Organisasi HAM: Ahmadiyah Terus Mengalami Diskriminasi

Ismira Lutfia Tisnadibrata
2016.02.12
Jakarta
160212_ID_Ahmadiyah_1000 Seorang perempuan melakukan aksi protes di depan Kedutaan AS di Jakarta, 6 Mei 2013, sambil memegang foto pengikut Ahmadiyah sedang dikunci dalam masjid.
AFP

Kelompok minoritas Ahmadiyah di Indonesia terus mengalami diskriminasi dan negara belum mampu mencarikan solusinya, demikian menurut laporan organisasi internasional hak asasi manusia (HAM) Human Rights Watch (HRW) yang bermarkas di New York, Amerika Serikat.

Dalam dua pekan terakhir, para pengikut Ahmadiyah diusir dan dilarang beraktivitas di tempat tinggalnya.

Menanggapi hal itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Luhut Binsar Panjaitan menegaskan bahwa masalah perbedaan dalam kepercayaan harus diselesaikan secara damai dan tidak dengan kekerasan.

Luhut merujuk pada kekerasan yang dialami warga Ahmadiyah di Srimenanti, Kabupaten Bangka, Bangka Belitung, yang diusir dari tempat tinggalnya pada 5 Februari lalu oleh otoritas setempat.

"Masalah di Bangka itu, kita berpegang yakin bahwa orang-orang Ahmadiyah itu orang Indonesia. Bahwa ada masalah agar diselesaikan tapi bukan dengan cara-cara pengusiran," ujar Luhut kepada wartawan di kantornya, Jumat, 12 Februari.

Tetapi, dia tidak menjelaskan langkah kongkrit yang akan ditempuh pemerintah untuk menyelesaikan masalah Ahmadiyah. Padahal, mereka telah berulang kali mendapat perlakuan diskriminasi baik oleh pemerintah lokal maupun organisasi massa.

Andreas Harsono, peneliti di Indonesia untuk kelompok advokasi hak asasi manusia HRW mengatakan bahwa pengikut Ahmadiyah yang diusir dari tempat tinggalnya di Bangka adalah warga pendatang, namun ketuanya adalah warga asli setempat.

"Mereka pendatang, makanya mau diusir," ujar Andreas kepada BeritaBenar.

Kejadian di Bangka merupakan satu dari rangkaian terakhir persekusi dalam berbagai bentuk yang dialami warga minoritas Ahmadiyah di Indonesia.

Di Subang

Pada waktu hampir bersamaan, warga Ahmadiyah di Kabupaten Subang, Jawa Barat, juga mengalami diskriminasi ketika Camat Subang, Tatang Supriyatna mengeluarkan surat - yang fotonya dapat dilihat di situs HRW - perihal penutupan dan pelarangan aktivitas jemaah Ahmadiyah di wilayahnya.

"(Warga Ahmadiyah) di Subang tidak diusir, karena mereka penduduk asli di sana, orang Sunda," ujar Andreas.

Surat tertanggal 29 Januari 2016 itu juga mendapat dukungan dari aparat kepolisian dan militer, serta tokoh agama dan masyarakat setempat yang tandatangannya tertera menyetujui hasil rapat koordinasi untuk menutup kegiatan Ahmadiyah di RW 07, kelurahan Sukamelang, kecamatan Subang.

"Masjid mereka ditutup dan dilarang dipakai untuk salat Jumat," jelas Andreas.

Menurut HRW, kejadian ini berawal ketika Ika Koswara, Lurah Sukamelang, mempertanyakan izin bangunan yang berlanjut dengan larangan pembangunan masjid Ahmadiyah, padahal warga Ahmadiyah sudah memperlihatkan surat izin mendirikan bangunan (IMB) yang dikeluarkan Dinas Pekerjaan Umum setempat pada 2004.

“Situasi di Subang memerlukan intervensi dari Presiden Joko Widodo untuk melindungi hak warga Ahmadiyah dan memberikan sanksi bagi pejabat yang menolak melindungi hak mereka,” ujar Phelim Kine, wakil direktur Asia untuk HRW.

“Jokowi harus menunjukkan niat politiknya untuk melindungi hak agama kaum minoritas dengan memberi sanksi kepada kelompok maupun individu yang menolak memenuhi hak tersebut dan mencabut aturan diskriminatif yang memicu intoleransi,” tambahnya.

Pernyataan HRWG

Sementara itu menanggapi pengusiran di Bangka, koalisi advokasi hak asasi manusia di Jakarta, Human Rights Working Group (HRWG) Indonesia, mengecam keras sikap Pemerintah Kabupaten Bangka, yang mengusir warga Ahmadiyah di Srimenanti.

Menurut HRWG, tindakan tersebut murni pelanggaran terhadap hak kebebasan beragama atau berkeyakinan sebagaimana dijamin di dalam Konstitusi.

“Tindakan Pemerintah Kabupaten Bangka ini jelas-jelas bertentangan dengan hak asasi manusia. Di dalam Konstitusi dan undang-undang kita jelas diatur bahwa, setiap orang berhak untuk beragama dan berkeyakinan secara bebas,” ujar Rafendi Djamin, Direktur Eksekutif HRWG.

HRWG menyesalkan pemerintah pusat yang kurang responsif untuk mencegah diskriminasi terjadi dan mengatakan otonomi daerah bukan menjadi alasan bagi pemerintah daerah untuk melakukan tindakan diskriminatif, mengingat masalah agama adalah hal yang dikecualikan dalam otonomi daerah.

Andreas Harsono menambahkan bahwa persekusi terhadap warga Ahmadiyah belum ada perubahan ke arah yang lebih baik pada era Pemerintahan Jokowi, karena Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri tahun 2008 belum dicabut.

SKB tersebut meminta warga Ahmadiyah untuk menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Islam dan menyebarkan paham bahwa ada nabi setelah Nabi Muhammad SAW.

"Patokannya SKB itu, bila belum dicabut maka akan sama saja," ujar Andreas.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.