwal sidang, ini malah balik lagi ke (persoalan) legal standing yang sudah diputuskan secara sah dalam rapat sebelumnya. Apa-apaan ini," serunya kesal.

Anggota-anggota MKD baru dari Fraksi Golkar itu juga dipersoalkan karena mereka menjalankan penugasan rangkap fraksi.

Ketiganya yakni Ridwan Bae, Kahar Muzakir, dan Adies Kadir. Mereka masih tercatat sebagai utusan Fraksi Golkar untuk Badan Anggaran dan Badan Legislasi DPR. Padahal menurut tata tertib, DPR melarang posisi rangkap anggota.

Omong kosong

MKD menghadapi sorotan besar terkait kasus ini, karena sejak awal telah diragukan keberaniannya untuk memutus dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan Novanto.

"Sayangnya, kita tidak banyak tahu rekam jejak para anggota MKD ini seperti apa. Mereka tampaknya kurang dikenal sebagai tokoh yang berani dan independen dalam memutus pelanggaran internal di DPR," tutur pengamat politik, Jayadi Hanan.

Ia menilai dugaan bahwa sebagian orang dimasukkan dalam keanggotaan baru MKD untuk menghambat kinerja Mahkamah, mendapat pembenaran.

"Anggota baru dari Golkar misalnya, tiba-tiba mendesakkan isu Pansus Freeport. Besok bisa isu lain lagi, jadi isu awal pelanggaran kode etik Novanto semakin kabur," tambah Jayadi.

Akibatnya, menurut dia, muncul kesan bahwa isu Novanto menjadi bola liar yang dimanfaatkan untuk perolehan politik tertentu.

Sarifuddin Sudding membenarkan penilaian tersebut. Anggota MKD yang juga ketua Fraksi Hanura DPR mengatakan tampak jelas Golkar ingin menghambat jalannya persidangan.

"Omong kosong dengan komitmen mencari kebenaran. Mereka mau putar balik komitmen melanjutkan sidang ini," ujar Sudding.

Meski demikian, tampaknya tak semua unsur dalam Golkar kompak mendukung Novanto.

Kader Golkar yang juga dikenal dekat dengan Ketua Umum Aburizal Bakrie, Bambang Soesatyo mengirim rilis pers yang menyerukan agar MKD menggali kebenaran dan memutus dengan transparan terkait kasus Novanto.

Menurut Jayadi, manuver Bambang itu menunjukkan adanya dinamika politik bukan saja antar fraksi dan koalisi partai, tapi juga internal Fraksi Golkar.

"Saya menduga ini ada hubungan dengan posisi Ketua DPR (yang kini diduduki Novanto). Karena kalau dia dinyatakan bersalah, maka penggantinya mestinya dari fraksi yang sama," jelas pengajar Ilmu Politik pada Universitas Paramadina ini.

Voting saja

Rapat internal MKD hari Senin belum menyepakati apa pun agenda sidang.

Debat panas dan adu pendapat masih berkisar pada persoalan legal standing pelapor dan tuntutan membatalkan keputusan rapat sebelumnya.

Sidang mengusulkan pemungutan suara untuk menentukan keputusan.

"Voting saja biar jelas. Biar rakyat tahu siapa yang mau hambat-hambat (sidang) MKD," serunya.

Senin petang sidang sempat dilanjutkan setelah jeda 30 menit tapi kemudian dihentikan dan diskors kembali hingga Selasa pukul 13.00 wib.

Jayadi menilai sidang kali ini akan jadi pertaruhan politik lembaga MKD.

Apalagi sebelumnya, Novanto pernah lolos dari sanksi berat untuk kasus yang juga diproses MKD, yakni dugaan pelanggaran etik ketika berkunjung ke Amerika Serikat (AS) dan menghadiri kampanye bakal calon presiden dari Partai Republik, Donald Trump pada 3 September lalu.

Saat itu, Novanto hanya mendapat teguran ringan.

"Kali ini kasusnya lain, desakan dan tekanan masyarakat sangat tinggi. MKD harus sadar soal itu," ungkap Jayadi.

Sementara itu, hingga Senin sore, di laman Change.org sudah hampir 85 ribu orang membubuhkan tanda tangan untuk mendesak pencopotan Novanto sebagai Ketua DPR.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.