Seruan terhadap ASEAN untuk menghukum Myanmar meningkat pasca eksekusi aktivis pro-demokrasi
2022.07.27
Jakarta

Seruan terhadap ASEAN untuk menghukum junta Myanmar meningkat menyusul eksekusi terhadap empat tahanan politik aktivis pro-demokrasi, dimana seorang analis mengusulkan agar Naypyidaw diskors dari keanggotaan ASEAN.
Menanggapi eksekusi tersebut, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi menyerukan kembali apa yang telah dinyatakan oleh mitranya, menteri luar negeri Malaysia, untuk mengadakan pembahasan khusus tentang Myanmar dalam pertemuan tingkat menteri ASEAN yang dijadwalkan awal bulan depan.
ASEAN, asosiasi beranggotakan 10 negara tersebut, pada Selasa mengeluarkan kecaman paling keras selama ini ke junta militer mengatakan eksekusi empat aktivis pro-demokrasi itu sebagai “sangat tercela”, sementara Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin Abdullah mengatakan hukuman gantung tersebut sebagai “kejahatan melawan kemanusiaan.”
Namun para analis politik di kawasan itu mengatakan, ASEAN, yang bekerja berdasarkan konsensus, perlu untuk menindaklanjuti kecaman keras itu dengan aksi yang lebih nyata terhadap Myanmar yang telah melanggar Konsensus Lima Poin yang disepakati pada April 2021, dimana salah satunya adalah mengakhiri kekerasan pasca kudeta di negara itu.
Sharon Seah, koordinator Pusat Studi ASEAN dan Perubahan Iklim di ISEAS - Yusof Ishak Institute di Singapura, mengatakan perkembangan terakhir "mungkin menjadi titik kritis" untuk perhimpunan negara-negara Asia Tenggara tersebut.
“ASEAN perlu memikirkan kembali secara serius pendekatannya terhadap Myanmar, termasuk bentuk penangguhan sementara secara de facto meskipun Piagam ASEAN tidak secara eksplisit mengaturnya,” tulis Seah di Twitter.
“Jika ASEAN tidak mengambil tindakan lebih keras, maka itu akan tampak lemah dan kurang kredibilitas. Tapi, jika tindakan itu dilakukan, berisiko menutup pintu negosiasi dengan SAC (State Administrative Council) secara permanen,” katanya, merujuk Dewan Administrasi Negara, sebagaimana rezim militer Myanmar pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing menyebut dirinya.
Aktivis demokrasi Ko Jimmy (yang bernama asli Kyaw Min Yu), mantan anggota parlemen Liga Nasional untuk Demokrasi Phyo Zeya Thaw, serta aktivis Hla Myo Aung dan Aung Thura Zaw, dihukum gantung oleh militer Burma kemungkinan pada Sabtu lalu, tetapi baru diumumkan pada Senin.
Pengadilan militer Myanmar telah memidana mereka atas tindakan “terorisme” dan mereka kalah banding atas hukuman mati yang dijatuhkan kepada mereka. Junta militer juga telah menolak kemungkinan pengampunan terhadap mereka.
Harian berbahasa Inggris The Jakarta Post menyerukan hal yang sama untuk menindak keras junta Myanmar yang berdarah dingin dalam editorialnya.
“Sekarang Presiden [Joko] Jokowi [Widodo] harus menunjukkan kepada dunia bahwa ASEAN tidak dapat mentolerir tindakan barbar Jenderal Hlaing,” kata harian tersebut.
“Diamnya ASEAN hanya akan mengirimkan sinyal yang salah bahwa ASEAN memaafkan kebrutalan,” katanya.
The Jakarta Post mendesak Menlu Retno untuk memulai pertemuan darurat para menteri luar negeri ASEAN guna membahas tindakan kolektif terhadap junta Myanmar atas penghinaan terang-terangan terhadap Konsensus Lima Poin.
Konsensus itu menyerukan diakhirinya kekerasan; dialog konstruktif di antara semua pihak; mediasi pembicaraan tersebut oleh utusan khusus ASEAN; pemberian bantuan kemanusiaan yang dikoordinasikan ASEAN dan kunjungan ke Myanmar oleh delegasi ASEAN untuk bertemu dengan semua pihak.
Retno menegaskan pada Rabu bahwa eksekusi telah menghambat konsensus tersebut, menyusul kritik atas kurangnya kecaman dari Indonesia terhadap tindakan junta Myanmar.
“Presiden menyatakan kekecewaannya karena tidak ada kemajuan dalam implementasi (konsensus),” kata Retno dalam konferensi pers.
“Saya sudah mengusulkan agar pertemuan tingkat menteri ASEAN pada awal Agustus di Phnom Penh secara khusus membahas perkembangan terakhir,” katanya.
Aizat Khairi, seorang akademisi di Departemen Studi Umum di Universitas Kuala Lumpur, mengatakan beberapa bentuk hukuman perlu dijatuhkan sebagai hukuman atas eksekusi tersebut.
“Kemungkinan sulit untuk mengusir Myanmar dari ASEAN, tetapi ini adalah sikap yang jika diambil, akan mengirim pesan yang kuat kepada junta bahwa ASEAN memang bersatu dan tidak mentolerir kejahatan terhadap kemanusiaan,” katanya kepada BenarNews.
Piagam ASEAN mengatakan: “Dalam kasus pelanggaran serius terhadap Piagam atau ketidakpatuhan, masalah tersebut akan dirujuk ke KTT ASEAN untuk diputuskan.”
Aizat mengatakan ASEAN dapat membawa para pemimpin junta ke Mahkamah Internasional dan menjatuhkan sanksi ekonomi.
ASEAN juga perlu mulai terlibat dengan pihak oposisi Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) dan Dewan Konsultatif Persatuan Nasional (NUCC), sebuah pemerintahan bayangan yang dilarang oleh junta militer negara itu, katanya.
Seah dari ISEAS mengatakan meskipun Myanmar telah dilarang mengirim perwakilan politik ke pertemuan tingkat menteri luar negeri ASEAN, negara junta itu masih hadir secara politik dalam pertemuan tingkat menteri lainnya.
Dia menyarankan agar Myanmar dikeluarkan dari perannya sebagai anggota ASEAN.
“ASEAN tidak memiliki kemampuan menghadapi permainan berbahaya SAC ini. Sebagai permulaan, ASEAN perlu logis dalam pendekatannya,” katanya.
Salai Bawi, seorang akademisi Myanmar di Universitas Chiang Mai di Thailand utara mengatakan eksekusi itu tidak terduga.
“Meskipun tentara Myanmar selama ini sering berkonflik dengan masyarakat dan etnis minoritas, eksekusi jarang terjadi, sejak tahun 1980-an,” kata Bawi kepada BenarNews.
“Myanmar telah melawan dunia,” katanya.
Muzliza Mustafa di Kuala Lumpur, Pimuk Rakkanan di Bangkok, dan Jason Gutierrez di Manila turut berkontribusi dalam laporan ini.