Panglima TNI minta maaf usai ancam “piting” warga pendemo Rempang
2023.09.19
Jakarta

Panglima TNI Laksamana Yudo Margono pada Selasa meminta maaf atas ucapannya yang menyarankan petugas keamanan memiiting warga Pulau Rempang di Provinsi Kepulauan Riau yang menolak pindah dari lahan mereka yang menjadi lokasi proyek yang didanai investor China.
Yudo menjelaskan bahwa kata “piting” tidak mengacu pada aksi kekerasan, tapi sebuah cara untuk mengendalikan demonstrasi tanpa melukai.
“Saya mohon maaf, sekali lagi mohon maaf atas pernyataan kemarin yang mungkin masyarakat menilai seolah dipiting,” ujar Yudo dalam siaran pers dari Pusat Penerangan TNI di Jakarta.
“Bahasa saya dipiting itu saya orang ndeso yang biasa melaksanakan waktu kecil sering piting-pitingan dengan teman saya.”
“Saya kira dipiting lebih aman, kita tidak punya alat. Sejak Orde Baru tidak ada, sejak Undang-Undang TNI, tidak dilibatkan untuk memakai alat seperti jaman dulu, tidak ada,” ujar dia.
Dalam video yang beredar, dia berkata, “Kalau masyarakatnya 1.000, TNI-nya ya keluarkan 1.000. Satu miting satu, itu kan selesai. Tidak usah pakai alat, dipiting saja satu-satu.”
Pernyataan Yudo, yang dimaksudkan untuk menjawab pertanyaan dari Panglima Komandan Bukit Barisan, menuai kritik di media sosial.
“Sudah saya sampaikan bahwa itu seumpama, tidak ada saya mengerahkan pasukan, karena memang tidak ada permintaan pengerahan pusat pasukan sebanyak itu,” kata Yudo.
Menurut Yudo, TNI tidak melakukan operasi militer di Batam, hanya pasukan-pasukan organik di wilayah, seperti Komando Distrik Militer (Kodim) dan Komando Resort Militer (Korem).
Panglima TNI Yudo Margono [Yasuyoshi Chiba/AFP]
Azwir, 42 tahun, warga Tanjung Banon, Kecamatan Galang, Pulau Rempang mengatakan dia menerima permintaan maaf Panglima TNI. Tapi dia berharap tidak ada lagi kasus kekerasan dan intimidasi yang dilakukan aparat.
“Secara pribadi saya maafkan. Tapi kami berharap kami tidak tergusur di tanah kelahiran kami sendiri,” ujar Azwir kepada BenarNews.
Pria yang berprofesi sebagai nelayan ini mengatakan dirinya dan warga lain tidak nyaman melihat pengerahan personil TNI-Polri dalam jumlah yang banyak.
“Kami ingin hidup dengan tenang dan nyaman di kampung ditemani dengan alam. Sekarang saja kondisi kampung kami menegangkan,” jelasnya.
Warga Pulau Rempang beberapa kali terlibat protes menuntut pembatalan relokasi warga yang lahannya akan digunakan dalam proyek Eco-City Rempang, sebuah pusat kawasan industri, perdagangan hingga pariwisata. Warga merasa hanya menempati sebagian kecil dari pulau seluas hampir 17.000 hektare dan tidak perlu direlokasi hanya untuk pembangunan proyek tersebut.
Namun pemerintah yang menjalin kerja sama dengan PT Makmur Elok Graha (MEG) berkeras mengosongkan pulau tersebut. Menurut pemerintah pada tahap awal pembangunan kawasan ini, perusahaan kaca terbesar di dunia asal Tiongkok, Xinyi Group akan berinvestasi senilai $11,5 miliar atau setara Rp174 triliun.
Kepala Divisi Riset dan Dokumentasi kelompok hak asasi manusia (HAM) KontraS, Rozy Brilian, mengatakan seharusnya Yudo harus lebih dari sekedar minta maaf.
“Jadi selain minta maaf dia juga harus mencabut pernyataannya dan juga mencabut atau menarik pasukan (dari) Pulau Rempang,” jelasnya kepada BenarNews.
Rozy menambahkan ungkapan Yudo “berlebihan dan tidak perlu” karena keterlibatan TNI dalam pengamanan proyek strategis nasional itu juga sangat problematik. Ia mengatakan undang-undang TNI mensyaratkan ada keputusan politik negara sebelum ada pengerahan militer.
