Pro Kontra Rencana Moratorium Lahan Baru Sawit
2016.04.26
Jakarta

Rencana Presiden Joko “Jokowi” Widodo menerbitkan aturan penangguhan (moratorium) konsesi lahan sawit untuk mengurangi dampak buruk pada lingkungan hidup, ditanggapi beragam. Peneliti perburuhan dan asosiasi kelapa sawit mengatakan moratorium berdampak negatif pada ekonomi, tapi aktivis lingkungan menyambut kebijakan ini.
“Bisa menciptakan pengangguran," ujar analis dari Labour Institute Indonesia, Andy William Sinaga, kepada BeritaBenar, Senin, 25 April 2016.
Menurutnya, industri sawit mulai dari hulu hingga hilir, selama ini menyerap banyak tenaga kerja. Dengan luas perkebunan sawit 10 juta hektar, serapan tenaga kerja di sektor ini mencapai 4,5 juta orang.
"Jumlahnya bahkan lebih besar jika kita menghitung berapa banyak tenaga kerja di sektor pengolahan agribisnis minyak sawit.”
Andy menilai, pemerintah seharusnya tak menerbitkan aturan moratorium lahan baru sawit dengan merujuk pada perspektif lingkungan. "Seharusnya paralel. Punya wawasan yang menyeluruh, termasuk soal ekonomi,” katanya.
Tak jauh berbeda penilaian Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAKPI), Tofan Mahdi, yang berpendapat moratorium itu berpotensi akan mempengaruhi pasokan dan harga minyak sawit dunia.
"Karena pasokannya akan berkurang sehingga harga minyak kelapa sawit akan naik," ujar Tofan saat dihubungi.
Berpijak pada data GAKPI pada 2015, Indonesia adalah produsen besar minyak sawit dunia. Tahun lalu, misalnya, produksi sawit Indonesia tercatat sebanyak 32,5 juta ton atau lebih besar dua pertiga dari produksi Malaysia.
Angka produksi itu sebanding dengan USD19 miliar atau 13 persen dari keseluruhan ekspor Indonesia."Bisa-bisa, ekonomi Indonesia terhambat," ujar Tofan.
Terbit tahun ini
Rencana moratorium pembukaan lahan baru untuk sawit dan pertambangan disampaikan Jokowi ketika menghadiri Gerakan Nasional Penyelamatan Tumbuhan dan Satwa Liar di Kepulauan Seribu Jakarta, 14 April lalu.
Menurut Jokowi, lahan sawit yang ada sudah cukup luas. Peningkatan produksi, kata dia, seharusnya bisa dilakukan dengan pendekatan sains seperti menghasilkan bibit unggul, alih-alih menambah luas lahan.
Merujuk pada data pemerintah, total lahan yang digunakan untuk perkebunan sawit seluas 11 hektare dengan produktivitas 2-4 ton per hektare. Angka itu, menurut dia, seharusnya bisa digenjot hingga 6-8 ton per hektare.
Sikap Pemerintahan Jokowi ini juga salah satu siasat menangkal bencana asap yang berulang saban tahun. Perusahaan-perusahaan sawit selama ini disebut-sebut sebagai "penyumbang" asap dalam bencana tersebut.
Menurut juru bicara kepresiden Johan Budi, aturan terkait moratorium bakal segera diterbitkan. Hanya saja, ia tak menyebutkan waktu pasti.
"Belum tahu kapan. Tapi (diterbitkan) tahun ini," kata Johan saat dikonfirmasi BeritaBenar.
Lobi pengusaha
Aktivis Greenpeace Indonesia, Kiki Taufik, mendesak pemerintah tak perlu ragu untuk segera menerbitkan aturan sebagai landasan hukum moratorium tersebut.
"Segeralah. Biar semuanya jadi jelas. Kemarin tidak dijelaskan apakah moratorium juga berlaku pada lahan konsesi yang belum ditanam," kata Kiki kepada BeritaBenar.
"Meski dari pernyataannya, saya menduga maksud presiden adalah soal pemberian izin baru. Makanya lebih baik kalau segera ada Peraturan Presiden, biar semuanya menjadi jelas."
Dia meyakini kalangan pengusaha berusaha melakukan lobi-lobi ke pemerintah agar Jokowi tak mengeluarkan aturan moratorium lahan sawit dan tambang.
Saat ditanya bagaimana konkritnya, Kiki hanya menjawab, “Kami tidak tahu itu. Ngak bisa menduga juga, tapi banyak hal yang ditawarkan ke pemerintah pasti, apapun itu bentuknya.”
Tetapi, Johan Budi membantah adanya lobi-lobi yang dilakukan kalangan pengusaha sawit terkait rencana presiden menerbitkan moratorium tersebut. “Enggak ada lobi-lobi,” ujarnya singkat.
Kiki menyangkal pendapat bahwa moratorium bakal memicu pengangguran. Melalui moratorium, tambahnya, pemerintah justru meminta perusahaan mengoptimalkan kinerja sehingga masih banyak tenaga kerja yang dibutuhkan.
"Bukan menghentikan operasional, tapi mendorong agar mereka mengoptimalkan kerja selama ini," pungkasnya.