Rumah Tak Selesaikan Masalah bagi Orang Rimba

Dewi Safitri
2015.11.03
Jakarta
151103_ID_tribe-620.jpg Presiden Jokowi menyerahkan bingkisan kepada warga Orang Rimba, di Kabupaten Sarolangun, Jambi, 30 Oktober.
(Dok. Rusman/Setpres)

Ramainya pemberitaan tentang kunjungan Presiden Joko Widodo ke wilayah Orang Rimba di Jambi belum lagi reda.

Presiden Jokowi dipuji karena dianggap memiliki kepedulian terhadap persoalan Orang Rimba Jambi yang sudah berlangsung puluhan tahun.Tawaran menyediakan perumahan untuk Orang Rimba pun disambut, meski dengan sejumlah catatan.

Menurut Rudy Sjaf, Humas Koordinasi Komunitas Indonesia Warsi – organisasi nirlaba yang bergerak dalam pembangunan yang berkelanjutan – ada tiga kategori Orang Rimba di Jambi.

"Mereka yang hidup di tengah hutan belantara, mereka yang hidup di tanah ulayat nenek-moyangnya tetapi lahannya sudah dikonsesikan pada perusahaan, dan ketiga, mereka yang sudah mulai menetap di pinggir hutan membentuk desa-desa," kata Rudy kepada BeritaBenar. Namun dia mengatakan masih ada kebutuhan yang lebih mendesak.

"Tawaran pemukiman akan membantu kelompok ketiga. Tetapi sesungguhnya yang paling butuh bantuan adalah kelompok kedua - mereka kesulitan hidup tanpa lahan leluhurnya," kata Rudy.

Orang Rimba, disebut juga Suku Anak Dalam atau Orang Kubu, menetap di hutan-hutan di Sumatera dengan konsentrasi di Taman Nasional Bukit Tigapuluh dan Bukit Duabelas.

Orang Rimba hidup dengan bertanam dan berburu, dan seringkali berpindah tempat tinggal meski selalu kembali ke tanah asalnya.

"Mereka semi-nomadic. Tapi tanah asal penting sebagai penanda identitas dan sejarah kelompok. Karena ari-ari saat lahir, misalnya, ditanam di bawah pohon yang jadi tanda kelangsungan hidup mereka,” ujar Rudy.

"Kalau pohon lestari, orang akan hidup baik. Nah sekarang wilayah pohon, sungai dan lembahnya sudah berubah jadi lahan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan kebun sawit," kata Rudy.

Tak mampu bersaing dengan korporasi dan izin konsesi yang diberikan secara legal, Orang Rimba menjadi kehilangan mata pencaharian dan akibatnya kerap dituduh mencuri sawit atau mengganggu perkebunan.

Lahan 1000 hektar

Presiden Jokowi adalah kepala negara pertama yang langsung menemui Orang Rimba. Namun pengakuan terhadap keberadaan dan hak mereka atas tanah adat mulai diberikan resmi oleh negara sejak masa kepresidenan Abdurrahman Wahid.

Gus Dur mendengar perjuangan Orang Rimba dan memerintahkan supaya lahan untuk mereka dilindungi sebagai taman nasional.

"Cuma UU kan mengatakan taman nasional tidak boleh dihuni manusia - itu dikhususkan bagi konservasi flora-fauna. Ee …Gus Dur bilang, ya sudah ini taman nasional yang ada manusianya. Gitu aja kok repot!” jelas Rudy sambil tertawa.

Namun perusakan habitat dan eksploitasi hutan yang sudah berlangsung sejak pemerintahan Suharto terlanjur parah. Tanah ulayat Suku Anak Dalam beralih menjadi konsesi perusahaan.

Upaya mendamaikan kebutuhan antara pemilik konsesi dan Orang Rimba tak kunjung mendapati titik temu.

Catatan Warsi menunjukkan dalam satu kasus yang juga dijembatani oleh Menteri Sosial Khofifah Indarparawansa, sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan lahan seluas 40 ribu hektar keberatan melepas 114 hektar lahan yang diklaim milik tanah adat Orang Rimba.

"Solusi untuk warga Rimba yang hidup di hutan adalah supaya pemerintah membuat kebijakan yang berpihak pada mereka. Seperti Gus Dur waktu mencabut HTI di Bukit Duabelas dan mengubahnya jadi Taman Nasional," tuntut Rudy.

Presiden Jokowi berbincang-bincang dengan warga Suku Anak Dalam, di Sarolangun, Jambi, 30 Oktober 2015. (Dok. Setkab RI)
Presiden Jokowi berbincang-bincang dengan warga Suku Anak Dalam, di Sarolangun, Jambi, 30 Oktober 2015. (Dok. Setkab RI)

Presiden Jokowi berbincang-bincang dengan warga Suku Anak Dalam, di Sarolangun, Jambi, 30 Oktober 2015. (Dok. Setkab RI)

Kepada wartawan di Jakarta hari Minggu lalu, Khofifah mengatakan telah mendapat kesanggupan dari Bupati Merangin yang wilayahnya jadi salah satu titik konsentrasi Orang Rimba untuk menyediakan lahan seluas 1000 hektar.

Lahan itu akan menjadi permukiman dengan 500 rumah dengan masing-masing keluarga mendapat dua hektar lahan untuk bertanam.

Kementerian menjamin tak akan ada kewajiban untuk tinggal di permukiman jika Orang Rimba memilih hidup sesuai budaya melangun (mengembara) seperti kebiasaan mereka selama ini.

Identitas hilang

Namun pemukiman tak menyelesaikan persoalan jangka panjang Orang Rimba, kata antropolog Adi Prasetijo.

Adi yang mendalami hidup Orang Rimba dalam studi sarjana hingga doktoralnya mengatakan pola hidup mereka sangat bergantung dari daya dukung ekologis.

Sementara solusi yang ditawarkan pemerintah umumnya justru mencabut mereka dari akar ekologi itu.

"Misalnya dibangunkan permukiman, dibuat kampung, disuruh memilih agama. Dengan kata lain mereka 'dinormalkan'", kata Adi.

Ia menyebut solusi ini sebagai penyelesaian bermasalah karena Orang Rimba akan kesulitan menghindari konflik dengan warga non-Rimba.

Ia juga menambahkan mereka juga nyaris tak mengenal mata pencaharian selain berburu dan memenuhi kehidupan mereka dari berhutan (hunter gatherers).

"Kalau dipaksa lama-lama mereka kehabisan bekal dan jadi pengangguran, terpaksa mengemis dan seterusnya," tambahnya.

Situasi menyedihkan ini menurutnya sudah banyak terjadi di Jambi.

Adi mengingatkan persoalan suku terasing di Indonesia bukan khas Orang Rimba, meski sorotan nampaknya diarahkan kepada kelompok ini.

"Dalam studi saya muncul kecemburuan: ‘kenapa cuma Orang Rimba yang diperhatikan? Bagaimana nasib kami?’" ujarnya menirukan pertanyaan suku terasing lain.

Komunitas suku Sakai dan Talang Mamak di Sumatera serta Orang Punan di Kalimantan, menurutnya adalah sedikit contoh warga asli yang terancam peradaban moderen.

"Identitas asli mereka hilang. Padahal identitas mereka inilah yang juga menjadi identitas kita sebagai sebuah bangsa. Negara wajib melindungi itu.

Kementrian Sosial mencatat pada tahun 2002 terdapat sekitar 1,3 juta warga adat terpencil, tidak sampai 1%  populasi Indonesia.

Mereka umumnya berdiam di hutan dan lokasi yang sulit dijangkau di 26 provinsi di Indonesia.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.