Kebangkitan Para Nyai Sebagai Buah Reformasi

Ismira Lutfia Tisnadibrata
2015.09.01
150901-ID-preacher-1000.jpg Seorang wanita berceramah sebelum salat tarawih di Masjid Syarif Hidayatullah, Ciputat, Banten, 30 Juni 2014.
AFP

Organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) sering dideskripsikan sebagai sebuah komunitas ilmuwan tradisional yang didominasi oleh kaum pria dan ilmuwan perempuan berada dalam posisi subordinat.

Namun sebuah penelitian menunjukkan bahwa ada kebangkitan otoritas penceramah perempuan di ruang publik, terutama di dalam komunitas tradisional NU sendiri.

Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Khodafi, dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Surabaya ini menemukan bahwa semakin banyak penceramah perempuan, yang juga disebut sebagai nyai, yang mempunyai jumlah pengikut yang cukup besar.

“Ini merupakan gejala baru, yang tidak terkait secara langsung dengan meningkatnya ortodoksi Islam seperti yang terjadi di belahan dunia lainnya,” ujar Khodafi kepada BeritaBenar dalam peluncuran buku “Islam Indonesia Pasca Reformasi” di Jakarta, 25 Agustus 2015.

Buku tersebut mempublikasikan hasil penelitian Khodafi dan lima peneliti lainnya mengenai dinamika keagamaan pada ranah sosial, politik, budaya hukum dan pendidikan di Indonesia.

Reformasi membuka akses

Khodafi mengatakan bahwa fenomena kebangkitan para nyai di Jawa Timur ini juga didorong oleh beberapa faktor, salah satunya adalah kebijakan politik di era Reformasi yang memberi dampak besar bagi kebangkitan Islam di sektor pendidikan dan ekonomi, serta memperbesar peluang bagi perempuan Muslim untuk mengakses pendidikan tinggi.

Dalam buku itu, Khodafi mengadakan penelitian terhadap dua nyai bernama Uci Nurul Hayati dan Hani’ah. Temuan lain juga menunjukkan bahwa kedua nyai yang diteliti oleh Khodafi bukan berasal dari keluarga kyai dengan silsilah kuat sebagai keluarga ulama turun menurun.

Keduanya berangkat dari keluarga biasa dan sederhana di Jawa Timur. Keduanya mempunyai latar belakang pendidikan akademis Islam yang kuat. Uci adalah seorang dosen dan Hani’ah sudah aktif menjadi penceramah sejak dia masih duduk di bangku sekolah.

“Kebangkitan para nyai di komunitas NU juga mendapat dukungan dari TV9 NU yang memberi peluang dengan memberi ruang yang besar untuk program dakwah para nyai,” ujar Khodafi, merujuk pada stasiun televisi lokal yang didirikan oleh pengurus wilayah NU di Jawa Timur.

Nyai Uci mengisi program ceramah “Apa Kata Bu Nyai” di TV9 dua kali dalam seminggu, sementara Hani’ah mengelola kelompok pengajian majelis taklim yang menjadi wadah perempuan untuk berkonsultasi tentang problem domestik yang mereka hadapi.

Cendekiawan Muslim dan mantan rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah di Jakarta, Azyumardi Azra menyambut baik fenomena bangkitnya penceramah wanita di Indonesia.

Azyumardi mengatakan bahwa gejala itu adalah ciri khas Islam di Indonesia yang mencerminkan kesetaraan muslimah di ranah publik dan muslimah Indonesia memiliki peluang yang sama dengan laki-laki menjadi ustadzah, qori’ah, hakim agama, politisi, birokrat dan punya rekening bank sendiri.

“Hal-hal ini yang tidak dapat dicapai di banyak negara Muslim lainnya,” ujar Azyumardi kepada BeritaBenar.

Resistensi penceramah pria

Namun Khodafi juga menemukan bahwa ada resistensi terhadap kebangkitan para nyai terutama di kalangan laki-laki yang menganggap keberadaan para nyai sebagai penceramah tidak mencerminkan nilai-nilai Islam.

“Namun resistensi ini adalah salah satu indikasi adanya persaingan di antara para nyai dan kyai untuk mendapat perhatian umat,” ujar Khodafi.

Sementara itu Anik Sofrida, seorang nyai di Malang, Jawa Timur, mengatakan kepada BeritaBenar bahwa menurut pengalaman pribadinya sejauh ini tidak ada halangan baginya dalam berceramah.

"Alhamdullilah, tidak ada," ujar Anik.

Anik, yang merupakan jebolan pesantren, mulai ceramah sejak tahun 2001 di majelis taklim sekitar tempat tinggalnya. Dia berceramah sebanyak rata-rata empat kali dalam sebulan.

Dosen dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syekh Nurjati di Cirebon, Marzuki Wahid, mengatakan bahwa Islam di Indonesia di era Reformasi sangat berbeda dengan saat di masa sebelum reformasi.

“Sekarang lebih terbuka, gerakan dari liberalisme sampai fundamentalisme sekarang ada, kalau dulu tidak mungkin ada,” ujar Marzuki.

Dia menambahkan bahwa gerakan Islam radikal seperti Front Pembela Islam (FPI) juga bisa hidup di Indonesia karena ada demokrasi.

“Bentuk-bentuk Islam ini akan terus berkontestasi sampai akhirnya ditemukan bentuknya sendiri, Islam di Indonesia yang seperti apa,” ujar Marzuki.

Buku Islam Indonesia Pasca Reformasi ini didukung oleh program Kemitraan dalam Beasiswa Pendidikan Islam (PIES) yang didanai oleh Australia-Indonesia Institute dan Departemen Politik dan Perubahan Sosial di Australian National University (ANU), bekerjasama dengan Kementerian Agama.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.