MUI Minta PBB dan OKI Selesaikan Masalah Uighur
2018.12.26
Jakarta

Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) meminta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) membantu menyelesaikan konflik dan dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh Pemerintah China terhadap Muslim Uighur di Provinsi Xianjiang.
"Secara resmi, Dewan Pertimbangan MUI mengirim surat kepada Pemerintah Indonesia untuk menyuarakan aspirasi umat Islam,” kata Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Din Syamsuddin dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu, 26 Desember 2018.
“Kami juga bisa langsung mengirim surat khususnya kepada OKI maupun Rabithah Alam Islami - Liga Islam Dunia, dan juga PBB. Ini sudah terpikirkan, tinggal pelaksanaannya saja."
Dewan Pertimbangan MUI juga ingin berdialog langsung dengan Duta Besar China di Jakarta atau Wakil Menteri Luar Negeri China Zheng Zeguang yang akan berkunjung ke Indonesia Januari 2019, untuk menanyakan terkait perlakuan negara itu terhadap Muslim Uighur.
Din sudah menyampaikan keinginannya ke Wakil Menteri Luar Negeri A.M Fachir agar Zheng nantinya bisa diagendakan bertemu MUI bersama organisasi masyarakat (ormas) Islam di Indonesia.
Din menyatakan Dewan Pertimbangan MUI sangat prihatin dengan konflik di Xinjiang yang didiami etnis Uighur.
"Berdasarkan informasi terpercaya dari berbagai kalangan termasuk lembaga internasional memang terjadi pelanggaran hak asasi manusia yang berat di sana," ujar mantan ketua umum PP Muhammadiyah itu.
"Kita juga menerima dan menghormati pula informasi-informasi lain khususnya dari pemerintah China khususnya dari Duta Besar di Jakarta, menurut versi dari pemerintah China bahwa tidaklah terjadi demikian."
Namun, lanjut Din, Dewan Pertimbangan MUI dan ormas-ormas Islam meyakini terjadi upaya represif terhadap etnis Uighur yang sebagian punya aspirasi untuk memisahkan diri dari China, "karena mereka merasa secara historis, secara politik berbeda dengan mayoritas suku bangsa Han yang mendiami negara China."
MUI dan masyarakat Indonesia, menurut Din, tidak pada posisi menyampuri urusan internal China.
"Itu adalah kedaulatan negeri China. Namun, kami hanya ikut mempersoalkan apa yang terjadi atas etnis Uighur khususnya yang beragama Islam," tukas Din.
MUI menghargai sikap dan langkah pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri yang sudah memanggil Dubes China di Indonesia untuk menyampaikan aspirasi khususnya dari ormas-ormas Islam.
Mengusik sensitifitas keislaman
Pemimpin Pondok Pesantren Gontor, Jawa Timur, KH Hasan Abdullah Sahal mengatakan konflik yang menimpa Muslim Uighur telah mengusik sensitifitas keislaman di Indonesia.
Dia menyorot istilah kamp massal yang dipakai pemerintah China untuk menahan etnis Uighur.
"Soal istilah kamp agak sensitif bagi bangsa kita, mungkin karena sensitivitas keislaman besar mungkin jadi berlebihan," katanya.
Pada 21 Desember lalu, ribuan massa ormas Islam di Indonesia berunjuk rasa di depan Kedutaan Besar China di Jakarta dan sejumlah daerah untuk mendesak negara itu menghentikan penindasan terhadap etnis Uighur.
Mereka juga meminta pemerintah Indonesia bersikap.
Wakil Ketua DPR, Fadli Zon kembali mendesak pemerintah Indonesia bersuara membela muslim Uighur di Xinjiang.
“Dari pemberitaan media internasional, perlakuan diskriminatif dan tindakan represif pemerintah China terhadap Muslim Uighur sebenarnya sudah berlangsung cukup lama,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima BeritaBenar.
“Tapi sayangnya belum ada negara-negara Muslim, termasuk Indonesia, yang berani mengecam tindakan pemerintah China.”
Berdasarkan hasil investigasi UN Committee on the Elimination of Racial Discrimination dan Amnesty International and Human Rights Watch yang dikeluarkan Agustus lalu, sekitar 2 juta warga Uighur ditahan otoritas China di penampungan politik di Xinjiang.
Banyak tahanan yang dipenjara untuk waktu yang tak ditentukan dan tanpa dakwaan. Penahanan tersebut juga ditenggarai berujung penyiksaan, kelaparan, dan kematian.
“Melihat kenyataan seperti ini seharusnya pemerintah Indonesia bersuara. Tidak diam seperti sekarang,” ujar Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu.
Sementara itu, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sosial (PKS) DPR RI, Jazuli Juwaini meminta Pemerintah Amerika Serikat (AS) ikut membela etnis Uighur dari pelanggaran HAM.
Hal itu disampaikan usai bertemu anggota senior Kongres AS, David Price saat melawat ke negara itu.
"Tanpa bermaksud mengintervensi politik luar negeri AS, kami mengharap kesamaan agenda dalam upaya mempromosikan dan mewujudkan perdamaian dunia, pembelaan HAM, dan pembebasan rakyat yang masih terjajah atau tertindas di berbagai belahan dunia khususnya terhadap rakyat Palestina, etnis Rohingnya di Myanmar, dan minoritas muslim Uighur di China," katanya.
Wakil Presiden Jusuf Kalla sebelumnya meminta masyarakat Indonesia untuk melihat isu Uighur secara komprehensif dari dua sisi; dugaan perlakuan diskriminatif pemerintah China atas suku minoritas tersebut dan kemungkinan radikalisme.
"Bisa juga radikalisme. Dalam penyelesaian konflik di Poso, ada enam (Uighur) yang ikut ke sana. Empat ditahan sekarang," ujar Kalla, mencontohkan etnis Uighur yang terbukti membantu kelompok militan Mujahidin Indonesia Timur di Poso, Sulawesi Tengah.