Polisi pekan lalu menangkap 43 orang demonstran yang menolak relokasi di Pulau Rempang.
Polisi mengatakan 43 orang tersebut diduga melawan petugas dan berbuat anarkis saat unjuk rasa di depan Kantor Badan Pengusahaan (BP) Batam pada 11 September. Setidaknya 34 dari mereka dijadikan tersangka.
Unjuk rasa yang melibatkan sekitar 1.000 orang ini awalnya berjalan tertib dimana warga berorasi menyuarakan aspirasinya, namun situasi memanas dan berubah menjadi ajang saling lempar hingga jatuh korban luka-luka dan kerusakan bangunan, kata polisi.
Sebelumnya awal bulan ini warga memprotes pengukuran tanah yang dilakukan oleh petugas dari BP Batam dengan penjagaan aparat dalam jumlah besar.
Saat itu aparat sempat menembakkan gas air mata yang mengakibatkan beberapa siswa dibawa ke rumah sakit.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengatakan kericuhan di Batam terjadi karena komunikasi yang buruk.
BP Batam, lembaga pemerintah yang melaksanakan proyek, mengatakan kerjasamanya dengan PT MEG milik konglomerat Tomy Winata itu direncanakan bisa menarik investasi Rp381 triliun hingga tahun 2080.
PT MEG menggandeng perusahaan asal China, Xinyi International Investment Limited, calon investor yang bakal membangun pusat pengolahan pasir kuarsa dan pasir silika di Rempang.
Pada Selasa (19/9) gabungan kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Solidaritas Nasional Untuk Rempang melakukan aksi unjuk rasa di depan Kedutaan Besar China di Jakarta.
Mereka meminta pemerintah China mengevaluasi kebijakan Xinyi Glass Holding Ltd terkait penanaman modalnya di Rempang dan meminta pemerintah Indonesia menginvestigasi dugaan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat keamanan kepada warga yang berunjuk rasa pada 7 September menolak pengosongan lahan untuk pembangunan Rempang Eko-City.
Proyek terus berjalan
Menteri Investasi Bahlil Lahadalia sudah mendatangi kediaman Ketua Umum Kerabat Masyarakat Adat Tempatan (Keramat), Gerisman Ahmad, di Pulau Rempang, pada Senin.
Menurut Bahlil, pemerintah masih akan memindahkan masyarakat terdampak proyek ke Pulau Galang. Namun dirinya berjanji akan memperjuangkan aspirasi masyarakat untuk tetap tinggal di area Pulau Rempang.
"Saya dengar masukan kalian, yakin kalau memang kita lakukan untuk kebaikan. Kita masih dalam perkampungan di Rempang, selama tidak mengganggu masterplan yang ada sekarang, maka kita akan bahas sama-sama," ujar Bahlil dalam siaran pers.
Total kawasan Pulau Rempang seluas 17.000 hektare, namun ada 10.000 hektar berupa hutan lindung yang tidak bisa dijadikan lokasi proyek.
“Jadi areanya itu kurang lebih sekitar 7.000 hektare yang bisa dikelola. Untuk kawasan industrinya, tahap pertama itu kita kurang lebih sekitar 2.000-2.500 hektare,” ujar Bahlil.
Bahlil juga berjanji akan memberikan hak-hak warga yang terkena relokasi, antara lain hak kesulungan yaitu hak atau warisan yang diteruskan kepada seseorang dalam sebuah keluarga.
Selain itu warga yang terkena dampak proyek ini juga akan mendapatkan tanah bersertifikat seluas 500 meter berikut rumah tipe 45 senilai Rp120 juta. Namun jika harga rumah yang ditinggalkan lebih dari nilai tersebut, maka selisihnya akan dibayarkan melalui Kantor Jasa Penilai Publik.
“Selama masa tunggu pembangunan rumah sekitar 6 sampai 7 bulan, setiap keluarga akan mendapatkan uang untuk biaya sewa rumah dan biaya hidup selama rumah hunian tetap belum selesai dibangun,” ujar dia.
Menurut Bahlil, tidak ada satu kabupaten atau kota di Indonesia yang bisa maju hanya dengan mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah semata. Daerah membutuhkan investasi untuk menggerakkan roda ekonomi dan penyerapan tenaga kerja.