90 Tahun NU: Radikalisme, Tantangan Nyata Indonesia Sejak Dulu
2016.02.01
Jakarta

Hampir satu abad lalu Nahdlatul Ulama (NU) didirikan untuk mengantisipasi paham radikalisme dalam agama Islam. Kini setelah 90 tahun berlalu, ancaman itu menjadi semakin nyata terjadi di kalangan umat Muslim Indonesia. Dalam peringatan hari jadi organisasi massa Islam terbesar itu pada 31 Januari 2016, peran NU semakin penting untuk mengatasinya, kata salah seorang petinggi NU.
"Saat ini muncul bukti bahwa apa yang dulu dipikirkan para pendiri NU menjadi kenyataan yaitu potensi ancaman radikalisme di Indonesia," ujar Sekretaris Jendral Pengurus Besar NU, Yahya Cholil Staquf kepada BeritaBenar, Senin 1 Februari.
"Ancaman ini terasa sekali sekarang dan bahkan sudah berkembang menjadi terorisme," tambahnya.
Yahya mengatakan bahwa NU dituntut bekerja lebih konkrit untuk melindungi bangsa Indonesia dari ancaman radikalisme karena NU merasa punya "saham" besar dalam berdirinya negeri ini.
Menurut Yahya, hal ini adalah bentuk rasa tanggung jawab dan panggilan dari dalam jiwa kaum Nahdliyyin untuk menjaga persatuan Indonesia dan menjaga peradaban negara, yang selalunya ditanamkan oleh guru-guru mereka sejak ratusan tahun lalu di era Wali Songo.
Dia menjelaskan, dakwah Wali Songo pada masa lalu bukan sekadar ajakan masuk Islam tapi juga mendirikan suatu peradaban di wilayah Nusantara, yang puncaknya adalah kelahiran Negara Kesatuan Republik Indonesia.
"Masa depan Indonesia selalu menjadi perhatian utama NU," tegasnya.
Tantangan internal
Seorang dosen Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Jember di Jawa Timur, M. Khusna Amal setuju bahwa salah satu tantangan nyata yang dihadapi NU saat ini adalah menguatnya radikalisme dan fundamentalisme di Indonesia.
"Namun secara internal, ada tantangan lain dengan menguatnya kaum Nahdliyyin konservatif. Mereka diskriminatif bukan hanya terhadap minoritas non-Muslim tapi bahkan terhadap minoritas dalam Islam sendiri," ujar Khusna kepada BeritaBenar.
Kebangkitan kaum Nahdliyyin yang konservatif ini, menurut dia, mempunyai kemampuan untuk "mengambil panggung" di berbagai media massa termasuk media sosial, dan menentang nilai-nilai pluralisme dan toleransi antar-umat beragama yang diperjuangkan NU.
Khusna menyebutkan selain tantangan konservatisme internal, NU juga mendapat kritik bahwa kalangan elitnya lebih tampil sebagai elit politik daripada sebagai elit masyarakat yang dapat menjadi penggerak moral dan nilai-nilai bangsa.
"Ada kritik bahwa sebagian elit menggunakan organisasi ini untuk tujuan politik jangka pendek," ujar Khusna.
Dia menambahkan visi NU yang progresif menyuarakan demokratisasi dan pluralisme seperti di era 1980-1990an menjadi agak berkurang karena para tokohnya lebih terbuka untuk berinteraksi dalam politik praktis, sehingga mereka pragmatis dan tidak cukup idealis untuk memperjuangkan nilai-nilai yang diusung NU.
Khusna pernah meneliti pergumulan kelas menengah NU dalam demokratisasi lokal di Jember. Hasilnya menunjukkan bahwa secara umum kelas menengah NU punya kesadaran politik. Mereka tidak apolitis karena menurut mereka, demokrasi sulit diwujudkan jika kekuatan negara tidak dikontrol oleh kekuatan masyarakat sipil.
Namun di tengah keberagaman elemen kelas menengah NU yang sama-sama berkepentingan terhadap demokratisasi, mereka bukan kelompok sosial yang homogen, tapi juga merupakan kelompok majemuk.
"Sebagian dari mereka ada yang mengambil sikap akomodatif dan sebagian kecil berwatak liberal-progresif, di tengah menguatnya sebagian besar yang berhaluan konservatif," ujar Khusna.
Membangun keberagaman
Benny Susetyo, Sekretaris Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) mengakui peran NU yang kuat dalam membangun keberagaman bagi semua kelompok etnis dan agama yang ada di Indonesia.
"Selama 90 tahun, NU banyak jasanya dalam hal kemerdekaan Indonesia melalui jihadnya dan membuat bangsa Indonesia hidup dalam kebersamaan," ujar rohaniwan yang juga dikenal sebagai Romo Benny tersebut.
Namun dia melontarkan kritik bahwa NU belum memainkan peran penting dalam membangun peradaban politik, terutama dalam menumbuhkan sikap anti korupsi di tengah pejabat pengelola negara.
"NU agar menyumbang lebih untuk peradaban politik di Indonesia, sebagai alat kontrol atas kekuasaan, sebagai inspirasi gerakan moral politik di Indonesia yang berpihak pada yang lemah dan miskin, serta mengawal kebijakan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat," ujar Romo Benny.