Usung Soeharto Dinilai Tak Tingkatkan Suara untuk Prabowo
2018.12.19
Jakarta

Diangkatnya sosok Bapak Orde Baru, Soeharto, dalam kampanye pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dinilai pakar politik tidak akan meningkatkan elektabilitas pasangan penantang Joko Widodo-Ma’ruh Amin itu dalam Pemilihan Presiden 2019.
"Saya rasa tidak akan laku," kata pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Hermawan Sulistyo kepada BeritaBenar, Selasa, 18 Desember 2018, terkait diusungnya Soeharto oleh kubu Prabowo-Sandiaga.
Menurutnya para pemilih, terutama pemuda, memiliki keingintahuan besar sehingga bakal mencari informasi tentang situasi politik dan sosial rezim yang berkuasa lebih dari 30 tahun itu.
"Sudah banyak yang cerdas. Mereka akan mencari tahu bagaimana sosok Soeharto dan Orde Baru," katanya.
Perihal ini pun, tambah Hermawan, sudah terbukti lewat survei LIPI pada Juli lalu.
Ketika itu, hanya lima persen yang mengatakan bahwa sistem pemerintahan terbaik adalah era Orde Baru-nya Soeharto.
"Cuma mereka yang mendapatkan keuntungan yang senang dengan era Soeharto," lanjut Hermawan.
Tak berbeda penilaian Direktur Eksekutif Lingkar Madani, Ray Rangkuti, yang menilai isu Soeharto dan Orde Baru tidak bakal meningkatkan perolehan suara Prabowo-Sandiaga secara berarti.
"Sudah tak laku lagi, tidak akan berpengaruh," kata Ray saat dihubungi.
"Dengan usia pemilih yang didominasi anak muda usia menengah yang merasakan peralihan era, menurut saya akan lebih banyak yang tidak setuju. Bagi Prabowo, itu akan antiklimaks."
Merujuk data Komisi Pemilihan Umum (KPU), pemilih dengan usia maksimal 40 tahun tercatat sekitar 100 juta jiwa, atau lebih 50 persen dari daftar pemilih tetap sebesar 185 juta jiwa.
"Yang menerima manfaat menurut saya hanya keluarga Soeharto, karena bisa mengampanyekan penghapusan kekelaman masa lalu," ujar Ray.
Jual Soeharto
Dalam kampanye di Jakarta akhir pekan lalu Sandiaga memang menjual sosok Soeharto dan Orde Baru. "
“Kita bisa lihat zaman Pak Harto (Soeharto), produksi beras kita baik. Produksi bahan-bahan pangan kita juga baik. Itu bisa kita adopsi," kata Sandiaga saat itu.
Pasangan Prabowo-Sandiaga didukung oleh koalisi Partai Gerindra, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Demokrat, dan Partai Berkarya menjual sosok Soeharto dan Orde Baru lewat salah satu program swasembada pangan.
Beberapa waktu sebelumnya, Ketua Dewan Pembina Partai Berkarya yang juga bekas istri Prabowo, Siti Hediati Hariyadi alias Titiek Soeharto, juga menyuarakan agar Indonesia kembali ke Orde Baru yang disebutnya sukses berswasembada pangan.
"Sudah cukup...! Saatnya Indonesia kembali seperti waktu era kepemimpinan Bapak Soeharto yang sukses dengan swasembada pangan, mendapatkan penghargaan internasional dan dikenal dunia," tulis putri Soeharto itu, di akun Twitternya @TitiekSoeharto.
Seorang warga Jakarta, Suci Rahmadanti (40) mengaku cukup tertarik dengan gagasan pasangan Prabowo-Sandiaga yang hendak mengadopsi program era Soeharto.
"Saat itu harga bahan pangan kan murah dan terjangkau," katanya kepada BeritaBenar.
Sebaliknya penilaian Dana Nayana (21) yang tidak tertarik dengan isu Orde Baru yang diusung kubu Prabowo-Sandiaga.
"Dari yang saya baca, zaman Soeharto kan banyak pelanggaran hak asasi manusia dan korupsi," tuturnya.
Tolak Soeharto
Penggunaan isu Soeharto dan Orde Baru telah ditentang sekelompok mantan aktivis yang menamakan diri Rumah Gerakan 98. Mereka menyuarakan tagar #LawanOrdeBaru di media sosial.
Ketua Umum Rumah Gerakan 98, Bernard Ali Mumbang Haloho, dikutip dari laman CNN Indonesia mengatakan, gerakan itu sebagai penolakan terhadap sejumlah pihak yang secara terang-terangan ingin mengembalikan situasi politik Indonesia seperti Orde Baru, dengan memanfaatkan Pemilihan Umum 2019.
"Masyarakat harus kembali disegarkan ingatannya mengenai kekejaman Orde Baru dan Soeharto," kata Bernard, di laman tersebut.
Juru bicara tim pemenangan Prabowo-Sandiaga, Faldo Maldini, tak mempermasalahkan penolakan dan pesimisme yang muncul atas pernyataan Sandiaga yang hendak mengadopsi program Soeharto.
Menurutnya, tak semua program di masa Soeharto adalah rencana buruk.
"Kan ada beberapa yang bagus," katanya.
Berdasarkan analisa lembaga tilik Para Syndicate terhadap 12 hasil survei dari sejumlah lembaga, elektabilitas Prabowo-Sandiaga sejak Agustus lalu cenderung naik, sementara calon petahana Joko "Jokowi" Widodo yang berpasangan dengan Ma'ruf Amin stagnan.
"Untuk Prabowo-Sandiaga trennya naik, walaupun tipis," kata Direktur Eksekutif Para Syndicate Ari Nurcahyo, saat merilis hasil penghitungan tersebut kepada wartawan, Jumat pekan lalu.
Soal turunnya tren elektabilitas Jokowi, lanjut Ari, disebabkan karena strategi dianggap monoton dan sibuk menangkal serangan lawan politik.
Ma'ruf pun yang diharapkan dapat meningkatkan tingkat keterpilihan, terutama dari pemilih Islam karena dia seorang ulama, ternyata tak memberi dampak signifikan.
"Rencana pembangunan ke depan belum digemakan," pungkas Ari.