MKD Tunda Keputusan Soal Setya Novanto

Arie Firdaus
2015.11.23
Jakarta
snmkd-620 Presiden Joko Widodo bersama Ketua DPR Setya Novanto (kedua dari kanan), Ketua DPD Irman Gusman dan Wakil Presiden Jusuf Kalla di gedung DPR 14 Agustus, 2015.
AFP

Di tengah desakan masyarakat Indonesia yang meminta sidang etik Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto berlangsung transparan dan tuntas dalam waktu singkat, Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR justru memutuskan untuk menunda persidangan. Keputusan penundaan itu diambil mahkmah usai rapat selama sekitar 3,5 jam di gedung parlemen Senayan, Jakarta.

"Kami memerlukan opini pakar terkit legal standing' pelapor," kata Ketua MKD Surahman Hidayat, Senin, 23 November.

Berdasarkan regulasi, menurut Surahman, yang bisa melaporkan seorang ke anggota dewan ke mahkamah kehormatan adalah pimpinan DPR, anggota DPR, dan masyarakat. "Sedangkan Pak SS (Sudirman Said), ia datang bukan sebagai individu, melainkan Menteri Energi Sumber Daya Mineral yang terdapat kop resmi lembaga," ujar Surahman lagi.

"Kami tidak bersepakat soal apakah Sudirman bisa dikategorikan 'dapat melaporkan’. Sehingga, kami tak bisa memutuskan apapun di rapat hari ini."

Surahman menambahkan, mahkamah terlebih dahulu akan mendengar pendapat pakar bahasa hukum sebelum melanjutkan sidang. "Kami lanjutkan besok sore," katanya, tanpa merinci lebih lanjut pakar hukum yang bakal diundang.

Durasi rekaman bermasalah

Posisi Sudirman Said sebagai pelapor bukan satu-satunya yang dipermasalahkan mahkamah di rapat mereka pada Senin ini. Seperti disampaikan Surahman, MKD juga mempertanyakan durasi rekaman yang diberikan Sudirman.

Surahman mengatakan, Menteri Sudirman hanya menyerahkan rekaman berdurasi 11,38 menit. Adapun secara keseluruhan, rekaman berdurasi 120 menit. "Nah, (sekitar) 100 menit itu isinya apa?" kata Surahman.

"Dari 11,38 menit itu tidak bisa disimpulkan apa-apa, karena materi tidak utuh."

Perihal apakah Mahkamah Kehormatan Dewan akan meminta rekaman utuh kepada Menteri Sudirman, Surahman belum bisa merinci. Mahkamah, katanya, akan berfokus pada pembahasan posisi hukum Sudirman sebagai pelapor terlebih dahulu sebelum masuk kepada pembahasan durasi rekaman.

Kinerja MKD dikritik

Rapat MKD di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Senin tadinya menurut rencana akan memutuskan apakah sidang etik Setya Novanto, yang dituding meminta 20% saham dari PT Freeport Indonesia, layak dilanjutkan atau tidak. Pun, jika dilanjutkan, apakah bakal berlangsung terbuka atau tertutup untuk umum.

Namun dengan penundaan ini, sidang etik membahas masalah itu sepertinya bakal berjalan lamban dan tak bakal selesai dalam waktu cepat. Penilaian itu disampaikan aktivis dari Forum Masyrakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus.

"Agak aneh. Sudirman, kan, bagian dari masyarakat juga. (Ini) menunjukkan bahwa kinerja MKD memang belum bisa dipercaya." kata Lucius.

Tak berbeda pendapat pakar hukum Muladi. Menurut mantan Menteri Hukum dan HAM itu, Setya memang berpotensi terlepas dari sanksi berat seperti pemberhentian dengan tidak hormat, jika diselesaikan lewat mekanisme MKD.

Sebab, katanya, mahkamah diisi partai-partai yang mendukung Setya Novanto, sehingga potensi intervensi terhadap proses sidang sangat besar.

"Jadi, jangan berharap terlalu tinggi. Nanti kecewa," kata Muladi saat ditemui di Gedung parlemen.

Bermula dari minta saham

Sidang etik terhadap Setya Novanto sendiri bermula dari laporan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said ke Mahkamah Kehormatan DPR menyoal tindak-tanduk Setya Novanto yang mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla agar mendapatkan saham dari PT Freeport Indonesia.

Dalam laporannya, Menteri Sudirman ketika itu menyerahkan bukti rekaman percakapan antara Setya Novanto, importir minyak Muhammad Riza Chalid, dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia. Setya sudah membantah semua tudingan yang ditujukan kepadanya terkait PT Freeport.

Bagi Setya, sidang etik kali ini bukanlah yang pertama. Beberapa waktu lalu, ia juga diadukan ke MKD setelah dirinya terlihat dalam konferensi pers kampanye salah satu calon Presiden Amerika Serikat dari Partai Republik, Donald Trump. Namun ketika itu, Setya hanya dijatuhi hukuman ringan berupa teguran agar lebih berhati-hati menjalankan tugas di masa mendatang dari mahkamah kehormatan.

Bahkan, sanksi teguran itu dijatuhkan tanpa sekalipun Setya menghadiri sidang mahkamah, karena dia tidak menghadiri tiga kali panggilan dari mahkamah.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.