Dari Narapidana Menjadi Santri di Penjara Cianjur

Oleh Ismira Lutfia Tisnadibrata
2015.07.10
150710_ID_ISMIRA_BERTOBAT_700.jpg Narapidana Lapas Kelas II Cianjur, Jawa Barat sedang belajar memperbaiki mesin sepeda motor tanggal 20 Mei, 2015.
BeritaBenar

Heri Suherlan tidak menyangka bahwa hidup dalam penjara di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II Cianjur, Jawa Barat akan membawa perubahan positif dalam hidupnya.

“Dampak positifnya sekarang merasa lebih nyaman dan tentram,” ujar pria berusia 29 tahun yang mendekam selama tiga tahun dalam penjara ini kepada BeritaBenar.

Perubahan itu dimulai ketika Heri divonis bersalah atas dakwaan perbuatan asusila dan dihukum enam tahun penjara di Lapas Cianjur.

Siapa sangka, ternyata di dalam penjara ini Heri malah menjadi santri yang sekarang sudah lancar membaca dan menulis kitab suci al-Quran, karena ternyata penjara ini menerapkan model pembinaan berbasis pesantren untuk warga binaannya.

Bahkan, Heri sudah menjadi ketua kelompok studi Islam bagi rekan-rekannya di Pesantren At Taubah dalam Lapas Cianjur ini.

Rutinitas harian yang dijalani Heri dan sekitar 800 warga binaan lainnya yang hampir semuanya Muslim, biasanya dimulai dengan shalat Subuh berjamaah.

Setelah matahari terbit, mereka melakukan shalat Dhuha bersama sebelum memulai belajarnya. Para santri di pesantren ini terbagi dalam 26 kelas dengan periode belajar mulai jam 8.30 hingga 10.30 dari Senin sampai Kamis.

Setelah itu pada sore hari, narapidana yang masuk dalam kategori mahir akan ikut kelas khusus kajian kitab kuning - kitab-kitab yang berbahasa Arab yang digunakan sebagai bahan pelajaran mengenai Islam di pesantren.

Kelas ini dipimpin oleh kepala pesantren Kyai Haji Totoy Muchtar Gozali, yang juga salah satu tokoh Majelis Ulama Indonesia (MUI) cabang Cianjur.

Hari Jumat hingga Minggu adalah hari bebas dimana mereka bisa melakukan kegiatan lain seperti olahraga.

“Ada 36 ustad yang terlibat dalam pesantren ini dan masing-masing memegang kelas sendiri. Pembinaan di pesantren ini berjalan seperti di pesantren lain pada umumnya,” ujar Totoy kepada BeritaBenar saat ditemui di Lapas Cianjur.

Pembinaan di lapas

Selain belajar di pesantren, beberapa warga binaan juga menjalani pelatihan bersertifikat mengenai sistem injeksi sepeda motor selama 50 jam dalam 12 hari. Ini sebagai modal mereka untuk bekerja sebagai montir setelah menyelesaikan hukumannya.

Cep Yudi Hamdani, instruktur dari Lembaga Kursus dan Pelatihan Prima di Cianjur yang memberikan pelatihan kepada para warga binaan, mengatakan bahwa program ini sudah berjalan sejak tahun 2011.

Mereka juga dilatih ketrampilan, misalnya untuk mengenal teknologi otomotif motor yang terbaru.

“Lulusan program kami ada yang membuka bengkel sendiri atau bekerja di bengkel-bengkel umum,” ujar Cep kepada BeritaBenar di bengkel pelatihan dalam Lapas Cianjur.

“Bengkel-bengkel tersebut memberikan respon positif terhadap tenaga bersertifikat dari kami dan tidak memandang mereka dengan stigma sebagai mantan narapidana,” katanya.

Marno, kepala sub seksi perawatan dan anak besar di Lapas Cianjur, mengatakan bahwa pesantren dalam lapas ini dirintis oleh Sahat Philips Parapat, kepala lapas non-Muslim yang bertugas sebelum pemimpin yang sekarang, Tri Saptono Sambudji.

Tri mengatakan pesantren ini didirikan setelah penandatanganan nota kesepakatan untuk mendirikan pesantren dalam lapas antara Pemerintah Kabupaten Cianjur, MUI Cianjur dan Lapas Cianjur pada 9 Mei 2013.

Populasi terbesar penjara kelas II untuk narapidana dengan hukuman maksimal 10 tahun ini berasal dari Cianjur dengan 650 narapidana.

Sebagian besar narapidana dihukum karena kasus narkoba, disusul oleh perbuatan asusila.

Dari sekitar 800 populasi, yang juga termasuk pindahan dari berbagai lapas di kota-kota lain di sekeliling Cianjur yang sudah berlebihan kapasitasnya, 12 diantaranya adalah perempuan, sembilan anak-anak dan dua warga negara asing.

“Anak-anak tersebut tidak dipindah ke lapas khusus anak yang terdekat di Bandung agar mereka bisa tetap dekat dengan keluarganya dan lebih mudah untuk ditengok,” ujar Tri kepada BeritaBenar.

“Blok hunian mereka terpisah dari blok hunian dewasa. Selain itu, ada juga delapan warga binaan yang non-Muslim, namun mereka tetap kita berikan hak dan waktu yang sama [untuk beribadah],” terang Tri.

Tri dan Totoy mengatakan bahwa hasil positif dari pembinaan berbasis pesantren ini terlihat dari tingginya tingkat sukses reintegrasi mereka dengan masyarakat dan rendahnya jumlah warga binaan yang kembali sebagai narapidana.

“Polisi juga mengatakan angka kriminalitas menurun dari sekitar 2000 kasus ke 600 kasus per tahun,” tambah Totoy.

Studi banding

Totoy mengatakan bahwa keberhasilan pesantren dalam penjara ini telah menjadikan Lapas Cianjur sebagai model pembinaan yang dicontoh oleh lapas-lapas lain di Indonesia.

“Sudah ada beberapa perwakilan lapas-lapas dari berbagai wilayah di Indonesia yang datang ke sini untuk melakukan studi banding,” ujar Totoy.

Bahkan menurutnya, sudah ada pembicaraan yang mencapai tahap akhir antara beberapa kementerian terkait untuk menandatangani nota kesepakatan untuk mendirikan pembinaan berbasis pesantren ini di lapas-lapas lain di Indonesia.

“Yang membedakan pesantren ini dengan pesantren di luar adalah, bila pesantren di luar muridnya banyak berarti sukses, namun di sini, bila muridnya banyak berarti tidak sukses,” ujar Tri.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.